Semarang Pelabuhanku

By. Ririn FM

 “Nak! Sarapan dulu, baru berangkat!”

”Iya ma bentar. Nanggung nih”

 Aduh ribet amat  pakai kerudung, harus berjam-jam makainya, yang pakai peniti lah, pakai aksesoris  lah,  miring sana, miring sini.

“Kayak foto model aja”. Gumamku dalam hati.

 Biasa tuh mama kalau pagi-pagi udah ribut nyuruh sarapan, padahal aku nggak begitu suka sarapan, apalagi ma nasi, iiih mending makan jagung godok aja. Sarapan bikin perutku eneg. Kebiasaan yang aneh.

    “Ena, ayo berangkat! Keburu jam 7 nih!”,

”Udah tinggal aja Di! Ena lagi sarapan”.

Ena  nama panggilanku. Nama panjangku Retna Dewanti, aku duduk di bangku kelas 3 SMU N I Serang. Sekarang aku sedang menunggu saat-saat pertempuran yang mendebarkan (Ujian Nasional / ujian kelulusan).

    Di sekolah aku mengikuti ekstra teater. Biasa! Menekuni bakat yang terpendam. Kadang aku dipanggil “Nong” karena keningku yang lebar. Dengan kebiasaanku yang tomboy, rok bikin ribet saja kalau jalan. Kenapa gak pakai celana panjang aja ya, biar  bebas jalannya? Udah kalau ke sekolah telat, pakai rok lagi, iiih.. susah rasanya kalau mau naik sepeda motor , harus ditarik ke atas dulu, bikin lama aja!.

    Ujian sudah semakin dekat, tapi aku malah sibuk dengan teater, karena akan  ditampilkan saat perpisahan. Aku diberi peran sebagai orang yang berasal dari keluarga yang miskin. Setiap hari pulang sore, pegel-pegel rasanya badan ini. Sampai  di rumah malamnya langsung tidur aja. Bukannya belajar untuk persiapan ujian. Malah tidur.

    “Ena, kamu teh gak belajar? Gimana ntar ngerjainnya soal kalau  gak belajar!”.

”Iya Ma!”

 Dengan lemas aku beranjak ke kamar, baca sebentar, e….ternyata ketiduran lagi.

    Sibuk latihan kabaret (opera) bikin malas belajar, tiap hari pulang sore, kadang diantar ma teman Ena, cowok lagi! Iih perhatian amat ni orang. Waktu latihan kabaret dia nembak Enak. Door…!!! dag, dig, dug.

    Kejadian itu berlalu saja seperti angin yang melintas di siang hari.

“Pokoknya sebelum ujian selesai, Enak gak mau pacaran lagi, Enak takut patah hati lagi. Sakit rasanya.” Guman ena dalam hati.

    Senin pun tiba. Saatnya bertempur. Bukannya datang pagi-pagi, malah telat.

“Kebiasaan buruk”. Gumamku dalam hati. Apa karena kelamaan pakai kerudungnya.

 Sudah telat, lupa bawa pensil. Aduh bingungnya minta ampun. Harus kemana nih Enak cari pensil? Udah teman-teman pada sibuk nulis contekan lagi! Aku hanya bisa garuk-garuk kepala. Akhirnya ku rebut saja contekan si Rahmat. Dia marah pada Ena.

“Nong balikin tuh kertas.” Kata rahmat.

Enak diam aja biar terlihat memelas. Lama kelamaan dia merelakan juga contekan itu. Tapi Enak masih bingung nyari pensil dimana.

“Duh gimana nih? Sebentar lagi para pengawas datang.” Batinku.

Akhirnya kurebut saja pensil si Agus yang duduk di belakangku,   

” Ratu tidur jangan ambil tu pensil, tu pensil sudah ada jampi-jampinya.” Agus tampak marah-marah.

 Aku tidak percaya dengan kata Agus dan tetetap kupakai untuk menulis saja. Eh.. ternaytta pensilnya malah  patah. Diapun merelakan pensil itu. Ena sempat kebingungan tapi    akhirnya dapat pensil dari Eva. Alhamdulillah Ena bisa mengerjakan ujian dengan lancar.

