Gerimis Cinta

By. Titi Erha

 Matahari tenggelam di balik bukit menyisakan merah mega di cakrawala. Serombongan pipit bertaburan menghiasi angkasa terbang menuju peraduanya. Di sanalah mereka akan melepas segala penat yang menghinggapi seluruh badan setelah seharian bergulat dengan para petani di ladang padi. Seharian mereka juga harus bertarung dengan serombongan tentara kecil dari dusun yang bersenjatakan ketapel. Dari kejauhan nampak seorang bapak berjalan tertatih dengan bajak di atas bahu, sesekali tanganya mengayun cambuk untuk mengendalikan dua sapi yang ada di depanya. Di samping petani dusun itu tampak Nurani melenggang kaki dengan riang sembari bersenandung lagu kesukaannya. Sesekali bibirnya manyun bersiul mengiringi lagunya.

“Assalamu’alaikum”, salam tak lupa Rani ucapkan sesampainya di pintu rumah. Tak seperti biasanya  hari itu dia tak mendengar jawaban dari dalam rumah.

 “Assalamu’alaikum”, namun belum juga ada jawaban dari ibunya. Hatinya bertanya-tanya, jangan jangan tidak ada orang di rumah.  Di dorong rasa penasaran akhirnya Rani mengayun  gagang pintu untuk membukanya.

“Door!” tiba-tiba bu Hindun muncul dari balik pintu.
 “Subhanallah!” Rani tersentak. “Ibu! Jantungku mau copot nih…!”, Rani tampak kesal sambil menatap ibunya yang kegirangan.

 “Iya, maaf ya Ran! ibu kan cuma bercanda” kata bu Hindun sambil mencubit gemas pipi anaknya. Ranipun tak mau kalah, ia ingin membalas cubitan itu tapi bu Hindun sudah lari duluan, akhirnya mereka berdua saling berkejaran. Seperti itulah keakraban mereka, meskipun hanya tinggal berdua, mereka cukup bahagia. Pak Yahya, suami bu Hindun telah lama meninggal, itulah sebabnya dia harus bekerja keras untuk menghidupi diri dan anaknya. Ia bekerja sebagai asisten manager kantin rumah sakit yang letaknya tak jauh dari desanya.

Setelah sholat Maghrib berjamaah di mushola, bu Hindun meneruskan aktifitas rutinnya di mengajar anak-anak ngaji di TPQ bersama pak Ulin, Imam mushola setempat. Malam ini pak Ulin meminta anak-anak kelas 3 SMP ataupun SMA untuk berkumpul kembali di serambi mushala sehabis shalat Isya.

“Anak-anak yang shalih dan sholihah, bapak meminta kalian berkumpul disini karena bapak ingin menyampaikan beberapa hal, sehubungan dengan UAN yang dua hari lagi akan kalian hadapi”, begitulah pak ulin mengawali nasehatnya malam itu sebagai tanggung jawab moral seorang guru ngaji.

Malam itu pak Ulin memberikan banyak petuah sebagai bekal mental bagi anak didiknya dalam menghadapi ujian. Selain pak Ulin, bu Hindun juga menambahkan bahwa dukungan moral dan doa saja takan cukup tanpa belajar. Untuk itu, ngaji mereka di liburkan sementara agar mereka lebih fokus untuk belajar.

Ujian sekolah usai. Guratan ceria di wajah para siswa menyiratkan kelegaan di hati mereka karena pertarungan hidup dan mati baru saja di lalui. Kerja keras mereka selama beberapa tahun bergulat dengan buku di pertaruhkan hanya dalam hitungan jam saja pada hari itu. Biarpun demikian  masih ada ketegangan yang harus mereka rasakan, yaitu detik-detik menunggu pengumuman  kelulusaan. Yang bisa mereka lakukan sekarang hanya berdoa dan bertawakkal.
Hari yang ditunggu-tunggupun tiba, tangis sedih maupun bahagia turut menghias suasana. Bu Hindun mondar-mandir di teras rumah. Ia tak sabar menunggu anaknya pulang membawa hasil belajarnya selama 3 tahun di SMP. Sesaat kemudian terlihat Rani melintasi pagar rumah, dengan langkah lemas dan wajah tertunduk gadis itu mendekati ibunya.

 “Assalamu’alaikum”.
 “Wa’alaikumsalam, gimana Ran?” tanya bu Hindun cepat.

Dadanya terasa berdebar debar menanti jawaban dari anak gadisnya itu. Perasaanya semakin tak menentu saat Rani belum juga menjawabnya setelah bertanya beberapa kali, apalagi anak itu masih tertunduk lesu. Berbagai prasangkapu menggelayuti pikiran..
“Jangan-jangan rani tidak lulus”, dia bertanya pada dirinya sendiri.
“Alhamdulillah bu, aku lulus” jawab Rani agak lirih.
 Cess…, kata-kata itu mendinginkan hatinya.

