Hukum Dan Tata Cara I’tikaf

Secara bahasa i’tikaf berarti menetapi, sedangkan secara syari’at itikaf adalah berdiam diri di masjid dalam waktu tertentu dengan ciri-ciri tertentu disertai dengan niat mendekatkan diri kepada Allah SWT. Itikaf termasuk ibadah yang mengandung keutamaan. Nabi Muhammad Saw bersabda: “Barangsiapa yang beri’tikaf sepuluh hari di bulan Ramadan, maka baginya pahala dua haji dan dua umroh.” (HR Al Baihaqi). 

Sebelum menjawab pertanyaan sahabat Zainuri, terlebih dahulu perlu dijelaskan tentang hukum, syarat, dan waktu pelaksanaan i’tikaf.

Hukum i’tikaf adalah sunnah. Hal ini didasarkan pada sabda Rasulullah SAW: “Siapa saja di antara kalian yang ingin melakukan i’tikaf, beri’tikaflah. Lalu orang-orang pun melakukan i’tikaf bersama beliau. (HR Bukhari, Muslim, Abu Dawud, An Nasa’i, Malik, dan Ahmad).

Dalam kitab Al Muwatha’, Imam Malik juga menyatakan, hukum i’tikaf adalah sunnah. Sementara, Ibn Al ‘Arabi menyatakan, bahwa i’tikaf hukumnya sunnah mu’akkadah.

Syarat-syarat i’tikaf antara lain:
1. Niat, yakni: “Nawaitul i’tikafi fi hadzal masjidi lillahi ta’ala” (Saya berniat i’tikaf di masjid ini karena Allah Ta’ala).
2. Suci dari hadas besar.
3. Berakal, jika di tengah-tengah i’tikaf seseorang kehilangan kesadaran (mabuk, gila, dan sebagainya), maka yang bersangkutan batal i’tikafnya.
4. Islam.
5. Berada di dalam masjid.
6. Berdiam diri minimal seukuran tuma’ninah salat lebih sedikit.

Menyangkut pertanyaan, berapa lama i’tikaf dilaksanakan, terdapat beberapa pandangan di kalangan para ulama. Mazhab Hanafi menyatakan, i’tikaf minimal sehari. Mazhab Maliki menyatakan, minimal sehari semalam. Imam Syafii, Ahmad, dan Ishaq bin Rahawih menyatakan, bahwa ukuran minimalnya adalah apa saja yang layak disebut berdiam diri dan tidak disyaratkan harus duduk. Pendapat yang terakhir inilah yang paling kuat, sedangkan pendapat yang lain tidak disertai dalil. Dalam sebuah hadis, Umar radhiyallahu ‘anhu (dalam Ash-Shahihain) berkata: “Aku pernah berrnadzar pada zaman jahiliyah untuk i’tikaf semalam di Masjidil Haram, maka Rasulullah berkata: “Tunaikan nadzarmu”.

Hadits Umar radhiyallahu ‘anhu di atas, juga mengisyaratkan bahwa i’tikaf bisa dilakukan selain pada bulan Ramadan. Namun, i’tikaf pada bulan Ramadan lebih utama untuk dilakukan sesuai dengan teladan Nabi Muhammad SAW yang beri’tikaf di bulan Ramadan dalam rangka mencari lailatul qadr. Sepuluh hari terakhir di bulan Ramadan merupakan waktu yang sebaik-baik untuk beri’tikaf karena padanya terdapat lailatul qadr sebagaimana diriwayatkan dalam beberapa hadis shahih.

Sahabat Zainuri menanyakan perihal tempat, di mana i’tikaf dilakukan? Secara syar’i i’tikaf harus dilaksanakan di masjid. Dengan kata lain, i’tikaf tidak dilaksanakan di lingkungan rumah, meskipun dilakukan di ruang salat yang disebut dengan mushalla. Hal ini didasarkan pada Firman Allah: “Dan kalian sedang i’tikaf di masjid-masjid.” (QS Al Baqarah: 185). Berbagai hadis tentang i’tikaf menegaskan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menunaikan i’tikafnya di masjid.

Boleh jadi kita merasa perlu memberikan pertanyaan lanjutan, bolehkah orang yang sedang melakukan i’tikaf, karena satu dan lain hal, keluar dari masjid?

Kalau kita kembalikan pada makna awal, i’tikaf yang berarti menetapi, mengandung pengertian tidak keluar dari masjid. Akan tetapi, jika terdapat keperluan mendesak yang mengharuskan untuk keluar dari masjid, maka tidak ada halangan untuk keluar dari masjid. Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: “Dan beliau tidak masuk rumah kecuali karena suatu kebutuhan seorang manusia.” (HR Bukhari dan Muslim).

Dari Shafiyah radhiyallahu ‘anha diperoleh penjelasan: “Bahwa dia datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, mengunjunginya pada saat i’tikafnya di masjid pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadan, maka dia berbicara bersama beliau sesaat lalu bangkit untuk pergi, dan Nabi shallallahu ‘alihi wasallam juga ikut bangkit mengantarnya pulang.” (HR Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban).
Lalu, apa yang dikerjakan pada saat i’tikaf?

Berdasarkan hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha, dijelaskan bahwa: “Adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam jika masuk sepuluh (hari terakhir bulan Ramadan) beliau menghidupkan malamnya dan membangunkan keluarganya serta bersungguh-sungguh dan mengencangkan tali pinggang.” (Hadis diriwayatkan dalam Ash Shahihain).

Mengencangkan ikat pinggang mengandung makna bersungguh-sungguh dalam melakukan kebaikan. Kendatipun melakukan percakapan di luar masalah ibadah diperbolehkan, akan tetapi percakapan seperti itu harus dibatasi. Sebaliknya, waktu i’tikaf harus dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk memperbanyak doa, dzikir, salat, tilawah Alquran, maupun ibadah-ibadah lainnya.

Wallahu alam bi shawab.

SUMBER

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.