Memahami Faktor Psikologis Dan Sosiologis Untuk Keberhasilan Dakwah

Memahami Faktor Psikoloid Dan Sosiologis Untuk Keberhasilan Dakwah

Oleh. Nur Ariyanto
Realitas dakwah mensyaratkan adanya sebuah interaksi antara da’i dan mad’u. Sebagai seorang komunikator da’i dituntut untuk berkomunikasi dengan mad’u untuk dapat menyampikan pesan-pesan dakwahnya. Dari proses inilah nilai-nilai ajaran Islam yang bersifat sakral ditransformasikan ke dalam masyarakat sehingga Islam bisa betul- betul menjadi agama rahmatan lil’alamin. Akan tetapi semua itu bukanlah sesuatu yang mudah, da’i sebagai komumikator yang membawa pesan dakwah berupa ajaran Islam sering kali mengalami kesulitan dalam menjalankan tugasnya. Ajaran Islam yang bersifat given dari Allah SWT seringkali sulit diterima oleh masyarakat dengan berbagai sebab.

Masyarakat sebagai entitas sosial yang terdiri dari ragam latar belakang sosial dan budaya yang kompleks terkadang sulit untuk menerima pesan-pesan dakwah. Hal tesebut terkadang disebabkan oleh kondisi sosiologis dan psikhologis yang inhern dalam masyarakat tetapi terkadang tidak diperhatikan dengan baik oleh para da’i. Dakwah yang mereka lakukan terkadang dapat diibaratkan sebagai ”melempar batu ditengah kegelapan malam”, sehingga target dakwah itu sendiri belum dapat tercapai secara efektif dan efisien.
Sudah selayaknya para da’i mengenali terlebih dahulu kondisi mad’unya sebelum menyampaikan pesan dakwah dan menentukan metodenya. Contohnya saja ketika dia ingin melakukan ekspansi dakwah ke suatu daerah tertentu, dia harus mengetahui kondisi sosial disana, dia juga harus mampu menghayati dan memahami kondisi psikhologis masyarakat setempat. Mencermati semua itu diharapkan bagi para aktivis dakwah dapat membekali diri dengan berbagai macam ilmu yang memadai agar dapat menunaikan dakwahnya dengan baik. Aktivis dakwah dalam skala personal maupun lembaga dakwah selayaknya mampu mengenali situasi dan kondisi mad’u dengan detail sehingga dakwah bisa betul betul menjadi obat dalam masyarakat. Oleh karena itu pengetahuan tentang sosiologis dan psikologis masyarakat sangat diperlukan untuk mendukung keberhasilan dakwah.

Dakwah sebenarnya identik dengan proses komunikasi, bahkan dapat dikatakan kalau dakwah komunikasi itu sendiri. Tapi ’bukan sembarang komunikasi’. Oleh karena itu mengutip pendapat Hanafi Anshori, Ahmad Anas mengatakan bahwa: ”Dakwah ditnjau dari proses komunikasi merupakan suatu proses penyampaian pesan-pesan berupa ajaran Islam yang disampaikan secara persuasif dengan harapan agar komunikasi tersebut dapat berbuah amal sholeh sesuai dengan ajaran Islam yang didakwahkan”. Keberhasilan dalam komunikasi sendiri sangat ditentukan oleh dua hal yaitu kesamaan frame of reference dan field of experience, yaitu situasi total yang mempengaruhi dari pihak komunikan. Disinilah arti penting pemahaman kondisi sosiologis maupun psikologis mad’u dalam proses dakwah.

Arti penting memahami faktor sosiologis dalam dakwah.