 “Alhamdulillahirabbil’alamin… terima kasih ya Allah!”, bu Hindun tak henti-hentinya bersyukur dengan disertai rasa bahagia. Ternyata kerja keras dan do’anya selama ini di kabulkan oleh Allah.
 “Sekarang, kamu makan dulu Ran, terus bantu ibu masak. Ibu sudah nadzar, kalo kamu lulus kita akan tasyakuran di mushalla”.

Malam harinya, mushalla pak Ulin begitu ramai, ternyata bukan cuma Rani yang mengadakan syukuran. Anis dan Eva juga merayakan kebahagiaanya di sana. Ditengah-tengah acara, Rani pamit pulang “Ibu, aku pulang dulu ya?”

 “Lho, kamu yang punya acara ko’ malah pulang duluan tho Ran? Kasihan teman-temanmu itu lho!”, tanya ibunya heran. “Bu, aku pusing. Kecapekan kayaknya”, Rani memelas. “Ya udah sana, nanti biar ibu yang beresin piring dan gelasnya”, bu Hindun mencoba memahami keadaan anaknya itu. Seorang anak yang menjadi satu-satunya harapan di masa senja. Saat tenaga sudah tiak lagi sempurna menyatu dengan raga. Detik-detik penantian menuju peraduan abadi, dalam balutan keriput kulit dan rambut yang mulai memutih. Sungguh beruntung orang tua yang mempunyai anak yang berbakti pada masa-masa seperti itu. Seorang anak yang tetap menghargainya diantara orang-orang yang mulai meninggalkanya. Menyeduhkan secangkir teh dan menyajikanya di sisi ranjang ketika harus terbaring tak berdaya karena sakit. Apalagi ketika sudah meninggal nanti, dia ingin pahala tetap mengalir bagi dirinya walaupun jasad sudah sudah menyatu dengan tanah. Itulah balasan yang hendak di capai atas tulus kasih sayang yang di berikanya selama ini, selain keridhoan Allah yang menjadi tujuan utamanya.

Setelah acara selesai bu Hindun pulang dengan hati yang lega. Ia rebahkan tubuhnya disamping Rani. Belum sempat ia pejamkan mata. “Bu…!”, tiba-tiba Rani memanggilnya. “Kamu belum tidur sayang? Dari tadi siang ibu lihat kamu nggak semangat, ada apa sih?”. Bu Hindun sudah menduga ada yang anaknya sembunyikan. “Aku bingung bu”,  sahut Rani lirih sambil membalikan badanya. “Tadi siang aku dipanggil pak Kepala Sekolah, katanya aku mendapat bea siswa 3 juta”, Rani berhenti sejenak. “Tapi dengan syarat aku harus meneruskan ke SMA N 1 bu”.  “Kalau Rani setuju, berarti harus ninggalin rumah, dan tinggal di kos. SMA 1 kan di kota bu! Perjalanan dari sini butuh waktu 2 jam, nggak mungkin kan kalau harus laju. Selain ketetaran, biaya transport juga mahal”, dalam kebimbanganya Rani coba menjelaskan. “Lho! Ran, , harusnya kamu bersyukur dong! Tidak semua orang bisa mendapat beasiswa. Kepala Sekolah memintamu meneruskan di SMA 1 pasti ada alasannya. Persaingan yang ketat disana akan membuatmu lebih terpacu untuk berprestasi. Kalau masalah kos, nanti kamu juga akan terbiasa”, bu Hindun mendukungnya. “Bukan cuma itu yang aku pikirkan bu! Pak Kepala Sekolah bilang, beasiswa 3 juta itu hanya cukup untuk uang masuk dan uang gedung semester awal saja. Padahal nanti-kan ada SPP, uang kos, uang makan sehari-hari, ini, itu…”, panjang lebar Rani menjelaskan kecemasannya. “Sayang, untuk apa kamu mikir biaya segala, tugasmu hanya belajar! Tenang saja, setiap ada keinginan pasti ada jalan. Besok ibu akan coba minta pak menager untuk menambah jam kerja ibu, biar ada tambahan uang lemburan. Lagi pula kalau ibu hanya kerja setengah seperti biasa, bosen juga kan sendirian di rumah. Nggak ada kamu”.
Akhirnya Rani memantapkan hati untuk meneruskan sekolah di SMA 1 setelah sang ibu meyakinkanya.

