Tiga Tingkatan Orang Dalam Berpuasa, Anda Termasuk Tingkatan Yang Mana?

اعْلَمْ أَنَّ الصَّوْمَ ثَلَاثُ دَرَجَاتٍ: صَوْمُ الْعُمُومِ، وَصَوْمُ الْخُصُوصِ، وَصَوْمُ خُصُوصِ الْخُصُوصِ
“Ketahuilah sesungguhnya shaum (puasa) itu ada tiga tingkatan; puasa umum, puasa khusus, dan puasa super khusus.” (al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin).
Saudaraku,
Setiap ibadah yang kita lakukan mengandungi hikmah yang memantul dalam diri kita. Sebagai bentuk penyucian diri, menambal segala kelemahan diri dan kekurangannya, membersihkan jiwa dari segala warna kekeruhan dan kotoran serta mendaki puncak penghambaan diri.
Ibadah yang tak memberi pengaruh positif apapun ke dalam jiwa, dan tak menggerakkan anggota tubuh menggapai pribadi yang konstruktif, ibarat jasad tanpa ruh. Sia-sia tanpa makna, fatamorgana yang menyapa.
Demikian pula dengan shiyam (puasa), jika ibadah suci ini tak menghadirkan sosok muttaqin dalam realita kehidupan kita, tidak meninggalkan bekas ruhani dalam hidup, hamba Rabbani menyingkir dari jiwa kita, maka kesia-siaan dan kerugian yang kita dapatkan.
Al-Ghazali membagi tingkatan orang yang berpuasa menjadi tiga tingkatan, yaitu:
1. Shuyam al-Umum (puasanya orang awwam).
2. Shiyam al-Khushus (puasanya para shalihin).
3. Shiyam khushus al-Khushus (super khusus, yaitu puasanya para nabi, shidiqin dan muqarrabin).
Saudaraku,
Penulis kitab al-Ihya’ tersebut mendefinisikan shiyam al-umum, adalah menahan diri dari penyaluran syahwat perut dan hasrat kemaluan dari menunaikan syahwat.”
Maksudnya, puasa umum atau puasa orang-orang awam adalah “sekadar” mengerjakan puasa menurut tata cara yang diatur dalam hukum fiqih. Seseorang makan sahur dan berniat untuk puasa pada hari itu, lalu menahan diri dari makan, minum dan melakukan hubungan intim dengan suami atau istrinya sejak dari terbit fajar sampai tenggelamnya matahari. Jika hal itu telah dikerjakan, maka secara hukum fiqih ia telah mengerjakan kewajiban shaum Ramadhan. Puasanya telah sah secara lahiriah menurut tinjauan ilmu fikih.
Namun, ketika anggota tubuh tak puasakan, seperti mata, telinga, lisan, tangan, kaki dan yang lainnya dari perkara-perkara yang haram, maka puasa yang ia lakukan hanya membuahkan lapar dan dahaga.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,
رُبَّ صَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ صِيَامِهِ الْجُوعُ وَالْعَطَشُ، وَرُبَّ قَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ قِيَامِهِ السَّهَرُ
“Betapa banyak orang berpuasa namun balasan dari puasanya hanyalah lapar dan dahaga semata. Dan betapa banyak orang melakukan shalat malam (tarawih dan witir) namun balasannya dari shalatnya hanyalah begadang menahan kantuk semata.” (HR. Ahmad, Ad-Darimi, Ibnu Hibban dan Al-Hakim).
Saudaraku,
Tingkatan kedua adalah shiyam al-Khushus, yaitu puasanya para shalihin.
Imam al-Ghazali mengartikan shiyam al-Khushus sebagai puasa yang menjaga pendengaran, penglihatan, lisan, tangan, kaki dan seluruh anggota badan dari perbuatan-perbuatan dosa.
Tingkatan ini lebih tinggi dari tingkatan puasa umum atau puasa orang-orang awam. Selain menahan diri dari makan, minum dan melakukan hubungan seksual, tingkatan ini menuntut orang yang berpuasa untuk memelihara seluruh anggota badannya dari perbuatan dosa, baik berupa ucapan maupun perbuatan. Tingkatan ini menuntut seorang muslim untuk senantiasa berhati-hati dan waspada.
Tingkatan ini, seorang hamba telah mempuasakan penglihatannya dari sesuatu yang haram dan mendatangkan murka Allah swt, seperti melihat aurat wanita yang bukan mahram, acara-acara yang mengundang syahwat dan seterusnya.