    Pulang ujian, Ena tanya sama Eva

 “Va tadi pensilmu itu palsu ya?, kata si Ipah pensil kamu palsu?

” Iya. Itu bukan pensil 2 B yang asli, lihat aja tulisannya!.”

”Ih……..Eva? Kenapa tidak bilang dari tadi!”. Sepanjang perjalanan aku diam seribu bahasa.

“Gimana kalau entar jawaban Ena gak kelihatan di komputer semua? Aduh bisa berabeh.” Gumamku dalam hati.

Sesampai di rumah aku bertanya pada si Ita,

” Ta coba lihat sini, menurutmu ni pensil asli atau palsu”,

”Ini mah palsu Na. Lihat aja tulisannya.” Ena langsung lari ke kamar sambil terisak-isak.

”Ya Allah bagaimana entar kalau jawabannya nggak keluar”.

    Keesokan harinya Ena datang ke sekolah dengan raut muka yang masam.

”Udah Na, pasti jawaban Ena keluar, yang penting teh Ena berdo’a dan yakin yah”.
 Si Eva mencoba menguatkanku.

”Iya Nong yang penting udah dibunderin sampai hitam aja pasti dah keluar”

“Makasih ya teman-teman.”

    UAN telah berlalu, hati ini terasa lega tetapi belum seratus persen, karena masih ada ujian UAS dan Ena harus mempersiapkan diri. Tapi lagi-lagi Ena malas belajar.   

Detik-detik menunggu hasil ujian rasanya dek-dek gan juga. Daripada hanya bengong di rumah Ena pergi kerumah paman. Ena membantu mengasuh anaknya yang masih balita, karena paman harus  bekerja dan biasanya anaknya itu dititipkan sama mertuanya yang sudah tua. Ena merasa sangat kasihan dengan mertua paman. Beliau sudah tua tapi masih disuruh jaga si Bila (Salsabila nama panjangnya). Udah jalannya doyang, pendengarannya juga sudah berkurang. Pokoknya Ena gak tega.

    Sambil mengasuh Bila, aku juga belajar komputer, hitung-hitung bisa buat bekal keluar rumah nantinya.

    Waktu kelulusan telah tiba, tapi aku tidak bisa datang karena aku masih berada di rumah paman, aku juga belum boleh pulang. Sebenarnya aku penasaran banget pingin lihat hasil ujianku yang menurutku lucu. Akhirnya aku minta bantuan sama Ita, teman sekaligus tetanggaku untuk mengambil hasil ujian di sekolah. Dengan senang hati dia mau menolongku. Setelah 4 jam berlalu Ita menelponku. Dengan bercanda dan basa basi dia mengabari kalau aku lulus. Aku merasa bahagia dan terharu.

“Alhamdulillah”.

Langsung saja kuambil ponsel mungilku di meja, dan ku penjet nomor tujuan mama. dengan penuh keharuan ku kabari mama kalau aku lulus.

”Ya Allah terima kasih”. Ku dengar ucap mama di telepon sambil terisak-isak. Sungguh hari yang mengharukanku.

Satu hal yang membuatku kecewa. Aku tidak bisa corat-coret dengan teman-teman. “Tapi tak apalah, kalau Ena corat-coret, mama paling-paling juga marah ma Ena.” Gumamku dalam hati.

    Empat hari kelulusan Ita menelponku dan mengabarkan kalau hari senin ada cap 3 jari untuk ijazah kelulusan. Akhirnya aku diantar pamanku.

”Oh …. Paman, aku jadi merepotkanmu, terima kasih Paman!”

“Paman juga berterima kasih atas kesediaanmu untuk membantu paman dalam menjaga Bila”. Ucap paman.

Capek rasanya badan ini, karena harus pulang pergi dari Tangerang ke Serang. Aku yang diboncengin saja capek, apalagi paman.

    Keesokan harinya terdengar nyaring suara ponsel yang membangunkan tidurku dari kamar paman.