Proses pendaftaran di sekolah yang cukup ternama itu berjalan lancar, kini Rani harus mengikuti orientasi sebagaimana siswa lainya. Pertama masuk sekolah, Rani belum bisa menikmati hari-harinya. Seakan akan dia berada di sebuah pulau terpencil yang belum pernah di singgahinya. Meski mendapat kos tak jauh dari sekolah, tetapi ia merasa bosan dan tidak betah tinggal di sana. Dia belum bisa melupakan hijaunya perbukitan dan padi yang menguning di desanya, juga kenangan masa-masa SMP yang begitu indah. Di tempat yang lain, bu Hindun juga merasakan  ada yang hilang dari hari-harinya.

Hari sabtu telah tiba, Rani mempunyai waktu yang tepat untuk pulang. Dengan perasaan gembira dia mengemasi barang-barangnya, menuju terminal dan pulang ke rumah. Hari itu seakan-akan menjadi hari pembebasanya dari penjara rutinitas sekolah dan suasana kos yang membosankan. Saat itu jugalah dia bisa menghirup udara dengan lepas hingga mampu memenuhi seluruh rongga dadanya. Apalagi dia akan berjumpa orang terpenting dalam hidupnya. . “Asslamu’alaikum”, Rani mengucap salam sambil meraih gagang pintu dan segera membukanya. Ia tak mau berlama- lama menahan rindu yang sudah memuncak didada. Kerinduan yang selama ini membuat hati resah dalam penantian saat-saat pertemuan dengan ibunya tersayang. “Wa’alaikumsalam, ya Allah Rani!”, bu Hindun terkejut. “Kamu pulang nak! Ibu kangen!”, sambut bu Hindun yang segera menghampiri dan memeluknya. “Cepat duduk dulu, sekarang ceritakan pada ibu bagaimana sekolah barumu?”, Bu Hindun ingin sekali mengetahui keadaan lingkungan baru anaknya. Dia ingin memastikan tiada aral melintang dalam perjalanan anaknya menempuh bangku sekolah. “Aku nggak betah bu!”, Rani merengek. “Ga punya temen, dikos sekamar sendiri. Di sekolah teman-teman juga pada sibuk sama ganknya sendiri-sendiri. Sedangkan temen-temen satu sekolah dulu yang nerusin disana cuma Agus. Dia kan cowok bu”, dengan bibir manyun Rani menceritakan ketidakbetahannya. Bu Hindun hanya bisa tersenyum memperhatikan keluguan putrinya, ia tak ingin anaknya patah semangat. “Sayang, keadaan seperti itu wajar, dan itu hanya sementara. Kamu cuma butuh waktu untuk beradaptasi, paling tidak setelah satu bulan kamu akan betah tinggal disana. Bahkan bisa jadi kamu akan lupa pulang”.  Keduanya bepelukan dengan erat. Lembut tangan bu Hindun lembut membelai lurus rambut putrinya. Segala rasa rindu yang telah menggumpal, meleleh dan tumpah saat itu.

Hari berlalu begitu cepat. Minggu sore Rani harus berangkat lagi. Bu Hindun mengantarnya sampai ke teras. “Jangan lupa belajar nak!”. Rani hanya mengangguk. “Lho, kok lemes gitu tho? Semangat donk!”, bu Hindun mengepalkan tangan Rani. Setelah mencium tangan ibunya Rani masih merasa ragu untuk berangkat dan tetap berdiri di hadapan ibunya. Ia merasa berat melangkahkan kakinya kaki, seolah olah ada tangan yang muncul dari bumi dan memegangnya begitu erat. Sebuah ciuman di kening akhirnya meluluhkan hati Rani dan membuatnya kuat untuk melangkahkan kaki menuju ke kota untuk melanjutkan studinya.

Sebulan berlalu Rani merasa lebih betah. Dua bulan berikutnya ia mulai pulang sebulan sekali. Ia tampak lebih cerah dan mantap. Gayanyapun sedikit berubah mengikuti anak kota. Tidak selugu dulu.
“Ran, kamu dandan ya?” tanya bu Hindun melihat perubahan pada anaknya yang tampil lebih menarik. “He… iya bu, tapi ini tipis kok. Nggak menor-menor banget, cuma nunjukin kalo anak berjilbab juga nggak kalah cantik sama yang lain”, Rani membela diri. Bu Hindun tidak mempermasalahkan perubahan yang terjadi pada anaknya. Sebuah perubahan yang menunjukan bahwa putrinya mulai beranjak dewasa.

Satu semester telah dilewati. Saat raport  dibagikan Rani mendapat peringkat pertama, sebagai penghargaan dari sekolah ia dibebaskan dari SPP. Semua itu semakin mentapkan Rani untuk melanjutkan sekolah dan merajut impian untuk mengenyam pendidikan tinggi di kota.
Diawal semester baru, kelasnya kedatangan murid baru pindahan dari luar kota, namanya Lia. Kebetulan dia bukan hanya satu kelas tapi juga satu kos dengan Rani.

