Sunnah-Sunnah Fithrah (Jati Diri) Umat Islam Yang Membedakan Dengan Umat Lainnya

Allah Subhanahu wa Ta’ala mengajarkan kepada para nabi-Nya berbagai sunnah dan menyuruh kita agar meneladani mereka dalam melaksanakan sunnah-sunnah ini. Hal ini merupakan bagian dari syiar atau lambang jati diri yang bertujuan untuk membedakan suatu umat dengan umat yang lain. Ketentuan-ketentuan seperti ini disebut dengan sunnah-sunnah fitrah. Di antara sunnah-sunnah tersebut adalah:

1.       Berkhitan

Berkhitan adalah memotong kulit yang menutupi kepala zakar (baca: kemaluan laki-laki). Tujuannya adalah agar kotoran tidak menumpuk di dalamnya; untuk memastikan semua air kencing yang keluar; dan untuk menambah kenikmatan pada saat bersetubuh. Inilah khitan yang diwajibkan bagi kaum laki-laki. Sedangkan bagi perempuan, khitan dilakukan dengan memotong bagian atas yang tampak di permukaan kemaluan.[1] Khitan merupakan satu amalan yang sudah lama dipraktikkan sejak dulu. Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anh berkata, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,

“Nabi Ibrahim –Kekasih Allah Yang Maha Penyayang- berkhitan setelah berusia delapan puluh tahun dan beliau berkhitan dengan menggunakan kampak.”[2] HR Bukhari.

Mayoritas ulama berpendapat, hukum berkhitan adalah wajib. Sedangkan Syafi’i berpendapat bahwa khitan hendaknya dilaksanakan pada hari ketujuh setelah kelahiran. Asy Syaukani berkata, “Tidak ada ketentuan waktu dalam berkhitan, dan juga tidak ada dalil yang menyatakan kewajiban khitan.”[3]

2.       Mencukur bulu kemaluan

3.       Mencabut bulu ketiak.

Mencukur bulu kemaluan dan bulu ketiak merupakan amaliah fithriyyah dan dapat dilakukan dengan cara menggunting, memotong, mencabut atau mencukurnya.

4.       Memotong kuku.

5.       Memendekkan kumis atau menipiskannya.

Memotong kuku dan memendekkan kumis merupakan amalan sunnah berdasarkan pada riwayat hadits sahih. Ibnu Umar Radhiyallahu ‘Anh berkata, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,

“Bedakanlah identitas kalian dengan kaum musyrikin; panjangkan janggut dan tipiskan kumis.”[4] HR Bukhari dan Muslim

Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anh berkata, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,

“Lima perkara yang termasuk fitrah. yaitu berkhitan, memotong bulu kemaluan, mencabut bulu ketiak, memotong kuku dan memotong kumis.”[5]

Berdasarkan pada dua hadits di atas, dapat dipahami bahwa di sana tidak ada ketentuan yang jelas berkaitan dengan memotong kumis ataupun menipiskannya. Jadi, baik memotong atau menipiskan kumis, keduanya termasuk amaliyyah fitriyyah, karena hal yang sedemikian bertujuan agar kumis tidak terlalu panjang sehingga menyebabkan makanan atau minuman menempel padanya. Selain itu, juga agar kotoran tidak menumpuk di situ. Dari Zaid bin Arqam Radhiyallahu ‘Anh, ia berkata. Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,

“Barangsiapa yang tidak mencukur atau menipiskan kumisnya, ia tidak termasuk golongan kami”.[6] HR Ahmad dan Nasai

Imam Tirmidzi mengategorikannya sebagai hadits sahih.

Dianjurkan mencukur bulu kemaluan, mencabut bulu ketiak, memotong kuku, mencukur atau menipiskan kumis setiap minggu untuk menjaga kebersihan, (menjaga) penampilan sehingga selalu tampak menawan dan (menumbuhkan) percaya diri. Sebab, rambut atau bulu tubuh (jika terlalu panjang)  akan menyebabkan keresahan dan kegelisahan. Meksipun dibolehkan meninggalkan semua hal tersebut selama empat puluh hari, namun setelah itu lima hal tersebut mesti dilaksanakan. Sebagai landasan atas hal ini adalah hadits yang bersumber dari Anas Radhiyallahu ‘Anh, ia berkata bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam memberi jedah waktu kepada kami untuk tidak menggunting kumis, memotong kuku, mencabut bulu ketiak, dan mencukur bulu kemaluan selama empat puluh malam dan tidak boleh membiarkannya lebih dari tempo itu.”[7] HR Ahmad dan Abu Daud.