 “Tok…..tok…..tok”,

 “Bangun Na! Ada kabar dari rumah.” Suara paman terdengar tidak seperti biasanya.

“Ya Paman, Ena udah bangun”. Aku langsung beranjak keluar kamar menghampiri paman.

Dengan raut sedih paman berkata,
“Na, hari ini kita ke kampung (Serang) untuk menjenguk nenek.”

”Emang nenek kenapa?” Kaget Ena mendengar perkataan paman.

”Nenek sakit parah, dan semua keluarga diharap berkumpul.” Kata paman.

 Langsung saja Ena menuju kamar dan mengemasi barang-barang Ena.

    Satu jam kemudian aku dan paman berangkat ke Serang dengan mengendarai motor silvernya. Kulihat wajah paman seperti orang sakit. Wajahnya lesu penuh kesedihan. Dengan kecepatan tinggi kami menempuh perjalanan Tangerang – Serang. Sepanjang perjalanan paman terisak-isak dan sempat bilang sama Ena, mungkin nenek sudah meninggal. Aku mencoba menenangkan dan mengatakan kalau Mak (nenek) tidak apa-apa.

    Sesampainya di rumah, aku melihat ada kain berwarna kuning melambai-lambai di depan rumah nenek. Begitu banyak orang berkerumun di sana. Tubuhku terasa lemas, apalagi pamanku. Kami disambut keluarga dengan isak tangis. Pamanku semakin deras meneteskan air mata melihat nenek yang sudah berselimutkan kain putih. Aku merasa tidak rela kalau nenekku pergi secepat itu, karena kemaren dia masih terlihat bugar dan selalu menguatkan aku untuk mengikuti UAN.

    Pagi menjelang siang jasad nenek belum dimakamkan, karena harus menunggu anak bungsunya yang tinggal di Bekasi. Sebelum dimakamkan semua melihat wajah nenek, dan berdo’a kepada-Nya. Akhirnya nenek dimakamkan pukul sebelas lebih sepuluh menit. Tempat pemakamanyapun tidak jauh dari rumah nenek. Hanya tujuh menit untuk sampai kesana.

    Aku tak kuasa menahan derai air mata. Hatiku pilu melihat mama yang terus menerus menangis hingga pingsan. Ingin rasanya aku memeluknya.

 “Ya Allah tabahkanlah keluarga kami.” Doaku dalam hati.

    Selang dua hari setelah kematian nenek, cucunya dari Jawa pulang. Mereka telah mendengar kabar dari Serang. Pukul 11 siang mereka tiba di rumah nenek, keharuan kembali menyelimuti kami semua. Air mata mereka tak lagi terbendung, apalagi si Ika sepupuku yang sedari kecil tinggal bersama nenek. Awan hitam meliputi perjalanan mereka menuju tempat peristirahatan nenek.

Rumah nenek makin lama makin larut sepi seiring kepergianya. Aku menjadi merasa asing dengan rumah itu, tiada lagi gelak tawa dari nenekku yang selalu ceria dengan lelucon khasnya di hadapan cucu-cucu.

“Ya Allah ampunilah segala kesalahan nenek, terimalah ia disisi-Mu”.

    Dua minggu kemudian sepupuku yang bernama Adi mengajak aku kuliah di Semarang, padahal aku udah bilang sama dia kalau aku gak mau kuliah dan aku mau kerja dulu, kalau bisa kuliah sambil kerja. Tapi a’ Adi setap saja ngotot membujuk aku untuk ikut  ke Semarang, sampai-sampai orang tuaku juga dibujuknya agar aku bisa kuliah di Semarang.

    “Udah Na! hayo ikut a’ Adi wae, dari pada ntar kamu lupa ma pelajaran, di sana biaya hidupnya murah neng, kamu juga bisa ikut kursus dulu.” Bujuk a’ Adi.

”Ya udah terserah aa’.” Akhirnya aku menyerah juga. Padahal segala macam alasan sudah aku keluarkan.

“Dasar! Tidak punya pendirian.” Gumamku.