Tidak butuh waktu lama bagi Rani bisa akrab dengan Lia. Mereka sering berbagi cerita tentang keluarga, sekolah, juga masa kecil mereka.  Di balik keakraban mereka Rani tidak suka dengan kebiasaan Lia yang boros, senang jalan-jalan dan suka membuat kamar berantakan. “Maklum lah! Dia kan anak tajir”, itulah bisik Rani pada dirinya sendiri setiap melihat kelakuan buruk sahabatnya itu. Beruntung Lia tidak pelit, jadi Rani sering diajak ke Mall, Café dan ke tempat teman-teman Lia yang gaya hidupnya sama. Berapapun besar uang yang dihabiskan mereka untuk semua itu, Lia yang tanggung.

Bel panjang berbunyi, menandakan waktu belajar sekolah berakhir. Lia mengajak Rani jalan-jalan ke mall, tapi kali ini Rani menolaknya. “Sory Li, aku pulang aja, mau langsung ngerjain PR, kamu tau sendiri kan? Nilaiku menurun akhir-akhir ini”. “Oh gitu ya? nggak apa-apa deh, ntar aku ajak Ranti aja. Eh jangan lupa contekin aku besok ya…!” ledek Lia. “Oke, kamu jangan lupa bawa oleh-oleh…” balas Rani sambil tersenyum.

Ba’da Maghrib Lia baru pulang. “Heh!”. “Ya Allah, Lia!” teriak Rani yang dikagetkan teriakan Lia saat serius belajar. Dia tidak menyangka tiba-tiba suara sahabatnya itu memecahkan keheningan malam. Jantungnya serasa berdegup sangat kencang hingga hampir-hampir mau copot. Dadanya masih berdegup dan nafasnya masih naik turun saat tiba-tiba Lia menunjukkan sebuah benda ditangannya. “Hah, kamu ganti HP lagi Li ?”, Rani tak menyangka Lia beli HP baru lagi.  Padahal Hpnya yang lama baru sebulan dibeli. “Ya iya lah! Gua gitu…”, dengan gayanya yang khas Lia menjawab pertanyaan Rani. Lia memang tergolong anak kaya. Ayahnya adalah seorang pemilik beberapa dealer mobil di kota itu. “Ran, kapan kamu punya HP? Dikelas cuma ada satu dua orang yang belum punya, salah satunya kamu”. “Punya HP? Beli pake apa non? Aku kan cuma anak seorang koki. Untuk makan aja ibuku harus bekerja keras membanting tulang. Nggak seperti kamu yang pengen apa aja langsung tersedia”. Rani menyadari keadaan ekonomi keluarganya. Kesedihan di wajahnya menyiratkan sebuah kepasrahan pada nasib yang dialami. Rani hanya menunduk terdiam. “Sory Ran, aku nggak bermaksud nyinggung kamu. Tapi aku yakin ibumu pasti akan mengusahakan kalo kamu memintanya. Orangtua kita  tidak akan segan untuk mengeluarkan biaya untuk membahagiakan kita, mencukupi kebutuhan kita”, bujuk Lia. Kata-kata Lia itu betul-betul terngiang dalam pikiran Rani. Dia coba merenunginya dalam-dalam. Bukankah dia anak satu-satunya? Bukankah selama ini ibunya selalu berusaha mewujudkan keinginanya walaupun harus bersusah payah? Walaupun dia harus selalu berjibaku dengan kerasnya roda kehidupan yang terus berputar.  Walupun terkadang dia melupakan hak tubuhnya untuk sekedar memejamkan mata dan membaringkan tubuh untuk melepas lelah. Sehingga terkadang dia tersungkur tak berdaya di atas tempat tidur karena harus tidur  sampai larut malam atau kelelahan bekerja. Disisi lain, menyadari semua itu Rani tidak mau meminta sesuatu yang berlebihan pada ibunya. Pikiranya terus berkecamuk malam itu, sampai akhirnya sang malam menutupkan kedua mata dan menerbangkanya kealam mimpi.