6.    Memelihara dan Membiarkan Jenggot Hingga Lebat

Hal ini merupakan simbol kewibawaan. Jangan memotongnya terlalu pendek sehingga seakan-akan dicukur dan jangan pula dibiarkan terlalu lebat tanpa pemeliharaan sehingga terlihat tidak rapi.[8] Yang lebih baik dilakukan adalah denan mengambil jalan tengah; tidak memotongnya terlalu pendek dan juga tidak membiarkannya terlalu panjang atau lebat. Hal ini (mengambil jalan tengah) juga baik diberlakukan dalam segala hal. Di samping itu, jenggot yang lebat menunjukkan kejantanan dan kematangan. Ibnu Umar Radhiyallahu ‘Anh berkata bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam Bersabda, “ Bedakanlah identitas kalian dengan kaum musyrikin; panjangkan janggut dan tipiskan kumis.”[9] HR Bukhari Muslim.

Imam Bukhari menambahkan, “Apabila Ibnu Umar menunaikan ibadah haji atau umrah, beliau sering memegang jenggot (dengan tangannya). Jika jenggotnya melebihi dari genggaman tangannya, beliau memotongnya.”[10]

7.   Merapikan Rambut yang Lebat dan Panjang, dengan Cara Memberinya Minyak atau Menyisirnya

Sebagai landasan atas hal ini adalah hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anh, ia berkata, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,

“Barang siapa yang mempunyai rambut, hendaknya ia memuliakannya (dengan cara merapikannya).”[11]HR Abu Daud

Atha’ bin Yasar Radhiyallahu ‘Anh berkata, “Ada seorang laki-laki yang berambut kumal dan berjenggot kusut menemui Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam Saat melihatnya, beliau memberi isyarat kepadanya, dan seolah-olah menyuruhnya supaya merapikan rambut dan jenggotnya. Laki-laki itu pun pergi untuk melaksanakan perintah Rasulullah degan melakukan apa yang telah diisyaratkan kepadanya. Setelah itu, ia datang lagi untuk menemui Rasulullah. Melihat penampilannya yang sudah rapi, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata kepadanya, “Bukankah ini penampilan yang terbaik dibandingkan dengan seseorang di antara kalian yang datang kepadaku dalam keadaan rambutnya kumal, bagaikan setan?”[12]HR Malik.

Dari abu Qatadah Radhiyallahu ‘Anh ia mengatakan bahwa dirinya merupakan salah seorang yang berambut lebat dan panjang, yang panjangnya sampai menjulur ke bahu. Kemudian ia menanyakan hal itu kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam Lantas beliau menyuruhnya agar merapikan dan menyisir rambutnya setiap hari. HR Nasai.

Imam Malik  dalam kitabnya, Al Muwaththa’, meriwayatkan dengan redaksi berikut: “Saya bertanya, Wahai Rasulullah, saya mempunyai rambut panjang hingga sampai ke bahu. Perlukah saya menyisirnya?’ Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab, ‘Ya! Lebih dari itu, kamu juga harus menghormatinya (dengan cara merapikannya)!”[13]

Abu Qatadah memberi minyak pada rambutnya sebanyak dua kali dalam sehari sebagai bentuk pelaksanaan atas perintah Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam yang berbunyi, “Hendaklah kamu senantiasa menghormatinya dengan cara merapikannya!”

Baik mencukur rambut kepala ataupun memanjangkannya, keduanya diperbolehkan, asal tetap dirawat (dan kelihatan rapi). Sebagai landasan atas hal ini adalah hadits Ibnu Umar Radhiyallahu ‘Anh Ia berkata, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Cukurlah semuanya atau biarkan semuanya!”[14]HR Ahmad, Muslim, Abu Daud dan Nasai.

