Resensi Buku: Strategi Dakwah Era Demokratisasi (Pemikiran Muhammad Anis Matta)
Bagi anda para aktifis dakwah maupun penggemar kajian Ilmu Dakwah, ada sebuah buku yang cukup menarik untuk dibaca tahun 2017 ini, yaitu sebuah buku yang berjudul Strategi Dakwah Era Demokratisasi (Pemikiran Muhammad Anis Matta) yang ditulis Nur Ariyanto. Buku itu di terbitkan oleh Yayasan Generasi Insan Madani Kendal (YGIMK). Kenapa demikian? Karena penulis cukup berani mengangkat tema yang bagi sebagian kalangan aktifis dakwah masih penuh polemik, yaitu demokrasi.
Harus diakui sampai saat ini gelombang demokratisasi telah menjadi arus internasional yang sangat absah dan terus mendunia menuju seluruh pelosok negara dan nyaris tidak mungkin dihindarkan termasuk oleh Indonesia. Dalam perkembangannya yang pesat itu, nampaknya demokrasi telah mencatat kemenangan historis atas berbagai bentuk pemerintahan lain. Hampir setiap orang mengaku sebagai demokrat, demikian pula hampir semua jenis rezim politik diseluruh dunia mengaku sebagi rezim demokrasi termasuk yang otoriter sekalipun.
Namun demikian harus diakui, keterbukaan dan kebebasan dalam ruang demokrasi menyimpan permasalahan sendiri bagi dakwah. Berbagai macam kelompok masyarakat dan kelompok nilai termasuk yang menyimpang dan bertentangan dengan dakwah sekalipun mendapatkan ruang yang sama untuk berkembang, karena itu dakwah harus punya strategi yang tepat dalam menghadapinya.
Dalam buku setebal 270 halaman ini Nur Ariyanto mengupas tuntas tentang pemikiran Muhammad Anis Matta mengenai strategi terbaik di era demokratisasi Indonesia. Ia memaparkan bagaimana mengadakan perubahan sosial menuju masyarakat rahmatan lil’alamin, dengan memanfaatkan arus demokratisasi dan keterbukaan yang sedang hadir di Indonesia. Kegiatan dan kinerja dakwah yang dipotret dalam buku ini berlangsung dalam medan dakwah masyarakat yang pluralis.
Tokohnya telah berhasil menyiasati kegiatan dakwah yang tersedia dengan mengembangkan medan dakwah tersendiri. Bersama rekan-rekannya ia ikut serta melakukan kanalisasi arus gerakan dakwah ke dalam sebuah wadah partai politik yang pada gilirannya menimbulkan gaya tarik menarik ataupun tolak menolak dengan lembaga-lembaga keagamaan, sosial dan politik lainnya. Baginya demokratisasi merupakan angin perubahan dunia yang turut bertiup ke Indonesia, lalu meniup layar bahtera dakwah agar lebih ringan dikayuh. Bukan dengan tujuan untuk menjadi penganut ‘isme’ demokrasi, tapi lebih sebagai sikap menerima perubahan zaman sambil memanfaatkan bonus legitimasi bagi suara mayoritas umat Islam di Indonesia untuk kepentingan dakwah.
Dalam konteks dakwah, buku ini juga bisa dikatakan ‘abu-abu’ karena tema utamanya mengaitkan antara dakwah dan demokrasi, yang tentu saja di dalamnya akan menyentuh wilayah politik. Bagi umat Islam diskursus relasi antara Islam dan demokrasi memiliki dimensi yang sangat luas, ada yang menerimanya begitu saja, ada yang menerima dengan syarat, ada pula yang secara ektrim menolaknya karena dipandang bertentangan dengan Islam dan menjadi salah satu wujud hegemoni ‘Barat’ atas dunia Islam. Selain itu, bagi sebagian da’i mengaitkan antara dakwah dan politik masih menjadi hal yang tabu.
Nampaknya ‘citra kotor’ politik yang identik dengan menghalalkan berbagai cara untuk meraih kepentingan telah begitu melekat di benak mereka. Apalagi akhir-akhir ini banyak politisi muslim yang tersangkut kasus hukum sehingga merusak citra dakwah. Karena itu pertanyaan tentang apakah yang dilakukan politisi muslim itu merupakan; “politik yang dipakai sebagai kendaran untuk kepentingan dakwah?”, ataukah justru “dakwah diperalat untuk mencapai kepentingan politik?” selalu menyeruak. Muhammad Anis Matta yang diangkat pemikirannya dalam buku ini merupakan tokoh politik nasional dan juga da’i yang berangkat dari daerah, masuk dunia pesantren, hijrah ke kota, menjadi aktifis dakwah kampus dan terjun ke dunia politik, menjadi pimpinan DPR hingga menjadi ketua partai.
Keberaniannya masuk wilayah ‘abu-abu’ untuk mengusung dakwah dengan media politik dan demokrasi nampaknya sangat menggelitik penulis. Selain itu nampaknya buku ini juga berangkat dari kegelisahan penulis yang melihat adanya kesenjangan antara dakwah sebagai sebuah ilmu (Ilmu Dakwah) dengan dakwah sebagai sebuah aktifitas. Hal itu seringkali membuat dakwah kehilangan historisitasnya sehingga tidak secara signifikan memberikan manfaat bagi umat dalam kerangka kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun demikian pemikiran tokoh dalam buku ini bukanlah pemikiran yang paripurna sehingga harus diikuti, namun dapat dipandang sebagai sebuah pemikiran dakwah dalam perspektif historis yang layak untuk didiskusikan baik untuk kepentingan pengembangan Ilmu Dakwah maupun pengembangan dakwah di lapangan. Selebihnya pembaca bisa menilai sendiri setelah membaca isinya.(NA)
———————————————–
Dapatkan buku tersebut di www.madanicorner.com