Suatu hari Rani memberanikan diri bilang pada ibunya walaupun dengan perasaan yang ragu. “Bu,  temen-temen Rani udah pada pegang HP semua loh, jadi kalau ada PR bisa tanya lewat sms atau telfon. Jadi nggak usah capek-capek maen kerumahnya. Kalau mau ngehubungi guru juga lebih mudah”. Bu Hindun hanya tersenyum getir.  “Ran, ibu tau kamu mau minta HP kan? Kamu pengen seperti teman-temanmu yang bisa mendapat apa saja yang mereka mau kan? Tapi kamu juga harus tau sayang, kita beda dengan mereka. Dengan keadaan yang seperti ini saja kita harus sudah bersyukur Ran. Kita bisa makan, kamu bisa sekolah itu sudah luar biasa. Kita bisa bahagia dengan cara kita sendiri sayang. Tidak perlu mengikuti orang lain”.  “Bu, HP itu kan penting. Ibu bisa telpon aku, tanya kabar ku disana, kasih kabar kalo ada apa-apa di rumah. Macem-macem bu…”, Rani terus merayu. “Ran, tanpa HP ibu juga bisa tau kabar kamu, setiap bulan kamu kan pulang. Lagian kalau ibu kangen, ibu bisa saja tengok kamu kesana. Jadi belum butuh-butuh amat. Disamping itu kalau punya HP pasti kamu jadi boros. Udah HPnya mahal, pulsanya juga harus diisi terus kan?”., “Yach! Ibu nggak tau kebutuhan anak. Aku malu bu, diledek terus terusan sama temen-temen. Saat mereka pada main sendiri-sendiri, aku cuman bisa ngliatin. Nelangsa bu!”, Rani merajuk sambil beranjak kekamar dan mengemasi barang-barangnya. “Astaghfirullahal’adzim …! Rani kamu kenapa sich? Siapa yang mempengaruhi kamu?”. Bu Hindun kaget  dengan sikap aneh Rani. Tidak biasanya dia bersikap seperti itu.  Rani yang dia kenal selama ini adalah Rani yang sangat penyabar dan sangat mengerti keadaan orang tuanya. Bukan Rani yang ketus dan pemarah seperti yang baru saja ia saksikan. “Kamu tahu sendiri gaji ibu pas-pasan nak! Kalau ibu punya uang banyak, untuk apa kalau bukan buat kamu Ran? Ibu juga sudah berusaha keras untuk mencukupi semua kebutuhan kamu”. “Itu kan memang sudah kewajiban ibu, Wajar dong kalau ibu harus bekerja, berusaha membahagiakan anak”. Sela Rani sambil beranjak pergi tanpa sedikitpun memandang wajah ibunya.
Selama perjalanan Rani merasa bersalah, ia tak kuasa mengingat kata-kata kasar yang ia lontarkan pada ibu yang selama ini ia sayangi. Tapi apa boleh buat, nasi sudah menjadi bubur. Rani memutuskan untuk minta maaf minggu depan sambil menenangkan pikiran. Keesokan harinya, Agus-teman SMP Rani datang kekos, “Ran, tadi pagi waktu aku njenguk eyang di rumah sakit, aku ketemu ibumu, dia nitipin ini buat kamu”. Agus menyodorkan barang titipan itu pada Rani yang tampak penasaran. “Aku pulang dulu ya, tuh sudah ditungguh bapak didepan”.  “Oh iya, makasih banget ya Gus!”. Rani mengantarkan Agus sampai di pagar rumah. Rani bergegas ingin cepat-cepat membuka bungkusan ditangannya. “Hah, HP! Alhamdulillah… makasih ya Allah. Makasih ibu…”. Hati Rani menjadi berbunga-bunga, ia merasa seperti orang yang paling bahagia saat itu. Ternyata ibunya membelikanya sebuah HP.

Pagi-pagi sebelum berangkat sekolah tiba-tiba HP itu berbunyi.  Ternyata yang menelepon adalah Pak Ulin. Dia mengatakan bahwa ibunya tidak sempat pergi ke wartel dan memintanya menanyakan kabar Rani. Selain itu bu Hindun berpesan kalau dia kangen pada Rani. Rani sangat senang, karena saat itulah pertama kali dia terima telpon.

Dua minggu sudah Rani mempunyai HP baru.
 Siang itu para murid dipulangkan lebih awal, karena ada rapat guru. Rani, Lia dan teman-temannya memanfaatkan kesempatan itu untuk jalan-jalan ke mall. Rani ingin menggunakan kesempatan itu membeli aksesoris untuk HPnya dengan sisa uang tabungan yang di miliki. Setelah puas menjelajahi setiap sudut mal dan membeli asesoris HP, mereka memutuskan untuk pergi ke bioskop. Ketika dalam perjalanan penuh suka cita, Rani bertemu Agus.  “Loh Ran, kamu disini?” tanya Agus tampak heran. “Iya, ini sama temen-temen…”. “Maksudku, kamu kok nggak nungguin ibu kamu di rumah sakit, katanya beliau dirawat di UGD?” Agus menjelaskan maksud pertanyaannya. Rani tersentak kaget karena tak mengerti dengan perkataan Agus. “Maksud kamu?”. “Bukankah ibumu dirawat dirumah sakit Ran? Jadi kamu belum tahu?”. Tiba-tiba badan rani bergetar, hampir saja ia percaya semua itu. Tanpa berpikir panjang, ia berlari meninggalkan teman-temannya.

