Dakwah Islam Dan Kesetaraan Gender

Oleh. Nur Ariyanto.

I.         LATAR BELAKANG

Gender telah menjadi isu global yang bergulir di dunia bersama isu penting lain seperti Hak Asasi Manusia (HAM), Demokrasi, Multikulturalisme, Pluralisme dan lain sebagainya. Isu ini begitu penting dan mendapat tanggapan yang beragam di bergai negara dan komunitas yang berbeda.

Propaganda gender secara masif telah mendorong tumbuhnya kajian wanita (woman’s studies) dan gerakan perempuan di tingkat global maupun nasional yang saling memperkuat. Hal yang demikian terjadi karena gerakan perempuan adalah suatu ‘gerakan politis’. Gerakan perempuan global telah mendorong berdirinya woman’s studies di lingkungan universitas. Latar belakang pemikirannya adalah agar bisa dikembangkan landasan konseptual dalam memperjuangkan isu-isu perempuan (Sadli, 2010:33).

Di luar negeri woman’s studies telah berkembang sejak tahun 70-an, sementara itu di Indonesia baru dimulai pada akhir tahun 80-an. Kajiannyapun sangat beragam dan memasuki berbagai macam dimensi dan diskursus, termasuk didalamnya ‘agama’. Bahkan lebih dari itu sekarang ini gerakan gender tidak hanya menampakkan aktivitasnya sebatas pada kajian keilmuan, tetapi telah bertransformasi menjadi gerakan sosial yang mencoba ‘memperjuangkan nasib perempuan’ yang menurut aktifis gender masih tersubordinasi di berbagai sektor kehidupan. Oleh karena itu tidak mengherankan, kalau diskusi gender yang dulunya hanya berlangsung panas dan liberal di ruang-ruang kuliah kini telah bergeser dan ditampilkan vulgar di ruang sidang Komisi VIII DPR tempat wakil rakyat menggodok rancangan undang-undang. Contohnya ialah ketika Rapat Dengar Pendapat Usulan  Komisi VIII DPR RI tentang Masukan draf RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender (RUU KKG).

Hal di atas menunjukkan isu gender ini sangat penting. Biarpun demikian penulis melihat isu ini sangat problematis ketika digulirkan dalam dunia Islam, baik dalam ranah kajian keIslaman maupun dalam tataran aplikatif. Penafsiran ulang dalam perspektif gender yang dilakukan oleh tokoh-tokoh feminis muslim seperti Fatimah Merisi, Asghar Ali Engineer, Aminah Wadud, Qasim Amin, Musdah Mulia, dan lain sebagainya terhadap ajaran Islam dinilai sebagian kalangan telah melenceng dari penafsiran klasik yang selama ini difahami dan diamalkan oleh sebagian besar umat Islam. Penafsiran yang dilakukan-pun mencakup berbagai sektor keilmuan ke-Islaman yang muaranya menggeser praktik-praktik keagamaan yang sudah mapan. Oleh karena itu umat Islam menampilkan beragam respon ketika isu ini digulirkan; ada yang menolak, menerima dengan syarat, ada pula yang menerima secara total tanpa mempermasalahkannya.

Dalam konteks dakwah isu inipun problematis baik dalam konteks dakwah sebagai ilmu maupun sebagai aktifitas. Ibarat makan buah simalakama, ketika menolak akan dianggap tidak  memperhatikan HAM, sedangkan ketika menerima secara total maka inipun akan menimbulkan permasalahan. Karena beberapa ‘produk gender’, pada titik-titik tertentu bertentangan dengan ajaran Islam. Dan inilah yang sebagian akan di kupas dalam studi ini.

II.      RUMUSAN MASALAH

a.         Bagaimana pengertian Gender dan Kedudukan Perempuan dalam Islam?

b.         Bagaimana menempatkan isu gender dalam konteks dakwah Islamiyah?

III.   PEMBAHASAN

A.       Pengertian Gender dan Kedudukan Perempuan dalam Islam

1.      Konsep Gender

Gender adalah suatu istilah yang digunakan untuk menggambarkan pembedaan antara laki-laki dan perempuan secara sosial. Kelompok atribut dan perilaku yang dibentuk secara kultural yang ada pada laki-laki dan perempuan. Gender berbeda dengan jenis kelamin. Jenis kelamin (seks) adalah pembagian jenis kelamin yang ditentukan secara biologis dan melekat pada jenis kelamin tertentu (Fakkih, 1996 : 213).