Padahal aku belum dapat ijazah kelulusan karena masih ada tunggakan pembayaran tapi a’ Adi tetep aja tidak mau mendengarkan pertimbangan dan alasan Ena. Bahkan saking ngebetnya untuk mengajak Ena, a’ Adi mau mengantar aku untuk mengambil ijazah kelulusan dan melunasi semua tunggakan disekolah. Baru tingkat SMU saja sudah tidak bisa melunasi, apalagi nanti kalau kuliah, harus bayar SPP, beli buku, belum lagi biaya hidup sehari-hari. Tak bisa kubayangkan bagaimana nantinya.

    Empat hari kemudian Ena dan kedua sepupu Ena berencana pergi ke Semarang. Sebenarnya Ena merasa keberatan meninggalkan keluarga, apalagi adik bontot Ena yang paling sering buat Ena kesel tingkah lakunya.

    Pukul empat sore aku beserta kedua sepupuku berangkat ke stasiun Senen, kami sengaja singgah ke-Jakarta dulu untuk beberapa keperluan. Sepanjang perjalanan Ena hanya diam. Ena pasang wajah sedih dihadapan kedua sepupu, Ena tak bisa menghilangkan wajah ibu dari setiap perjalanan menuju stasiun Senen. Pesanya selalu menggelayuti pikiran Ena.

 “Na! Hati-hati di sana, Ena udah dewasa, Ena harus bisa jaga diri sendiri, Ena pasti bisa meraih cita-cita.”

Seorang ibu memang selalu menasehati  anaknya, ia melepas kepergian Ena dengan titis air mata. Diwajahnya tersimpan rasa memelas pada Ena, seakan-akan ia ingin merangkulku dengan erat. Hanya doa penuh harap yang terucap, agar anaknya menjadi seorang yang berguna.

    “Mama. Kapan aku bisa mengajakmu pergi ke Baitullah.” Batinku berkata.

Sejam sudah perjalanan kulalui, akhirnya sampai juga di stasiun Senen. Setelah sibuk mencari diloket ternyata karcisnya habis. Terpaksa Ena dan kedua sepupu berangkat ke tempat saudara yang tinggalnya tidak jauh dari stasiun Senen, akhirnya kami menginap di sana semalam.

    Paginya kami kembali ke stasiun. Ternyata diumumkan keretanya berangkat jam setengah sembilan.

“Sebell…?” Kata-kata itu yang pertamakali muncul. Bagaimana tidak, sudah keberabgkatan tertunda, masih harus menunggu lagi. Luapan emosi menghiasi bibirku.

“Lamun nyaho’ klemah aing mual ngilu kajawa nyaka retanageh hese cangekel dei nangguana.”

“Sabar atuh neng geulis!  Segala sesuatu butuh perjuangan.” A’ Adi mencoba menenangka aku. 

“Iya! Bawa bambu runcing sambil berlari kayak tempoh dulu itu baru namanya berjuang ???”

 Ih eneng kagak nyambung”, A’ Adi berusaha menghibur Ena agar Ena terlihat ceria seperti biasanya.

    Rasanya pengen nangis aja, pedih-pedih, pedih!!! tapi malu mo nangisnya. Setelah sekian lama menunggu akhirnya keretanya datang. Dengan bergegas A’ Adi masuk ke dalam gerbong kereta, Ena dan sepupu Ena berjajar di belakang A’ Adi sambil mengikuti langkah kakinya, seperti ekor yang tak mau lepas dari kepalanya.

    Sesampainya di Poncol (stasiun kereta api Semarang) Ena dan kedua sepupu Ena harus mencari angkutan to sampai ke tempat A’ Adi. Waktu nunggu angkot ada teman A’ Adi (cewek) memberikan tumpangan pada kami, akhirnya Ena’ dan sepupu Ena’ (Abi / Salbiyah nama panjangnya)  dinaikkan ke taxi teman A’ Adi, kami berdua dititipin di kosnya teman A’ Adi.