Sesampainya didepan rumah sakit ia bertemu Pak Ulin yang langsung mengantarkanya kekamar dimana bu Hindun dirawat. Perlahan Rani membuka pintu dan melihat kedalam, tetapi ia tak kuasa melangkahkan kakinya untuk masuk lebih dalam. Ia hanya berdiri bersandar pada pintu tanpa sepatah katapun terucap dari mulutnya. Tatapan matanya tertuju pada sesosok tubuh terbaring yang tertutupi kain putih. Sebuah pertanyaan terus menggelayut di benaknya demi melihat semua itu, membuat hati menjadi gundah gulanan tak tentu arah.  Benarkah sosok dibalik kain putih itu adalah ibunya?. Sampai akhirnya! “Sabar ya nak…” tegur Pak Ulin yang sejak tadi memperhatikannya dari belakang. Tanganya memegang kedua pundak Rani dan menuntunnya mendekati jazad yang terbaring didepan mereka. Perlahan Rani membuka kain yang menutupi wajah jazad dengan hati berdebar. Dia berdoa dan berharap agar itu bukan ibunya. Sampai tersingkap kain putih itu Rani masih belum berani melihat wajah yang ada dihadapanya, tetapi rasa penasaran yang semakin kuat memaksanya untuk memberanikan diri. Dan..!. Tubuh Rani menggigil, nafasnya serasa sesak dan bergerak begitu cepat, seakan akan dadanya dihimpit oleh dua tembok yang sangat kuat. Serasa Rani ingin berteriak sekuatnya, namun suaranya tertahan di tenggorokan. Seakan-akan ada tangan yang mencekiknya. Rani terus memaksa. “Ibu…!”. Akhirnya tangan yang mencekik itupun terpental, tembok yang menghimpitpun hancur berkeping-keping, sehancur hati Rani yang menyadari bahwa itu adalah ibunya. Ibu yang telah sekian lama merawatnya penuh kasih sayang. Pribadi yang selalu mengisi kegundahan hatinya dengan lembut tutur kata penuh hikmah. Sosok yang merawatnya dengan tulus cinta ketika tidak seorangpun mempedulikanya. Ia sangat menyesal karena telah menyakiti hati ibunya saat terakhir perjumpaan mereka. Bahkan ia meninggalkan tanpa melihat wajahnya. Rani terus meratapi kematian bu Hindun di iringi derai air mata. Dia terus memeluk jasad tak bernyawa itu dan menciumi wajahnya, hingga air mata turut membasahi  wajah ibu yang sangat di cintainya itu.
“Ibumu menghembuskan nafas terakhirnya tiga jam yang lalu Bapak sudah berusaha menghubungimu, tapi nomer kamu sibuk terus”. Terang pak Ulin. Rani teringat tiga jam yang lalu HPnya sedang diotak-atik dikonter.

