Qur’an dan Perubahan Sosial

Keistimewaan al-Qur’an jika dibanding kitab samawi lainnya ialah dilengkapi secara hikmah oleh pengetahuan modern, agar dengan pengetahuan itu risalah bisa terus menyebar dalam tantangan zaman yang terus membaharu. Pengetahuan itu bisa digali menjadi knowledges trategi dakwah sesuai tantangan terbaru dalam melanjutkan misi rasulullah dalam membentuk masyarakat rahmatan lil‘alamin, yaitu membentuk sebuah umat dengan pribadi-pribadi yang tangguh dan punya sikap penyayang terhadap makhluk yang ada di atas bumi (Abu Dawud dalam Albani: 3522). Selain itu juga menjadi perintis dalam membangun “negeri (al-balad) golongan kanan” yang masyarakatnya memiliki karakter saling menasehati dalam kesabaran dan saling menasehati dalam kasih sayang (QS.90:17-18).

Pada generasi awal umat Islam, pribadi-pribadi penyayang itu tercermin dari sikap “presiden” Umar ibnu al-Khatab yang bersedia memikul karung gandum dengan punggungnya sendiri untuk diberikan kepada sebuah keluarga (rakyat) yang tak punya makanan (Muzadi dkk, 2004:105). Atau sikap santun Ali bin Abi Thalib yang mau menurunkan kecepatan kakinya, lalu berjalan perlahan di belakang orang yang lanjut usia serta tidak mendahuluinya, meskipun manusia lanjut usia itu seorang Yahudi (Abu Alkindie & Abu Azka, 2013:78). Perilaku penyayang lainnya juga ditunjukkan oleh para sahabat yang taat kepada larangan dari rasulullah agar tidak memotong ranting berdaun segar meski disaat perang (Imam Malik, Al-Muwatha Bab 21/10), juga taat pada larangan untuk tidak membunuh semut meskipun hanya makhluk kecil (Shahih Muslim, No. 4157, 4158).

Adapun terkait negeri golongan kanan, ia adalah negeri yang penghuninya saling menasihati dalam kesabaran dan saling berkasih sayang. Sikap saling menasihati dalam kesabaran dan saling berkasih sayang itu merentang dari tingkat kebiasaan ringan senyum dan menebar salam di tengah kehidupan bermasyarakat (Sahih Tirmidzi, No. 2409), kemudian menegakan kebiasaan saling menasihati melalui ibrah-ibrah yang halus, contohnya dua cucu nabi yang berlomba wudhu di depan orang tua yang wudhunya salah (agar orang tua itu belajar tanpa digurui). Kemudian sampai tingkat memberlakukan penegakkan hukum dengan menarik zakat, yaitu 1/40 dari gaji atau penghasilan para orang kaya (di luar hitung modal) dengan ‘kekuatan’ kekuasaan lalu menyalurkannya kepada fakir dan miskin (QS. 9:103-104, 60).

Untuk mewujudkan masyarakat golongan kanan, dibutuhkan aktifitas dakwah yang bisa mendorong perubahan sosial. Dakwah seperti ini bukan hanya menyasar perubahan individual saja, tapi diharapkan bisa berdampak sistemik kepada masyarakat luas. Petunjuk tentang metode dakwah menuju perubahan terdapat dalam banyak ayat al-Qur’an, diantaranya dalam empat kalimat dalam beberapa ayat berikut:

Kalimat pertama, yang paling penting dalam konteks upaya perubahan sosial adalah pemberitahuan al-Qur’an tentang misi utama kerasulan Muhammad (sholawat dan salam untuknya), yaitu “wa ma arsalnaka illa rahmatan lil‘alamin” yang artinya adalah“tidaklah Kami utus engkau ya Muhammad kecuali untuk menjadi rahmat bagi semesta alam”(QS. 21:107). Kalimat kedua, yang harus diingat setelah itu adalah frasa dari sebuah ayat yang berbunyi “fasiruu fi al-ardl fanzuru kaifa kana ‘aqibah”, yang artinya adalah “berkelilinglah untuk observasi di bumi dan perhatikanlah berbagai korelasi sebab dan akibat dalam berperilaku” (QS.3:137). Kalimat ketiga, adalah “waltakun minkum ummatun yad’una….” atau “hendaklah ada ada sekelompok orang di antara kalian yang menyeru…..”(QS.3:104). Berikutnya atau kalimat keempat, yang harus diingat adalah; “ishbiru, wa shabiru, wa rabithu, wattaqullah la’alakum tuflihun”, yang artinya adalah “…(jadilah) pribadi yang bermental sabar, dan jadilah pribadi yang bermental lebih sabar lagi, lalu bekerjalah secara terorganisir, dan bertakwalah pada Allah pasti kalian akan menjadi pemenang”(QS.3:200).

Empat kalimat dalam al-Qur’an tadi merupakan pemberitahuan tentang empat hal: (1) ada tujuan besar yang harus dicapai, (2) ada prosedur fondasi dalam menyusun konsep kerja untuk perubahan sosial, dan (3) ada tim pelaksana pekerjaan yang mengemban tugas mencapai tujuan dengan menggunakan manajemen yang memiliki konsep prosedur kerja, serta (4) prosedur kerjanya adalah manajemen terorganisir yang berfondasi mental super sabar.

Tujuan besar yang harus dicapai dari upaya perubahan sosial adalah melanjutkan misi rahmatan lil’alamin yaitu membentuk pribadi penyayang sekaligus pengemban tugas membangun masyarakat golongan kanan. Adapun fondasi dalam menyusun konsep strategisnya ialah upaya berfikir sintesis antara peraturan normatif al-Qur’an dan observasi grounded terhadap kenyataan empiri mengenai sebab dan akibat perilaku secara menyeluruh bumi atau secara siru fi al-ardl. Sedangkan tim pelaksananya adalah mereka yang tergolong minkum, atau diantara para orang mukmin yang terbina oleh rasulullah atau oleh para ulama penerus beliau. Minkum ini adalah orang-orang yang harus bekerja secara terorganisir dengan fondasi mental super sabar di bawah kendali pengarahan satu pimpinan, yang seumpama sekelompok kuda yang bekerja sama menghela sebuah pedati di bawah pengarahan seorang sais atau pengemudi.

_______________________
Dikutip dari buku:
Strategi Dakwah Era Demokratisasi (Pemikiran Muhammad Anis Matta), Penulis: Nur Ariyanto, M.S.I, Penerbit: YGIMK Press tahun 2017. ——– untuk mendapatkan buku tersebut kunjungi website www.madanicorner.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.