Kita tidak sedang bicara tentang ilmu sosial terutama sosiologi, tapi disini perlu disinggung sedikit tentang ilmu ini. Sebagai sebuah cabang ilmu sosial, Sosiologi diperkenalkan oleh Auguste Comte (1798-1857) pada sekitar abad ke-19. Dia berusaha menunjukan sosiologi sebagai ilmu masyarakat yang memiliki disiplin sendiri, yaitu rencana pelajaran dan penyelidikan serta lapanganya sendiri. Sosiologi (Latin: Socius = teman, kawan. Social: berteman, bersama, berserikat) bermaksud untuk mengerti kejadian-kejadian dalam msyarakat, yaitu persekutuan manusia dan selanjutnya dengan pengertian itu dapat berusaha mendatangkan kebaikan dalam kehidupan bersama..

Secara terminonologis ada beberapa ahli yang mencoba untuk mendefinisikan arti Sosiologi itu sendiri, diantaranya adalah Pitrim Sorikin. Dia mengatakan bahwa sosiologi adalah ilmu yang mempelajari:

a.Hubungan dan pengaruh timbal balik antara aneka macam gejala sosial (misalnya antara gejala ekonomi dengan agama, keluarga dengan moral, hukum dengan ekonomi, gerak masyarakat dengan politik dan lain sebagainya.

b.Hubungan dan pengaruh timbal balik antara gejala-gejala sosial dengan gejala-gejala non sosial (misalnya gejala geografis, biologis dan lain sebagainya).

c.Ciri-ciri umum dari gejala sosial.

Selain Pitrim Sorikin ada beberapa ahli yang memberi definisi berbeda tentang sosiologi, diantaranya adalah Roucek dan Warren, William F Ogburn dan Mayer F Nimkot, J.A.A. Van Doorn dan C.J. Lammers, Selo Soemarjan dan Soelaeman Soemardi, juga Hasan Shadily. Hassan Shadily mendefinisikan sosiologi sebagai ilmu kemasyarakatan yang mempelajari manusia sebagai anggota golongan atau masyarakat (bukan sebagai individu yang terlepas dari golongan atau masyarakatnya), dengan ikatan adat, kebiasaan kepercayaan atau agamanya, tingkah laku serta kesenianya atau yang disebut kebudayaan yang meliputi segala segi kehidupan”.

Bedasarkan uraian diatas para da’i hendakanya mengetahui faktor-faktor yang melahirkan kebudayaan dalam masyarakat terkait dengan perilaku kelompok, strata sosial, struktur masyarakat, pola interaksi dan lain sebagainya. Akan tapi pengetahuan mereka tidak perlu sampai rigid sebagaimana para sosiolog.
Pada dasarnya manusia sebagai elemen masyarakat menciptakan budaya atau lingkungan sosial mereka sebagai adaptasi terhadap lingkungan fisik maupun biologis. Kebiasaan-kebiasaan, praktik-praktik, dan tradisi-tradisi untuk terus hidup dan berkembang diwariskan oleh suatu generasi ke generasi lainya dalam suatu masyarakat tertentu. Pada giliranya kelompok atau ras tertentu tidak menyadari darimana asal warisan kebijaksanaan tersebut. Generasi-generasi berikutnya terkondisikan untuk menerima ”kebenaran-kebenaran” tersebut tentang kehidupan disekitar mereka, pantangan-pantangan dan nilai-nilai tertentu ditetapkan. Melalui banyak cara orang-orang menerima penjelasan tentang perilaku-perilaku yang dapat diterima untuk hidup dalam masyarakat tersebut. Budaya mempengaruhi dan di pengaruhi oleh aktivitas manusia. Senada dengan itu Soerjono Soekanto mengatakan bahwa kebudayaan itu dipelajari dan kebudayaan itu membuat orang mampu untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan alam dan lingkungan sosialnya.