“Sejak pagi ia selalu bilang ingin ketemu kamu, dia meminta bapak menelponmu, untuk memastikan kamu baik-baik saja. Tapi dia melarang bapak memberitahumu tentang keadaannya”, pak Ulin duduk disamping Rani dan menceritakan ikhwal ibunya. “Dia dinyatakan mengidap leukemia ketika umur 13 tahun, sejak itu pula ia tak meneruskan sekolahnya, selain SPP, biaya pengobatan yang mahal juga menjadi pertimbangan. Bude Srilah yang merawatnya setelah bapak-ibunya meninggal saat menunaikan ibadah haji. Bude Sri adalah manager kantin rumah sakit ini yang dulu. Hindun sering diajak membantu disini. Beberapa waktu kemudian bude Sri meninggal, hidup Hindun semakin berat. Alhamdulillah manager kantin pengganti bude Sri merasa iba dan memberinya kesempatan mencari penghasilan disini. Disela-sela jam kerja, ia pergi ke sekolah. Diam-diam dia mengintip anak-anak yang sedang belajar di kelas. Dia juga sering ke toko buku bapak meski hanya baca-baca dan tidak pernah membeli, makannya dia banyak wawasan meskipun tidak sekolah seperti anak-anak lainnya. Suatu hari bapak menawari dia untuk ikut mengaji di TPQ mushalla bapak. Karena cerdas bapak memintanya ikut membantu mengajar anak-anak yang lebih kecil. Meski dia telah menjadi ustadzah, dia tak berhenti mengaji”. Rani terus mendengarkan cerita pak Ulin, karena ibunya sendiri tidak pernah menceritakan masa lalunya. “Sampai pada suatu hari datanglah Yahya, seorang pemuda perantauan ngontrak di rumah bapak. Dia jatuh hati pada Hindun dan akhirnya mereka menikah. Mereka sangat bahagia apalagi dua bulan setelah pernikahan mereka, Hindun dinyatakan hamil. Tapi sayang kebahagiaan Hindun hanya berhenti di situ, Yahya meninggal dalam sebuah kecelakaan saat menuju tempat kerjanya. Hindun sangat terpukul, kondisinya terus melemah, hingga janin yang belum genap dua bulan dalam rahimnya gugur”. Rani sangat terkejut mendengar kalimat terakhir pak Ulin, ia menatap penuh tanya wajah lelaki paruh baya disampingnya itu. “Apa maksud kata-kata pak Ulin itu? Anak hasil pernikahan dari Hindun dan Yahya gugur? Lalu apakah aku ini anak hasil hubungan gelap ibu dengan laki-laki lain? Karena setahuku ibu hanya menikah dengan Yahya. Atau?”, pertanyaan-pertanyaan itu semakin membuat resah hati Rani. Belum sempat Rani bertanya, pak Ulin melanjutkan kisahnya. “Selama beberapa hari Hindun lebih sering mengurung diri di kamar, ujian yang ia hadapi betul-betul membuatnya terpukul. Sampai pada suatu hari ia mendengar rengekan seorang anak kecil di depan rumahnya. Umurnya sekitar satu tahun. Anak kecil menangis itu meminta makan karena kelaparan. Rupanya dia adalah anak yang di bawa seorang pengemis dan di tinggalkan disana. Bisa jadi sebenarnya dia adalah anak orang kaya yang di culik dan di jadiakan alat pencari uang oleh pengemis itu. Dari balik jendela Hindun memperhatikan anak itu. Pelan-pelan ia mendekatinya. Setelah lama menatap anak yang kurus dan dekil itu Hindun langsung mendekapnya erat. Ia mengajaknya ke dalam, memberinya makan dan memandikanya. Ia memutuskan menjadikannya anak angkat. Setelah kedatangan anak itu hidupnya langsung berubah, semangatnya telah kembali. Ia merasa Allah masih menyayangi dan mempercayainya dengan menitipkan anak itu padanya. Ia merawat anak itu dengan penuh cinta kasih hingga ia lupa bahwa anak itu bukan anak yang lahir dari rahimnya. Ya…, seorang pengemis kecil, kurus, dekil, telah diubahnya menjadi gadis cantik, pintar dan shalehah. Gadis itu dia namakan Nurani”. “Apa…!”, teriak Rani. “Ya, kamu bukanlah anak kandung Hindun Ran!” Tegas pak Ulin. Bagai tersambar petir di siang bolong, Rani sangat terkejut mendengar semua itu. Ia jatuh terduduk di lantai. Kedua kakinya serasa lemas, seakan-akan tiada lagi tulang yang menopangnya. Dia tidak percaya semua itu menimpanya. “Kau tau? Sejak kamu meneruskan SMA, leukemia Hindun yang dulu dokter nyatakan sembuh dinyatakan muncul lagi. Dan hanya untuk memenuhi permintaanmu, ia mengurungan pengobatannya. Karena uang yang awalnya akan digunakan untuk biaya pengobatan, ia pake untuk membeli HP yang kamu minta. Kondisinya semakin memburuk, dan…”, pak Ulin tidak kuasa meneruskan kata-katanya dan langsung keluar ruangan.

Segala perasaan melingkupi hati Rani. Ia tak berdaya menggerakkan tubuhnya, seakan tulang-tulangnya dilorot dari badan. Tubuhnya serasa dicabik-cabik. Cukup lama ia tergeletak tanpa daya, ia mencoba menguatkan diri untuk bangkit. Ia pandangi kembali wajah wanita mulia yang kini terbaring tanpa nyawa, perlahan ia raba tangan yang pernah menyuapnya dengan cinta dan mencubitnya pipinya dengan kasih. Rani ingin mencium tangan itu untuk yang terakhir kali, namun dia terkejut. Dia menemukan sesuatu dalam genggaman tangan itu. Sebuah foto seorang gadis remaja dipeluk seorang wanita.  Tapi sayang wanita itu sekarang tidak akan pernah memeluk siapa-siapa lagi, karena malaikat maut telah mengajaknya pergi . Ternyata dibalik foto itu terdapat sebuah tulisan.
“Meskipun aku hanyalah rintikan gerimis, tapi ku-yakin kelak akan mampu membasahi kering  bumimu dengan cinta”.

Serentak Rani mendekap tubuh kaku dihadapannya. Ia terus terbayang semua cerita pak Ulin, kenangan-kenangan manis saat tubuh itu masih bernyawa. Juga kata-kata kasar yang pernah ia lontarkan dan permohonan maaf  yang belum sempat terucapkan.