Mencukur sebagian rambut dan meninggalkan sebagian yang lain hukumnya adalah makruh tanzih. Dalilnya adalah hadits yang bersumber dari Nafi’ dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘Anh, ia berkata, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, melarang al qaza’. Lalu ada seseorang yang bertanya kepada Nafi’, “Apa yang dimaksud dengan al qaza’?” Nafi’ menjawab, “Yaitu mencukur sebagian rambut kepala seorang anak kecil, dan membiarkan sebagian yang lain.”[15] HR Bukhari dan Muslim

Larangan ini juga berdasarkan hadits Ibnu Umar Radhiyallahu ‘Anh sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya.

8. Membiarkan Uban dan Tidak Mencabutnya

Baik uban pada jenggot atau kepala. Dalam masalah ini, antara perempuan dan laki-laki tidak ada perbedaan, di mana keduanya dianjurkan membiarkan uban yang ada pada (rambut atau janggutnya) dan tidak mencabutnya. Dalilnya adalah hadits ‘Amar bin Syua’ib Radhiyallahu ‘Anh dari bapaknya, dari kakeknya bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,

“Janganlah kalian mencabut uban, karena ia merupakan cahaya bagi seorang Muslim. Tidaklah seorang Muslim membiarkan ubannya –selama ia masih Islam-, kecuali Allah akan mencatat baginya satu kebaikan, mengangkatnya satu derajat dan menghapus satu kesalahan.”[16] HR Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi, Nasai dan Ibnu Majah.

Anas Radhiyallahu ‘Anh berkata, “Kami tidak senang dengan seorang laki-laki yang mencabut sehelai uban dari kepala dan jenggotnya.”[17] HR Muslim

Diperbolehkannya Mengubah Warna Uban dengan Inai

Warna merah, warna kuning dan warna-warna yang lainnya boleh digunakan untuk menyemir rambut. Sebagai landasan atas hal ini adalah hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anh. Ia berkata, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Orang Yahudi dan Nasrani tidak mau menyemir (rambutnya yang beruban). Oleh karena itu, bedakanlah dirimu dengan cara menyemir rambutmu.”[18]

Abu Dzar Radhiyallahu ‘Anh berkata, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,

“Sebaik-baik bahan untuk mengubah warna uban adalah inai[19] dan semir.”[20] HR Bukhari, Muslim, Nasai, Abu Daud dan Tirmidzi.

Meskipun ada juga hadits yang menyatakan makruh menyemir uban,[21] namun para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini. Perbedaan pendapat ini berdasarkan pada usia, kebiasaan dan tradisi. Sebagian sahabat meriwayatkan, bahwa membiarkan uban tanpa menyemirnya adalah lebih utama, sedangkan sebagian yang lain menyatakan bahwa menyemir uban adalah lebih utama. Di antara mereka ada yang menyemir uban dengan warna kuning; sebagian yang lain dengan menggunakan ; inai; ada yang menyemir dengan za’faran; dan ada juga sebagian sahabat yang menyemir ubannya dengan warna hitam.

Dalam kitab Fath Al Bari, al-Hafiz Ibnu Hajar menyebutkan satu riwayat dari Ibnu Syihab Az Zukhri, ia berkata, Kami biasa menyemir rambut dengan warna hitam ketika wajah masih segar. Namun, setelah wajah berkerut dan gigi telah ompong kami pun tidak menyemirnya lagi.

Jabir Radhiyallahu ‘Anh meriwayatkan sebuah hadits.Ia berkata, pada waktu penaklukan kota Makkah, Abu Quhafah –ayah Abu Bakar- menghadap kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, sedangkan kepalanya laksana kapas (baca : telah beruban). Melihat itu, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Bawalah ia kepada salah seorang istrinya supaya menyemir rambutnya, tapi jangan menggunakan warna hitam.”[22]

Hadits ini diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, Abu Daud, Ibnu Majah dan Nasai.