Oleh karena itu, konsep jenis kelamin digunakan untuk membedakan laki-laki dan perempuan berdasarkan unsur biologis dan anatomi tubuh. Sedangkan gender adalah suatu istilah yang digunakan untuk menggambarkan perbedaan laki-laki dan perempuan secara sosial yang dibentuk secara kultural. Gender adalah konsep yang membedakan fungsi dan peran antara laki-laki dan perempuan. Pembedaan fungsi dan peran antara laki-laki dan perempuan itu tidak ditentukan karena keduanya terdapat perbedaan biologis atau kodrat, melainkan dibedakan melalui kedudukan, fungsi, dan peran masing-masing dalam berbagai macam kehidupan dan pembangunan.

Dengan demikian gender sebagai suatu konsep merupakan hasil pemikiran atau rekayasa manusia, dibentuk oleh masyarakat sehingga gender bersifat dinamis dapat berbeda karena perbedaan adat istiadat, budaya, agama, sistem nilai dari bangsa, masyarakat, dan suku bangsa tertentu. Selain itu, gender dapat berubah karena perjalanan sejarah, perubahan politik, ekonomi dan sosial budaya. Dengan demikian pula, gender tidak bersifat universal melainkan bersifat situasional masyarakatnya. Oleh karena itu, tidak terjadi kerancuan dan pemutar balikan makna tentang apa yang disebut jenis kelamin dan gender.

 Dalam pandangan penulis sebenarnya yang menjadi permasalahan ialah ketika pembedaan konsep menimbulkan diskrimisasi yang berujung pada kekerasan baik fisik maupun psikis. Karena dalam beberapa kasus, konsep pembedaan ini menyebabkan:

1)        Marginalisasi Perempuan

Bentuk ketidakadilan gender yang berupa proses marginalisasi perempuan adalah suatu proses pemiskinan atas satu jenis kelamin tertentu (dalam hal ini perempuan) disebabkan oleh perbedaan gender.

2)        Subordinasi

Pandangan gender ternyata tidak saja berakibat terjadinya marginalisasi, akan tetapi juga mengakibatkan terjadinya subordinasi terhadap perempuan. Adanya anggapan dalam masyarakat bahwa perempuan itu emosional, irrasional dalam berpikir, perempuan tidak bisa tampil sebagai pemimpin (sebagai pengambil keputusan), maka akibatnya perempuan ditempatkan pada posisi yang tidak penting dan tidak strategis (second person).

3)        Stereotipe

Stereotipe adalah pelabelan terhadap pihak tertentu yang selalu berakibat merugikan pihak lain dan menimbulkan ketidakadilan. Salah satu stereotipe yang dikenalkan dalam bahasan ini adalah stereotipe yang bersumber pada pandangan gender. Karena itu banyak bentuk ketidakadilan terhadap jenis kelamin yang kebanyakan adalah perempuan yang bersumber pada stereotipe yang melekatnya.

4)        Kekerasan

Kekerasan (violence) adalah suatu serangan (assault) baik terhadap fisik maupun integritas mental psikologis seseorang. Kekerasan terhadap manusia bisa terjadi karena berbagai macam sumber, salah satunya adalah kekerasan yang bersumber pada anggapan gender. Kekerasan semacam itu disebut “gender-related violence” yang pada dasarnya terjadi karena adanya ketidaksetaraan kekuatan atau kekuasaan dalam masyarakat.

5)        Beban Kerja Ganda

Adanya anggapan dalam masyarakat bahwa kaum perempuan bersifat memelihara, rajin, dan tidak cocok menjadi kepala keluarga, maka akibatnya semua pekerjaan domestik menjadi tanggung jawab kaum perempuan. Oleh karena itu beban kerja perempuan menjadi berat dan alokasi waktu yang lama untuk menjaga kebersihan dan kerapian rumah tangga; mulai dari mengepel lantai, memasak, dan merawat anak dan sebagainya (Umar, 1999 : 49).