Menundukkan pandangan mata dari hal-hal yang diharamkan Allah dan rasul-Nya, menahan pandangan mata dari terlalu bebas memandang hal-hal yang dicela dan dibenci, bahkan menahan pandangan mata dari hal-hal yang menyibukkan hati dan melalaikan dari dzikir kepada Allah swt.
Ia menjaga pendengarannya dari mendengarkan hal-hal yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya, seperti ghibah, kata-kata dusta, kotor, musik yang melalaikan dari zikir dan setrusnya.
Memelihara telinga dari mendengarkan hal-hal yang diharamkan, sebab hal-hal yang haram diucapkan juga haram untuk didengarkan. Allah swt telah menyamakan antara mendengarkan perkataan yang haram dengan memakan harta yang haram, dalam firman-Nya: (artinya), “Mereka sangat banyak mendengarkan perkataan dusta dan sangat banyak memakan harta haram.” (QS. Al-Maidah: 42).
Ia menjaga lisan dari ucapan yang sia-sia, melukai perasaan orang lain, ucapan yang jorok, perkataan dusta, ghibah (menggunjing), namimah (adu domba), sumpah palsu, ucapan yang kasar, adu mulut dan debat kusir. Ia hendaknya menyibukkan lisan dengan senantiasa membaca al-Qur’an, berdzikir, mengucapkan perkataan yang baik, memberi nasihat atau lebih baik diam, menghindari pembicaraan yang tidak bermanfaat.
الصِّيَامُ جُنَّةٌ فَلاَ يَرْفُثْ وَلاَ يَجْهَلْ، وَإِنِ امْرُؤٌ قَاتَلَهُ أَوْ شَاتَمَهُ فَلْيَقُلْ: إِنِّي صَائِمٌ مَرَّتَيْنِ
“Puasa adalah perisai. Maka jika salah seorang di antara kalian sedang berpuasa, janganlah ia mengucapkan perkataan yang keji dan jangan pula melakukan tindakan yang bodoh. Jika ada seseorang yang mencaci maki dirinya atau mengajaknya berkelahi, hendaklah ia menjawab: ‘Aku sedang berpuasa, aku sedang berpuasa’.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Ia akan menahan tangannya dari mengambil barang milik orang lain tanpa hak, melukai tubuh orang lain, menyentuh perempuan yang tak halal baginya dan seterusnya.
Ia akan menahan kakinya, dari melangkah menuju tempat-tempat maksiat, seperti judi, pelacuran, panti pijat remang-remang dan lain sebagainya.
Kelompok ini yang disinyalir oleh Nabi saw dalam sabdanya:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa berpuasa Ramadhan karena iman dan mengharap pahala dari Allah, maka dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Saudaraku,
Tingkatan ketiga, teratas dan terberat adalah shiyam khushus al-khushus (puasa super khusus), yaitu puasanya hati dari keinginan-keinginan yang rendah dan pikiran-pikiran duniawi serta menahan hati dari segala orientasi yang mengarah kepada selain Allah secara totalitas.
Tingkatan ini adalah tingkatan yang paling tinggi, sehingga paling berat dan paling sulit dicapai. Selain menahan diri dari makan, minum dan hubungan seksual, serta menahan seluruh anggota tubuh kita dari perbuatan maksiat, tingkatan ini menuntut hati dan pikiran orang yang berpuasa untuk selalu fokus, memikirkan hal-hal yang mulia, mengharapkan hal-hal yang luhur dan memurnikan semua tujuan untuk Allah semata.
Puasanya hati dan pikiran, itulah hakekat dari puasa super khusus. Puasanya hati dan pikiran dianggap batal ketika ia memikirkan hal-hal yang mengarah kepada selain Allah, hari akhirat dan berpikir tentang (keinginan-keinginan) dunia, kecuali perkara dunia yang membantu menggapai kebahagiaan hidup di akhirat. Inilah puasa para nabi, shiddiqin dan muqarrabin.
Saudaraku,
Kalau kita mau jujur dengan suara hati nurani kita, di manakah posisi kita dari tiga tingkatan puasa di atas? Tingkatan yang ketiga tidak mungkin kita peroleh, tapi kita pun tak mau di tingkatan teratas. Maka kita insyaallah berada di tingkatan kedua puasa kedua, sambil mengejar secara maksimal agar bisa meraih puncak tingkatan puasa terbaik. Amien. Wallahu a’lam bishawab.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.