Pada dasarnya, hadits ini bertentangan dengan keterangan-keterangan yang telah dijelaskan sebelumnya, di mana rambut yang sudah beruban dapat disemir dengan menggunakan warna apapun. Namun, pernyataan hadits ini bersifat khusu karena ini hanya dikhususkan kepada Abu Quhafah. Karenanya, hadits ini tidak dapat dijadikan sebagai landasan hukum yang berlaku secara umum. Di samping itu, sebagai laki-laki yang seusia Abu Quhafah, di mana seluruh rambutnya sudah memutih hingga laksana kapas, tidak sepatutnya menyemir rambut dengan warna hitam. Perkara seperti ini memang tidak pantas dilakukan.

9. Memakai Minyak Kasturi dan Jenis Minyak Wangi Lainnya

Minyak wangi dapat menenangkan hati, melapangkan dada, menyegarkan jiwa, membangkitkan tenaga dan kegairahan dalam bekerja. Sebagai landasan atas hal ini adalah hadits Anas Radhiyallahu ‘Anh, ia berkata, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,

“Telah ditambatkan kesenangan bagiku dalam urusan dunia; perempuan (istri), wangi-wangian, dan telah dijadikan ketenangan bagiku dalam shalat.”[23] HR Ahmad dan Nasai

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anh, ia berkata, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,

“Barangsiapa yang ditawarkan padanya minyak wangi, hendaknya ia tidak menolaknya. Sebab, ia mudah dibawa dan baunya harum.”[24] HR Muslim, Nasai dan Abu Daud.

Dan dari Abu Sa’id Radhiyallahu ‘Anh, ia berkata, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata berkaitan dengan minyak wangi, “Ia adalah minyak wangi yang paling baik.”[25] Hadits ini diriwayatkan oleh ulama hadits kecuali imam Bukhari dan Ibnu Majah.

Nafi’ berkata, Ibnu umar membakar kayu cendana tanpa dicampuri dengan angi-wangian yang lain dan ia juga pernah mencampur kayu cendana dengan kapur barus. Lantas ia berkata, “Beginilah cara Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam memakai minyak wangi.”[26] HR Muslim dan Nasai.

[1]Semua hadits yang memerintahkan khitan bagi kaum perempuan adalah dha’if , tidak satu pun dari hadits tersebut yang dikategorikan hadits shahih. Al Albani berkata, “Ada satu hadits shahih yang diriwayatkan dari Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam berkaitan perintah khitan kepada kaum perempuan. Beliau bersabda, “Potonglah sebagian klitoris yang muncul di permukaan bibir vagina, namun jangan sampai dipotong secara keseluruhan. Sebab, ia memberi pengaruh pada kecantikan dan memberi kenikmatan bagi suami (ketika bersetubuh).” Al Albani berkata, “Hadits ini, diriwayatkan dalam beberapa riwayat dari para sahabat. Beberapa hadits yang serupa turut memperkuat maksudnya. Dua di antara sanadnya telah saya takhrij dalam Ash Shahihah, jilid II, hal. 353-358.” Lihat Tamam Al Minnah:[67].

[2] Al Qadum. Kampak, atau nama salah satu daerah di negeri Syam. HR Bukhari kitab “Bad’ Al Khalaq,” bab “Wa At Takhaza Allahu Ibrahim Khalilan”. (An-Nisa’ [4] : 125), jilid IV, hal. 170. Imam Ahmad dalam Musnad Ahmad, jilid II, hal. 322.

[3] Namun ada sebagian nash yang mewajibkan berkhitan. Lihat dalam kitab Ya Qalfa’ Ikhtatini” karya Ustadz Syekh Mushtafa Ibnu Salamah. Lihat Tamam Al Minnah : [67].

[4] HR Bukhari kitab “Al Libas,” bab “Taqlim Al Azhafir,” jilid VII, hal. 206. Muslim kitab “ath-Thaharah,” bab “Khishal Al Fitrah,” jilid I, hal. 222.

[5] HR Bukhari kitab “Al Libas,” bab “Qassh Asy Syarib” [1257], jilid VII, hal. 206 – jilid I, hal. 74. Muslim kitab “ath-Thaharah,” bab “Khishal Al Fitrah,” jilid I, hal. 221. Abu Daud kitab “ath-Thaharah,” bab “as-Siwak min Al Fitrah” [53-54]. Nasai kitab “Az Zinah,” bab “Al Fitrah,” jilid XIII, hal. 128-129. Tirmidzi kitab “Al Istizan wa Al Adab,” jilid V, hal. 91. Ibnu Majah kitab “ath-Thaharah,” bab “Al Fitrah” [292].