    Sembari menunggu pendaftaran kuliah, aku dan Abi singgah di tempat kosnya teman A’ Adi yang cewek. Pertama masuk kos mereka aku merasa malu, karena pakaianku yang berbeda, mereka yang berjilbab besar, pakai rok, baju yang longgar, pokoknya 180 % beda dariku. Sedangkan aku yang bercelana panjang ngepas, t-shirt yang seksi, dan kerudung yang menggantung.

    Lama kelamaan setelah beberapa hari  aku bisa menyesuaikan dengan mereka walau harus ribet menurutku, ya harus pakai kaki kalau keluar rumah, pakai rok, jilbab yang tidak menggantung, tapi aku merasa mudah menerimanya.

    Setiap harinya aku menghabiskan waktu  to baca buku dan belajar bersama Abi, maklumlah kita kan mau masuk ke universitas, paling tidak harus mempersiapkan diri dong ? Oya, kos-kosan itu bukanlah kos-kosan yang seperti biasa, karena kos-kosan itu memiliki nama tersendiri, Pesma Annisa namanya, sesuai dengan penghuninya yang cewek-cewek, eh bukan cewek tapi akhwat!!!, satu masukan kata yang asing bagiku.

    Dengan penghuni Annisa ang ramah aku jadi betah dan nyaman tinggal di situ, apalagi mereka selalu mengajak jalan-jalan ke masjid. Katanya sih cari ilmu, dari situlah aku bisa mengerti dan memahami sekaligus menjalani walau masih perlahan-lahan dalam beragama. Paling tidak aku bisa menghilangkan kebiasaan-kebiasaanku yang tak baik.

    Siang hari aku dan Abi pergi ke taman yang dekat dengan Simpang 5, taman itu tidak jauh dari Pesma Annisa, hampir setiap hari aku dan Abi ngapel di taman itu sambil makan si merah manis (semangka). Kuhabiskan waktuku sampai menjelang maghrib duduk di taman sambil bercerita menghilangkan kebosanan.

    Pernah suatu hari, tepatnya malam minggu simpang lima dipadati pengunjung, dengan penasaran kami mendatangi. Ternyata tepat di lapangan Simpang Lima akan diselenggarakan konser Gigi. Langsung saja hatiku mengajak to melihat konser Gigi. Saking penasarannya aku dan Abi rela menunggu sampai Maghrib, karena konser diadakan pukul 21.00 WIB.

    Setelah sholat maghrib selesai aku dan Abi langsung menuju lapangan, ternyata di lapangan sudah penuh dengan manusia, khususnya kaum muda. Tanpa basa-basi aku dan Abi langsung masuk ke area konser. Semua mata tertuju padaku dan Abi, memang sih pakaian kami terlihat asing bagi mereka, tapi nekat aja kami berdiri di situ sambil melihat pertunjukan menjelang konser.

    Kami tidak bertahan lama di situ, aku dan Abi merasa malu, karena hanya aku dan Abi yang memakai jilbab besar. Akhirnya aku dan Abi pulang sebelum konser dimulai. Sesampainya di Pesma aku dan Abi ditanya, dari salah satu penghuni Pesma (Pesantren Mahasiswa).

“darimana dek, kok baru pulang?” aku jawab aja habis JJS (jalan-jalan sore).

    Pagi harinya aku dan Abi diantar a’ Adi pergi ke Unnisulla to mendaftar tes masuk, ternyata pendaftaran sudah ditutup,

“Iih a’ Adi gimana sih!! katanya teh tahu kapan pendaftaran, ternyata udah tutup”. Dengan rasa kecewa abi berkata;

“maaf”. Dengan rasa bersalah a’ Adi menenangkan aku dan Abi. Rencananya aku mengambil yang jurusan agama, karena penasaran aja, sedang Abi ngambil jurusan kesehatan.