2.      Kedudukan Perempuan dalam Islam

Menurut Syamsuddin Arif, Di kalangan umat Islam, wacana emansipasi pertama kali digulirkan oleh Syekh Muhammad Abduh (1849-1905 M). Tokoh reformis dari Mesir Ini menekankan pentingnya anak-anak perempuan dan kaum wanita muslimah mendapatkan pendiidikan formal di sekolah dan perguruan tinggi, supaya mereka mengerti hak-hak dan tanggungjawabnya sebagai seorang muslimah dalam pembangunan umat. Pandangan yang sama  dinyatakan juga oleh Hasan Turabi. Menurutnya, Islam mengakui hak-hak perempuan di ranah publik, termasuk hak dan kebebasan mengemukakan pendapat, ikut pemilu, menghadiri shalat berjamaah, ikut ke medan perang, dan lain-lain. Ulama lain yang mempunyai pandangan sama adalah syekh Muhammad Syaltut, Sayyid Quthb, Syekh Yusuf Al-Qardhawi dan Jamal A. Badawi (Arif, 2008:109).

Namun ada juga yang menggunakan pendekatan sekular liberalis, yaitu Qasim Amin. Intelektual yang di sebut-sebut sebagai ‘bapak feminisme arab’ ini telah menulis dua buku kontroversial, yakni; Tahriru l-mar’ah (Kairo, 1899) dan Al-Mar’ah al jadidah (Kairo, 1990), dimana ia menyeru emansipasi wanita ala barat. Menurut Qasim, kalau ingin maju buanglah jauh-jauh doktrin-doktrin agama yang konon menindas dan membelenggu perempuan, seperti perintah berjilbab, poligami dan lain sebaganya.

Umumnya mereka yang menggunakan pendekatan sekuler liberalis memandang; bahwa bias gender muncul karena interpretasi yang yang dilahirkan oleh ulama klasik betapapun objektifnya, akan selalu mengandung ‘prior teks’, yang berupa persepsi, keadaan, latar belakang sang interpreteur. Meskipun ayat yang dirujuk sama, hasilnya akan berbeda. Setiap individu akan membuat sejumlah pilihan yang sifatnya subjektif sesuai dengan welstanchauung-nya. Dengan demikian, setiap penafsiran tidak akan bisa dipisahkan dari semesta intelektual penafsir yanga akan sesuai dengan pandangan dunianya. Maka menurut mereka dengan mudah dapat dimengerti mengapa perspektif yang pro perempuan tidak pernah hadir dalam khazanah keIslaman (Abdullah. Ed. 1997:65). Pendapat ini tidak sepenuhnya benar, penulis lebih melihat interpretasi yang dilakukan oleh ulama klasik terhadap ajaran Islam lebih di dorong kehati-hatian mereka yang begitu besar, sehingga mereka kebanyakan mengungkung diri pada metode penafsiran yang berkembang saat itu.

Gagasan-gagasan ‘feminis muslim liberal’ seperti Qasim Amin telah banyak mendapat sanggahan dan ditolak keras. Syekh Abdul Halim Muhammad Abu Syuqqah dalam karya monumentalnya, Tahriru l-mar’ah fi ashri r-risalah (Kuwait, 1991), misalnya membuktikan bahwa tidak seperti sering dituduhkan, agama Islam ternyata sangat emansipatoris. Setelah melakukan studi intensif atas literatur Islam klasik, beliau mendapati bahwa kedatangan Islam menyebabkan terjadinya revolusi gender pada abad ke-7 masehi. Agama samawi terakhir ini justru datang memerdekakan perempuan dari dominasi kultur jahiliyah yang terkenal sangat zalim dan biadab itu. Abu Syuqqah juga menemukan pasca datangnya Islam kaum wanita mulai diakui hak-haknya sebagai layaknya manusia dan warga negara (bukan sebagai komoditi), terjun dan berperan aktif dalam berbagai sektor, termasuk politik dan militer. Kesimpulan senada juga dicapai oleh para peneliti barat. Setelah ditelusuri dan diteliti lebih jauh, maka didapati bahwa ternyata wanita pada jman nabi muhammad lebih maju dan diakui hak-hak asasinya ketimbang zaman pra-Islam (Arif, 2008:110).

Mengenai mulianya dan kedudukan perempuan dalam Islam, dapat ditinjau melalui  al-Quran (Umar, 1999 : 49). Secara umum uraiannya adalah sebagai berikut;

a.     Laki-laki dan perempuan sama-sama sebagai hamba.