[6] HR Nasai kitab “ath-Thaharah, bab Qassh Asy Syarib” jilid I, hal. 15. Tirmidzi kitab “Al Isti’dzan wa Al Adab,” bab “Ma Ja’a fi Qassh Asy Syarib” [2761], jilid V, hal. 93 dan beliau berkata, “Hadits ini hasan lagi shahih.” Imam Ahmad dalam kitab Musnad Ahmad, jilid IV, hal. 368. DIklasifikasikan sebagai hadits shahih oleh Al Albani dalam Shahih an-Nasai, jilid I, hal. 5. Shahih At Tirmidzi: [2922]. Misykah Al Mashabih: [4438]. Shahih Al Jami’ [6533].

[7] HR Muslim kitab “ath-Thaharah,” bab “Khishal Al Fitrah” [51], jilid I, hal. 222. Nasai kitab “ath-Thaharah,” bab “At  Tauqit fi Taqlim Al Adhafir,” jilid I, hal. 15-16. Tirmidzi kitab “Al Adab,” bab “fi At tauqit fi Taqlim Al Adhafir wa Akhdzi asy- Syarib” [2759], jilid V, hal. 92. Ibnu Majah kitab “ath-Thaharah,” bab “Al Fitrah” [295], jilid I, hal. 108. Imam Ahmad dalam Musnad Ahmad, jilid III, hal. 122.

[8] Tidak ada satu hadits pun yang menegaskan bahwa Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah memotong jenggotnya, baik panjang maupun lebarnya. Memang ada satu riwayat yang menyatakan bahwa beliau pernah memotong jenggotnya, akan tetapi hadits dha’if. Lihat ad-Dha’ifah. Malahan beliau gemar membiarkan jenggotnya hingga tebal dan lebat, bahkan para sahabat sering memperhatikan goyang dan gerak jenggot Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam semasa membaca Al Quran.

[9] Ahli fikih menganggap perintah ini sebagai perintah wajib. Oleh karena itu mereka mengharamkan mencukur jenggot berdasarkan kepada perintah ini. Lihat takhrij hadits sebelumnya.

[10] Ini adalah perbuatan Ibnu Umar bukannya perbuatan Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam

[11] HR Abu Daud kitab “At Tarajjul,” bab “fi Ishlah Asy Sya’r,” jilid II, hal. 395 dan diklasifikasikan sebagai shahih oleh Al Albani dalam Shahih Al Jami’: [6493]. Ash Shahihah: [500]

[12] HR Malik dalam Al Muwattha’ kitab “Asy Sya’r,” bab “Islah Asy Sya’r” [7], jilid II, hal. 949. Hadits ini merupakan hadits mursal dan dha’if. Sebab, ‘Atha’ bin Yasar tergolong tabi’in. Sungguhpun begitu, hadits ini juga diriwayatkan oleh Abu Daud: [4062]. Nasai, jilid II, hal. 292. Imam Ahmad dalam Musnad Ahmad, jilid III, hal. 357 dari Jabir dengan lafal yang serupa, namun tidak menyebutn ‘jenggot’. Demikian juga perkataan: Kaannahu Syaithan. Hadits ini, diklasifikasikan sebagai hadits shahih oleh Al albani dalam Ash Shahihah: [493]. Namun, pada hadits sebelumnya, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan supaya memotong jenggot, akan tetapi dalam hadits ini beliau menyuruh supaya dirapikan saja!