    Setelah mondar-mandir akhirnya aku masuk di IAIN, padahal tadi IAIN cuma ajang coba-coba, eh …….. duduk juga aku di IAIN. Sedang Abi diterima di kebidanan sesuai cita-citanya. Sebelum tes masuk IAIN aku tinggal di Pesma, ternyata di sini juga ada pesma, penghuninya juga jilbaber semua, semakin yakin aku memakai jilbab ini, aku merasa terbiasa dengan keadaan seperti ini. Aku tinggal di Pesma Aisyah, kesan pertama nyaman sih tapi lama kelamaan jadi gerah, mungkin karena penghuninya yang melebih kapasitas rumah, udah githu gak ada air laghii !!! kalau gak ada air aku pergi ke Pesma yang berada di bawah (pesma Khatijah), udah jalannya naik turun bukit, masih ngantri lagi, memang harus dibutuhkan kesabaran yang ekstra untuk bertahan.

    Sebelum sampai di Pesma Khatijah aku harus bertanya ma kakak-kakak penghuni Pesma Aisyah. Bukannya nganter ke tempatnya, eh ….. cuma ngasih denah gak jelas, pakai bahasa Jawa lagi !!! aduh bikin pusing Ena, ena kan gak mudeng.!!!

    Akhirnya waktu ujian pun tiba, aku jadi grogi, bener-bener bikin keringat dingin, bayangkan saja soalnya kebanyakan dari Sejarah Islam, paling-paling 3 – 5 yang benar-benar betul menurutku, apalagi bahasa arabnya gak nyambung semua! Boro-boro ngisi, baca huruf tanpa harakatnya aja gak ngerti , ya udah ngisinya asal aja.

    Tiga hari kemudian, pengumuman tertempel di tembok, setelah mataku mencari-cari namaku, akhirnya ada juga namaku, tapi ………??? kenapa namaku berada di kolom dakwah jurusan Manajemen Dakwah (MD), MD…..!!!

“Jurusan apa nih! (gumamku dalam hati) aku ragi dengan MD, karena tidak sesuai dengan pilihanku, gimana aku harus bilang sama mama, dengan A’ Adi juga. Aku mulai bingung mau aku ambil apa ga’.

    Dengan raut muka yang masam aku pulang ke Pesma, kakak-kakak di Pesma menyambutku dengan rasa penasaran mereka, kakak-kakak berusaha menghiburku, tapi aku belum yakin dengan MD, rasanya pingin nangis.     Telepon pun berdering,    
“Assalamu’alaikum …..??? Retnanya ada …………..???”,

”Oya ada ……….sebentar ………….” mama menelponku menanyakan kabar terbaru dariku, aku berusaha menjelaskan pada mama tentang MD, tapi …….. mama juga gak tahu apa itu MD, aku sendiri bingung, ku persingkat perbincanganku dengan mama, “Ya terserah Ena pengennya kemana? Mema pengen anak mama jadi guru atau apalah terserah Ena, Ena mangnya mau registrasi dari mana? Mama sekarang lagi gak punya duit”, suasana semakin keruh di hati, mama membuat pilu hati Ena.

    Kuambil pensil mungilku, kuarahkan jariku to menelpon tombol tujuan a’ Adi, ena jelaskan semua permasalahan pada a’ Adi, karena dialah yang bertanggung jawab selama Ena di Semarang. Satu menit kemudian a’ Adi menelpon, tapi Ena biarkan saja, ena suruh bilangkan  ke mbak-mbaknya, Ena lagi nangis. Bunyi SMS berbunyi dari ponselku. A’ Adi SMS,

 “nangis itu gak bikin tenang dan tidak menyelesaikan masalah”.

Padahal besok registrasi terakhir,

 “gimana nih”. Aku jadi bingung sendiri, mau kuambil atau kulepas saja, akhirnya keesokannya a’ Adi datang ke Pesma, dan tanpa basa-basi a’ Adi mengajak Ena pergi ke kampus to registrasi.

    Ya udahlah kuambil aja jurusan dakwah, semoga saja Ena betah. Mungkin proses awal dari perubahan dan tentunya perjuangan. Hari pertama kuliah kulalui dengan keragu-raguan, ya mungkin belum adaptasi aja!, lama kelamaan agak nyambung juga! Akan kulalui hari-hariku bersama jalannya sang surya karena kutahu, hidup ini bulanlah to berpangku tangan………….

Picture Reference:
http://www.worldharbourproject.org/

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.