Terkait dengan kapasitas manusia sebagai hamba, tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan, keduanya berpotensi menjadi hamba yang ideal sebagaimana firman Allah QS. Al-Hujarat: 13

يأيها الناس إنا خلقنا كم من ذكر و أنثى وجعلناكم شعوبا وقبائل لتعارفوا إن أكرمكم عند الله أتقاكم إن الله عليم خبير

Artinya:  “Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa – bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Kemenag RI, 2012:745)

Ayat ini menegaskan bahwa standar kemuliaan seorang hamba adalah nilai ketakwaannya, jadi, laki-laki dan perempuan memiliki derajat yang setara dimata Allah.

b.    Laki-laki dan perempuan sebagai khalifah di bumi.

Kapasitas manusia sebagai khalifah di bumi dijelaskam dalam firman Allah QS. Al-An’am: 165 :

 وهو الذي جعلكم خلائف الأرض ورفع بعضكم فوق بعض درجات ليبلوكم في ما اتاكم إن ربك سريع العقاب وإنه لغفور رحيم

Artinya:  “Dan Dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu Amat cepat siksaan-Nya dan Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Kemenag RI, 2012:202)

Kata khalifah  dalam ayat tersebut tidak menunjukan kepada salah satu jenis kelamin atau kelompok etnis tertentu, jadi laki-laki dan perempuan memilik peranan yang sama sebagai khalifah di bumi.

c.     Laki-laki dan perempuan berpotensi meraih prestasi.

Dalam meraih prestasi tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan, sebagaimana firman Allah QS. An-Nahl: 97.

 من عمل صالحا من ذكر أو أنثى وهو مؤمن فلنحيينه حياة طيبة ولنجزينهم أجرهم بأحسن ما كانوا يعملون

Artinya: “Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam Keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan Sesungguhnya akan Kami beri Balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (Kemenag RI, 2012:97)

Dalam ayat tersebut menjelaskan bahwa manusia berpotensi dalam meraih kehidupan yang baik, baik itu di dunia maupun diakhirat, semuanya tergantung pada usaha.

B.       Posisi Gender dalam Dakwah Islam

1.      Sekilas tentang dakwah.

Penulis memandang, kehati-hatian sangat diperlukan ketika menempatkan isu gender dalam konteks dakwah. Oleh karena itu, perlu diuraikan secara ringkas tentang apa itu dakwah.

Secara etimologis kata dakwah berarti panggilan, seruan atau ajakan (PP Muhammadiyah, 2004: 19). Dakwah sendiri berasal dari kata : دعا – يدعو- دعوة yang berarti panggilan, seruan dan ajakan (Wafiah dan Pimay, 2005: 3).

Secara bahasa sebenarnya dakwah mempunyai bermacam-macam makna diantaranya:

a)       : النداءmemanggil dan menyeru seperti dalam firman Allah surat Yunus  ayat 25:

وَاللّهُ يَدْعُو إِلَى دَارِ السَّلاَمِ وَيَهْدِي مَن يَشَاء إِلَى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ

Artinya: “Allah menyeru (manusia) ke Darussalam (surga) dan memberikan  petunjuk kepada orang yang dikehendakinya kepada jalan yang lurus  (Islam)” (Kemenag RI, 2012 :310)

b)   Menegaskan atau membela,  baik terhadap yang benar ataupun yang salah, yang positif ataupun yang negatif.

c)    Suatu usaha berupa perkataan ataupun perbuatan untuk menarik seseorang  kepada suatu aliran  atau agama tertentu.

d)   Do’a (permohonan)

e)    Meminta dan mengajak seperti ungkapan  da’a bi as-syai yang artinya meminta dihidangkan atau didatangkan makanan atau minuman (Faizah, Effendi, 2006 : 5 ).

Dakwah ke jalan Allah SWT merupakan risalah para Nabi dan rasul, jalan para penunjuk dan para pelapor perbaikan, Allah telah memilih para da’i dan penunjuk untuk menyampaikan risalahnya serta menjelaskan dakwahnya. (Syihata, 1986: 1)

Dalam Islam dikenal istilah dakwah dan tabligh. Secara kebahasaan kata dakwah berarti panggilan seruan atau ajakan sedangkan kata tabligh berarti penyampaian materi(Aziz, 2005: 24). Apabila kita katakan “Dakwah Islamiah”, maka yang kita maksudkan adalah mengajak manusia kepada “risalah terakhir yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw”

Dalam konteks komunikasi, dakwah merupakan proses penyampaian pesan ajaran Islam oleh seorang komunikator kepada seorang komunikan, sehingga berlangsung hubungan komunikasi antara komunikator (sender) dan komunikan (receiver) bersifat informatif. (Pimay, 2006: 19).