Dalam konteks dakwah lintas budaya seorang da’i memposisikan diri sebagai seorang pengamat yang berada diluar komumunitas dalam menganalisis kondisi mad’unya. Hasil pengamatan dan pengetahuan akan hal-hal yang bersifat sosiologis seperti bagaimana kelompok-kelompok sosial, lembaga sosial maupun stratifikasi sosial terbentuk akan sangat membantu untuk mengembangkan dakwah secara lebih inklusif. Karena bagaimanapun juga sikap yang arif dan bijaksana dalam menghadapi masyarakat dengan latar belakang sosial sosial yang berbeda perlu diambil dalam penyampaian pesan-pesan dakwah. Dengan demikian dakwah dapat diterima oleh masyarakat. Biarpun demikian para da’i tidak boleh bersikap terlalu lunak dan toleran terhadap hal-hal yang sudah menyimpang dari ajaran Islam.

Arti penting memahami faktor psikologis dalam Dakwah.

Secara etimologi pshycology berasal dari bahasa yunani, kata psyche berarti jiwa dan kata logos berarti ilmu. Sedangkan dalam konteks keilmuan, psychology adalah ilmu yang meliputi segala pemikiran, pengetahuan, tanggapan, tetapi juga segala khayalan dan spekulasi mengenai jiwa. Psycology meliputi ilmu pengetahuan mengenai jiwa yang diperoleh secara sistematis, dengan metode-metode ilmiah yang memenuhi syarat-syaratnya seperti yang dimufakati sarjana-sarajana psychology pada zaman sekarang ini.
Dalam perkembanganya kebudayaan tidak dapat dipisahkan dari faktor psikologis pelaku kebudayaan itu sendiri. Masalah psikologis dari kebudayaan terletak pada ketidakinginan untuk membedakan pengalaman-pengalaman manusia sehingga manusia sebagai organisme dibedakan atau dipisahkan dari aspek-aspek perilaku. Kebudayaan memberi arah dan isi pada kehidupan manusia, akan tetapi kebudayaan tidak mungkin ada tanpa manusia. Oleh karena itu kebudayaan juga dapat dianggap sebagai realita psikologis yang merupakan konstruksi-konstruksi dalam pikiran manusia. Sedangkan perumusan kebudayaan dari sudut pandang psikologis mengatakan bahwa kebudayaaan merupakan bagian dari perilaku manusia yang dipelajari.

Sebagai contoh adalah ketika berdakwah dalam sebuah kelompok masyarakat, pengetahuan tentang tingkah laku ini sangatlah penting. Ada dua teori yang menerangkan tingkah laku kelompok. Teori pertama adalah yang dikemukakan oleh tokoh-tokoh psikhologi aliran klasik, yang berpendapat bahwa unit yang terkecil yang dipelajari dalam psikhologi adalah individu. Karena itu kelompok tidak lain adalah kumpulan individu dan tingkah laku kelompok adalah gabungan tingkahlaku-tingkahlaku individu individu secara bersama. Hal itu dapat digunakan untuk menganalisis perilaku kekerasan oleh kelompok masyarakat yang terjadi akhir-akhir ini. Bisa jadi itu merupakan cerminan perilaku individu-individu dalam kelompok tersebut.
Teori kedua adalah teori yang bertolak belakang dengan teori pertama yang diajukan oleh seorang sarjana psikhologi Perancis yang bernama Gustave Le Bone. Le Bone mengatakan bila dua orang lebih berkumpul disuatu tempat tertentu, mereka akan menampilkan ciri tingkahlaku yang sama sekali berbeda daripada ciri-ciri tingkah laku individu-individu itu masing. Perbedaan ini disebabkan oleh adanya jiwa bersama yng tidak tunduk kepada sifat masing-masing, tetapi diatur oleh hukum kesatuan mental kelompok itu. Prinsip Le Bon ini dapat dipersamakan dengan proses kimia, yaitu bahwa molekul mempunyai sifat yng sangat berbeda dari sifat atom atom yang membentuk molekul itu. Jadi air misalnya, sama sekali tidak mempunyai sifat hidrogen atau oxigen. Demikian juga kelompok orang tidak mempunyai sifat-sifat yng ada pada anggota kelompok itu. Oleh karena itu menurut teori jiwa bersama ini, suatu kelompok merasa, berfikir, dan bertindak berbeda dari masing-masing individu.

Untuk mengetahui faktor-faktor psikologis dalam masyarakat seorang da’i mau tidak mau harus menjadi bagian dari masyarakat, sehingga dia merasakan apa yang dirasakan masyarakat itu sendiri. Memperhatikan faktor psikologis menjadi sangat penting karena terkadang para da’i terkadang harus berhadapan dengan mad’u yang memiliki kondisi kejiwaan yang berbeda yang memerlukan penanganan berbeda pula. Menyampaikan pesan dakwah pada mad’u dalam kondisi yang marah tentu harus berbeda dengan mad’u yang sedang gembira, demikian pula sebaliknya.

Mencermati kondisi diatas paling tidak para da’i harus mengembangkan sikap ’empati’ terhadap mad’unya sebagai pendekatan ketika berkomunikasi. Sikap empati merupakan sikap yang perlu dibangun melalui peletakan diri kita kedalam hati orang lain. Bersikap empati berarti kita memasuki ruang dan relung pikiran, perkataan dan perasaan orang lain. Ibarat kita memkai sepatu mereka dan menikmati sepatu itu sebagaimana ia memakainya. Semua itu menuntut kita untuk memahami segala sesuatu dari mereka. Pandangan dan pendapat mereka yang kritis, inovasi, yang mereka anjurkan, perasaan suka dan duka yang mereka rasakan.

Kalam akhir

Dakwah merupakan sebuah proses transformasi nilai-nilai ajaran Islam kedalam masyarakat, oleh karena itu dakwah tidak akan pernah berhenti untuk berinteraksi dengan budaya dari masyarakat itu sendiri. Dalam interaksi tersebut tidak jarang terjadi konflik yang merugikan dakwah yang di akibatkan kurang dimengertinya aspek-aspek sosiologis dan psikologis dalam masyarakat oleh para da’i. Alih-alih dakwah diterima sebagai sebuah tawaran solusi terhadap permasalahan kehidupan, justru dakwah sering dianggap sebagai problem oleh masyarakat. Oleh karena itu memahami urgensi pengenalan faktor-faktor sosiologis dan psikologis dalam masyarakat sangat diperlukan oleh para aktivis dakwah.

Mengetahui faktor sosiologis dilakukan dengan menempatkan diri sebagai pengamat yang berada diluar komunitas. Dari pengamatan itu diharapkan akan didapat gambaran ’bagaimana’ sebuah fenomena budaya dan perilaku dalam masyarakat terjadi, sehingga akan memudahkan untuk menentukan pendekatan yang akan dipakai dalam menyelesaikan problematika dakwah. Adapun mengetahui faktor-faktor psikologis masyarakat dilakukan dengan menjadi bagian dari masyarakat itu sendiri dan mencoba merasakan apa yang dirasakan oleh masyarakat. Pemahaman tentang faktor-faktor ’mengapa’ sebuah budaya dalam masyarakat terjadi akan mampu menumbuhkan empati dalam berdakwah.

Rujukan:

Anas, Ahmad, Paradigma Dakwah Kontemporer, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2006.

Gerungan, W.A, Psychologi Sosial, Jakarta: PT. Cresco, 1983.

Liliweri, Alo, Makna Budaya Dalam Komunikasi Antar Budaya, Yogyakarta: LKIS, 2003.

Rahmad, Jallaludin dan Dedi Mulyana, Komunikasi Antar Budaya (Pedoman Berkomunikasi Dengan Orang-Orang Berbeda Budaya), Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2000.

Sadily, Hassan, Sosiologi Untuk Masyarakat Indonesia, Jakarta: Bina Aksara, 1989

Sarwono, Sarlito Wirawan, Pengantar Umum Psikologi, Jakarta: Bulan Bintang, 1982.

Soekanto, Soeyono, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Rajawali Press, 1987.

Soekanto, Soeyono, Beberapa Teori Sosiologi Tentang Stuktur Masyarakat, Jakarta: CV. Rajawali, 1984.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.