Hingga detik-detik pemakaman ibunya Rani tidak mampu  menggerakan mulutnya untuk berkata-kata. Seakan akan sebuah gembok telah terpasang dan membungkam seluruh keluh kesah agar terus tersimpan dalam dadanya. Matanya tampak sendu menghitam sembari meneteskan sisa-sisa air mata dari lubuk jiwanya. Hatinya yang rapuh terus di hantui bayang-bayang kelam masa depan. Dia tidak bisa membayangkan sepinya hari-hari tanpa senandung merdu sang ibu yang menenangkan jiwa. Tanpa lembut belaian kasih dan sebuah kecupan di kening menjelang tidur. Tanpa seorang sahabat ketika hati resah dan tanpa pelindung ketika susah. Hari-hari kelabu dalam kesendirian.

“Innalillahi wa innailahi roji’un”, hanya kata-itulah yang coba dia senandungkan diatas ketidakberdayaanya.   Hingga saatnya tiba seluru jasad ibunya tertutupi tanah merah pekuburan, Rani baru mengikhlaskan kepergian wanita yang telah mengorbankan hidup untuknya. Sekeranjang kecil bunga teriring doa dia taburkan ke atas gundukan tanah merah itu, hingga semerbak wanginya membubung tinggi keangkasa. Namun bagi Rani keharuman pengorbanan dan jasa besar ibunya jauh lebih harum dari kembang manapun.

Sejak saat itu Rani bertekad untuk tidak akan menyia-nyiakan pengorbanan besar itu. Dengan mengandalkan beasiswa ia bisa bertahan dan lulus dari SMA. Iapun meneruskan pendidikannya di perguruan tinggi ternama di kotanya.

Belajar dari cinta, ketekunan dan perjuangan wanita yang mendidiknya sejak kecil, Nurani menjadi sarjana muda dan lulus dengan predikat cumlaude. Bahkan dia menyabet prestasi sebagai lulusan terbaik tahun itu. Dari situlah jalan tebuka untuknya, ia mendapat kesempatan untuk belajar ke luar negri atas biaya pemerintah. Sepulang dari luar negri dia memutuskan untuk aktif dalam kegiatan sosial kemasyarakatan dan politik hingga akhirnya terpilih sebagai walikota di daerahnya. Rani mempunyai impian untuk tidak lagi melihat orang-orang miskin dan anak-anak usia sekolah berkeliaran dijalanan. Untuk itu ia berusaha mewujudkan melalui program kerja selama periode kepemimpinanya. Untuk itu dia banyak mendirikan sekolah, perpustakaan, rumah sakit dan panti asuhan dengan dana oprasional dan subsidi dari pemerintah. Nama Rani kian melejit seiring prestasi yang ditorehkan, biarpun demikian ia tidak menjadi sombong ataupun takabur.

Semua cita-cita telah tercapai, Ranipun datang ke makam ibu yang telah mengajarinya arti cinta dan kasih sayang. “Masih bolehkan aku memangilmu ibu?” lirih suara Rani didepan pusara bu Hindun. Matanya berkaca-kaca. Getir-getir kerinduan dan kepedihan menyeruak didalam kalbu. Berjuta kenangan masa lalu hadir dipelupuk mata Rani, hingga tumpahlah airmata yang sempat beberapa saat tertahan. Butir-butir kristal itu kini berubah menjadi sungai yang mengalir deras hingga membasahi tanah pekuburan. Tanah tempat sesosok jasad mulia terbaring penuh kedamaian menantikan hari pembalasan atas segala kasih sayang yang telah dicurahkan sepenuh hati. Hingga mampu merubah besi yang berkarat menjadi logam mulia.

  “Sekarang aku sudah dewasa bu, aku telah mengerti arti ketulusan yang pernah kau curahkan saat merawat seorang gadis kecil, kurus, dekil dan kau bebaskan dari keterlantaran. Lihatlah gadis itu sekarang ada didepanmu ibu!”. Rani bicara seakan-akan sang ibu ada di hadapanya. “Bu, Alhamdulillah…! Sekarang aku telah membangun sekolah, agar tak ada lagi anak yang hanya mengintip untuk belajar dari balik tembok kelas. Aku telah membangun perpustakaan, agar tak ada lagi anak yang setiap hari pergi ke toko buku hanya untuk membaca tanpa mampu membeli. Aku telah mendirikan rumah sakit, agar tak ada lagi orang yang terlambat berobat hanya karena uangnya telah gunakan untuk membeli HP demi kebahagiaan anaknya. Aku juga telah membangun panti asuhan agar tak ada lagi anak miskin dan kurus merengek minta uang ataupun makanan ke setiap orang. Ibu, salah besar jika aku tak bahagia mempunyai ibu yang sangat kaya hati dan  cintan sepertimu, dan  sangat bodoh jika aku iri dengan mereka yang hanya kaya harta tetapi miskin cinta.”

Terima kasih wahai gerimis hidupku, atas rintik cinta yang kau berikan, hingga basah  bumi hati ini.

Referensi Gambar:
https://www.flickr.com/photos/535375443

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.