Secara terminologi, banyak pendapat tentang definisi dakwah, di antaranya sebagai berikut:

a.         Syeikh Ali Machfudz dalam “Hidayatul Mursyidin” sebagaimana dikutip Hamzah Ya’kub memberikan definisi dakwah sebagai berikut :

حَثُّ النَّاسِ عَلَي الْخَيْرِ وَالْهُدَي وَالْاَمْرُ بِالْمَعْرُوْفِ وَالنَّهْيُ عَنِ الْمُنْكَرِ لِيَفُوْزُوْا بِسَعَادَةِ الْعَاجِلِ وَالْاَجِلِ

Artinya : “Mendorong manusia agar memperbuat kebaikan dan menurut petunjuk, menyeru mereka berbuat kebajikan dan melarang mereka dari perbuatan munkar agar mereka mendapat kebahagiaan di dunia dan akhirat” (Ya’kub, 1981: 13).

b.        H. S. M. Nasaruddin Latif dalam “Teori dan Praktek Dakwah Islamiyah” sebagaimana dikutip oleh Rosyad Shaleh dalam “Manajemen Dakwah Islam” mendefinisikan dakwah sebagai setiap usaha atau aktivitas dengan lisan atau tulisan dan lainnya yang bersifat menyeru, mengajak, dan memanggil manusia lainnya untuk beriman dan mentaati Allah SWT sesuai dengan garis-garis aqidah dan syari’at serta akhlak Islamiyah” (Shaleh, 1997: 9).

c.         Quraisy Shihab mendefinisikan dakwah sebagai seruan atau ajakan kepada keinsyafan atau mengubah situasi yang tidak baik kepada situasi yang lebih baik dan sempurna, baik terhadap pribadi maupun kepada masyarkat (Shihab, 1992: 194).

d.        Dakwah menurut Islam ialah mengajak manusia dengan cara bijaksana kepada jalan yang benar sesuai dengan perintah Tuhan, untuk kemaslahatan dan kebahagiaan mereka di dunia dan di akherat (Omar, 2004: 67).

e.         Dakwah merupakan upaya terus-menerus untuk melakukan perubahan pada diri manusia menyangkut pikiran (fikrah), perasaan (syu’ur), dan tingkah laku (suluk) yang membawa mereka kepada ajaran Allah (Islam), sehingga terbentuk sebuah masyarakat Islam (al-Mujtama’ al-Islam) (Romli, 2003: 6).   

2.      Memposisikan gender dalam dakwah

Dalam memposisikan gender dalam kerangka dakwah Islamiyah ada baiknya mencermati terminologi dakwah yang diungkapkan oleh Romli sebagai; upaya terus-menerus untuk melakukan perubahan pada diri manusia menyangkut pikiran (fikrah), perasaan (syu’ur), dan tingkah laku (suluk) yang membawa mereka kepada ajaran Allah (Islam), sehingga terbentuk sebuah masyarakat Islam (al-Mujtama’ al-Islam).

Berdasarkan uraian diatas, ada dua komponen penting tujuan dakwah, yaitu; pembentukan pribadi muslim (takwin asy-syaksiyah) dan pembentukan umat (bina al-ummah). Keduanya sebisa mungkin dilandasi oleh ajaran Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan Sunnah.

Dari terminologi dakwah Romli di atas, dapat ditarik komponen pembentukan kepribadian muslim yang paripurna diantaranya: Fikrah, syu’ur, dan suluk yang Islami. Artinya ketika seorang da’i menyampaikan materi dakwahnya seyogyanya mengarah kepada pembentukan ketiga kepribadian yang di breakdown dari ajaran Islam. Maka ketika dihadapkan dengan produk gender yang bertentangan dengan ajaran Islam, menurut penulis hal tersebut merupakan sesuatu yang tidak bisa diadopsi, bahkan kalau perlu di tolak.

Dari sisi fikrah, ada beberapa ajaran gender (terutama yang murni dari barat) yang bertentangan dengan prinsip ajaran Islam. Secara ideologis mereka cenderung mengedepankan sisi-sisi sekulerisme dan liberalisme, yang tentu saja tidak sesuai dengan Islam. Selain itu ukuran yang dipakai dalam mengukur keadilan gender ialah Hak Asasi Manusia (HAM), yang beberapa bagian di dalamnya memang tidak kompatibel dengan syariat Islam. Hal ini bukan berati Islam tidak menghargai HAM, akan tetapi kebebasan dan hak-hak manusia itu diatur sedemikian rupa dalam koridor syariat.