[13] HR Malik dalam Al Muwattha’ kitab “Asy Sya’r,” bab “Islah Asy Sya’r” [6], jilid II, hal. 949. Hadits dikategorikan sebagai dha’if. Lihat uraiannya dalam Tamam Al Minnah [70-73]

[14] HR Abu Daud dalam Sunan Abu Daud [4195]. Pentahqiq berkata: “Al Mundziri mengatakan, hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim dengan sanad persis sama dengan sanad Abu Daud, namun Imam Muslim tidak menyebut dengan redaksinya.” Abu Mas’ud ad-Dimisyqi ketika memberi komentar hadits ini menegaskan bahwa Imam Muslim meriwayatkannya dengan redaksi yang bermaktub di sini.  Hadits ini diriwayatkan oleh Nasai kitab “Az Zinah,” bab “ar-Rukhsah fi Halq Ar Ra’s,” jilid XIII, hal. 130. Dengan redaksi yang sama. Abdurrazzaq meriwayatkannya dalam Al Mushannif [19564] dan disebut oleh Ibnu Hajar dalam Fath Al Bari, jilid X, hal. 365. Hadits ini diklasifikasikan sebagai hadits shahih oleh Al Albani dalam Ash Shahihah [1123]. Shahih Al Jami’ [212].

[15] HR Bukhari kitab “Al Libas,” bab “Al Qaz’,” jilid VII, hal. 210. Muslim kitab “Al Libas wa Az Zinah,” bab “Karahiyah Al Qaz’” [113], jilid III, hal. 1675.

[16] HR Abu Daud kitab “At Tarajjul,” bab “Fi Natf Asy Syaib” [4202], jilid IV, hal. 414 dengan redaksi “Janganlah kamu mencabut” dan demikian juga dalam Musnad Ahmad, jilid II, hal. 210. Syarh as-Sunnah [3181], jilid I2, hal. 95. Sedangkan Tirmidzi kitab “Al Adab,” bab “Ma Ja’a fi an-Nahyi ‘an Natf Asy Syaib” [2821], jilid V, hal. 125 dengan lafaz: “Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang mencabut uban, beliau bersabda: “Ia adalah cahaya bagi seorang Muslim.’ [3721], hal. 2, hal. 1226. Imam Nasai dengan redaksi “Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang mencabut uban.” kitab “Az Zinah” [5068], jilid XIII, hal. 36. Misykah Al Mashabih [4458], jilid II, hal. 497 dengan menggunakan redaksi seperti yang dijelaskan oleh Sayyid as-Sabiq. Al Albani berkata, “Hadits ini hasan dan shahih.” Lihat Ash Shahihah [1243].

[17] HR Muslim kitab “Al Fadha’il,” bab “Syaibuhu Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam” [104], jilid IV, hal. 1821.

[18] HR Bukhari kitab “Al Libas,” bab “Al Khidhab,” jilid VII, hal. 207. Muslim kitab “Al Libas,” bab “fi Mukhalafah Al Yahud fi Ash Shabghi” [80], jilid III, hal. 1663. Abu Daud kitab “At Tarajjul,” bab “fi Al Khidhab,” jilid II, hal. 403. Nasai kitab “Az Zinah,” bab “Al Idzn Ibnu Al Khidhab,” jilid XIII, hal, 137. Ibnu Majah kitab “Al Libas,” bab “Al Khidhab bi Al Hina’” [3621], jilid II, hal, 1196.

[19] Sejenis tumbuh-tumbuhan yang menghasilkan pewarna hitam kemerah-merahan atau pirang.

[20] HR Tirmidzi kitab “Al Libas,” bab “Ma Ja’a fi Al Khidhab” [1753], jilid IV, hal. 232, beliau berkata: “Hadits ini hasan lagi shahih.” Nasai kitab “Az Zinah,” bab “Al Khidhab bi Al Hina’ wa Al Katm” [5079], jilid XIII, hal. 139. Abu Daud kitab “At Tarajjul,” bab “fi Al Khidhab” [4205], jilid IV, hal.416. Ibnu Majah kitab “Al Libas,” bab “Al Khidhab bi Al Hina” [3622], jilid II, hal. 1196. Al Musnad oleh Imam Ahmad, jilid V, hal. 147 dan diklasifikasikan sebagai shahih oleh Al Albani dalam Ash Shahihah [1509].

[21] Lihat Tamam Al Minnah [74-83]. Di situ terdapat uraian terperinci mengenai permasalahan ini.

[22] HR Muslim kitab “Al Libas wa Az Zinah,” bab “Istihbab Khidhab Asy Syaib bi Shufrah au Humrah” [79], jilid III, hal. 1663. Abu Daud kitab “At Tarajjul,” bab “fi Al Khidhab,” jilid II, hal. 403. