Tiga Perkara Yang Dapat Merusak Kebahagiaan

لاَ حَسَدَ إِلاَّ فِى اثْنَتَيْنِ رَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ مَالاً فَسُلِّطَ عَلَى هَلَكَتِهِ فِى الْحَقِّ ، وَرَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ الْحِكْمَةَ ، فَهْوَ يَقْضِى بِهَا وَيُعَلِّمُهَا «

“Tidak boleh hasad (ghibtah) kecuali pada dua orang, yaitu orang yang Allah anugerahkan padanya harta lalu ia infakkan pada jalan kebenaran dan orang yang Allah beri karunia hikmah (al-Qur’an dan Sunnah), ia menunaikan dan mengajarkannya.” (Muttafaq alaih).

Saudaraku,
Ali bin Abu Thalib r.a pernah menasihati kita dengan tulus,

“Tiada rehat bagi jiwa yang hasut. Tiada persaudaraan iman bagi hati yang mudah bosan (kecewa) dan tiada kekasih bagi orang yang berakhlak tercela.” (Mawa’izh al-Shahabah, Shalih Ahmad al-Syami)

Saudaraku,
Apa kabar iman kita hari ini?

Jika kita membiarkan hati kita dialiri perasaan iri hati atas keberhasilan dan kesuksesan orang lain dalam masalah duniawi, itu artinya kita membiarkan diri kita terjatuh pada kebinasaan; dunia maupun akherat. Kita akan didera perasaan gelisah berkepanjangan, yang tak kunjung surut dan bahkan naik setiap detiknya. Kita akan terombang ambing oleh kelelahan jiwa yang kita ciptakan sendiri.

Jika kita biarkan hasad hinggap di dalam hati kita, maka kita tak akan pernah merasakan ketenangan, kedamaian dan kenyamanan dalam menjalani hidup dan kehidupan ini.

Untuk itu jika kita melihat orang lain mendapatkan keluasan rezki. Dimudahkan untuk menemukan pasangan hidup sekufu yang seiring sejalan. Allah karuniakan anak-anak yang mungil dan manis. Terbentang untuknya medan bisnis yang menjanjikan. Popularitas yang terus meroket. Terbuka jalan untuknya menjadi wakil rakyat dan seterusnya.

Idealnya yang kita lakukan adalah mendo’akan keberkahan untuknya dan kita membantunya taat kepada Allah serta mensyukuri nikmat pemberian-Nya.

Orang yang menyimpan hasad dalam dirinya, sebenarnya ia telah menciptakan kegelisahan hati, mendapati langit kehidupannya selalau mendung dan berawan. Kecerian sirna. Senyuman pun menjauh dari kehidupannya.

Saudaraku,
Persaudaraan iman menjelma sebagai bentuk keta’atan kita kepada Allah s.w.t. Ia tidak dibangun di atas dasar kepentingan duniawi sesaat. Bukan pula karena profesi, jabatan, rupa menarik, kepentingan, poilitik, bisnis dan yang senada dengan itu.

Jika iman yang menjadi asas dalam berukhuwah, maka persaudaraan akan terus langgeng hingga ke akherat sana. Ia tiada lapuk diguyur air hujan dan tak lekang disapa sengatan panas matahari. Ia tetap terpatri di jiwa, walau harus dipisahkan oleh jarak dan waktu. Ia tak berubah seiring pergantian musim dan beranjaknya usia.

Saat seseorang hadir di kala memerlukan bantuan kita. Ia merapat di saat kita sehat, lapang, berkecukupan, memiliki jabatan strategis dan yang seirama dengan itu. Sementara ia menghilang dan menjauh dari kita di saat kita sakit, pailit, sempit, berduka, miskin dan seterusnya. Berarti ukhuwah yang terjalin hanya semu semata. Yang akan membuat kita merana di dunia fana ini.

Oleh karena itu jika kebosanan menyapa persaudaraan dan ukhuwah kita, kita perlu mengevaluasi perjalanan ukhuwah dan persaudaraan iman kita. Pasti di sana ada yang error. Mungkin niat yang tak lagi tulus dalam bersahabat. Atau barangkali iman kita yang sedang mengalami masalah.

Saudaraku,
Salah satu cara untuk meraih cinta Allah swt dan manusia adalah berbudi pekerti yang luhur. Karena tabiat dasar yang dimiliki manusia adalah senang melihat keelokan perangai dan keindahan pekerti orang-orang yang berada di dekatnya.

Hanya dengan budi pekerti yang luhur, kita dapat menarik hati orang lain. Artinya kecintaan orang terhadap kita, tak bisa ditukar dengan sertifikat tanah, lembaran-lembaran real, dolar dan rupiah. Tidak pula dibeli dengan lempengan emas dan butiran mutiara. Tetapi ia hanya dapat kira raih dengan menampilkan budi pekerti mulia.

Untuk itu, kasar dalam berinteraksi terhadap sesama. Hilangnya rasa amanah. Sirnanya sebuah kelembutan hati. Sikap mendua dan banyak berbasa basi. Sulit memaafkan kekhilafan orang lain. Identik dengan kebohongan dan dusta. Dan yang seirama dengan itu. Yang demikian itu menjadikan manusia menjauh dari kehidupan kita.

Jika sudah demikian, maka memiliki kekasih dan sahabat sejati hanya sekadar ibarat panggang jauh dari api. Yang tak akan terwujud di alam realita kehidupan kita. Bagaikan fatamorgana.

Saudaraku,
Jika kita ingin meneruskan perjalanan hidup menuju Allah dengan tersenyum, banyak sahabat setia menemani kita, dan dicintai banyak orang. Hendaknya kita melepaskan diri kita dari hasad dan iri hati. Melandasi persaudaraan dan persahabatan di atas pondasi iman. Dan menghiasi diri dengan akhlak yang terpuji.

Semoga kita mampu mewujudkannya. Amien. Wallahu a’lam bishawab.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.