Perhatian terhadap fikrah yang Islami ini menjadi penting karena inilah yang akan berbengaruh pada selera dan perilaku seseorang. Dan dari individu-individu itulah yang nantinya akan menentukan corak dan kharakter masyarakat yang Islami.

Adapun isu-isu gender yang tidak bertentangan dengan fikrah, syu’ur, dan suluk yang Islami, bisa dijadikan sebagai salah satu alternatif muatan dakwah. Karena memang harus diakui beberapa isu yang diusung oleh gerakan gender cukup ’bersahabat’ dan sejalan dengan ajaran Islam, terutama semangat untuk menjunjung tinggi harkat dan martabat wanita. Namun demikian, sebenarnya tanpa adanya gerakan gender sekalipun, ketika ajaran Islam sudah dilaksanakan dengan pemahaman yang benar dan menyeluruh (kaffah), perempuan sudah menempati derajat yang sangat mulia.

IV.   SIMPULAN

Berdasarkan uraian pembahasan di atas penulis menyimpulkan ada beberapa isu yang diusung oleh gerakan gender yang secara substasial tidak kompatibel dengan ajaran Islam sehingga perlu dipertimbangkan secara matang untuk mengadopsinya. Secara ideologis mereka cenderung mengedepankan sisi-sisi sekulerisme dan liberalisme, yang tentu saja tidak sesuai dengan Islam. Selain itu ukuran yang dipakai dalam mengukur keadilan gender ialah Hak Asasi Manusia (HAM), yang beberapa bagian di dalamnya memang tidak kompatibel dengan syariat Islam

Namun juga diakui ada beberapa isu gender yang sesuai dan sejalan dengan ajaran Islam, terutama semangat yang tinggi untuk mengangkat harkat dan martabat wanita sehingga bisa dipertimbangkan dalam aktifitas dakwah walaupun harus diseleksi dengan sangat ketat. Wallahu a’lamu bi al-shawab.

 DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Irwan. ed. 1997. Sangkan Paran Gender. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Arif, Syamsuddin. 2008. Orieantalisme dan Diabolisme Pemikiran. Jakarta: Gema Insani

Azis, Moh. Ali. 2004. Ilmu Dakwah. Jakarta: Kencana.

Depag. 1995. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta: PT. Serajaya Santra.

Faizah dan Lalu Muhsin  Effendy. 2006, Psikologi Dakwah, Jakarta : Prenada Media.

Fakkih, Mansour. 1996. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta:Pustaka Pelajar.

Kemenag RI. 2012. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta: Kementrian Agama Republik Indonesia.

Omar, Yahya  Toha. 2004. Islam Dan Dakwah. Jakarta: Logos.

Pimay, Awaluddin, 2006, Metodologi Dakwah. Semarang : Rasail.

Pimpinan Pusat Muhammadiyah, 2004. Dakwah Kultural Muhammadiyah, Yogyakarta: Suara Muhammadiyah.

Romli, Asep Syamsul M. 2003. Jurnalistik Dakwah: Visi Dan Missi Dakwah Bil Qolam. Bandung: Remaja Rosda Karya.

Sadli, Saparinah. 2010. Berbeda Tapi Sama (Pemikiran Tentang Kajian Perempuan). Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara.

Shaleh, Rosyad. 1977. Manajemen Dakwah Islam Jakarta: Bulan Bintang.

Shihab, Quraisy. 1994. Membumikan Al-Qur’an. Bandung : Mizan Media Utama.

Syihata, Abdullah. 1986. Ilmu Dakwah, Jakarta : Proyek Pembinaan Prasarana  dan Sarana Perguruan Tinggi Agama/ IAIN

Syukir, Asmuni. 1983. Dasar-dasar Strategi Dakwah Islam.  Surabaya: CV. Al-Ikhlas.

Umar, Nasarudin. 1999. Argumen Kesetaraan Gender Perspektif Al Qur’an. Jakarta: Paramadina.

Wafiyah dan Awaluddin Pimay. 2005, Sejarah Dakwah, Semarang : Rasail.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.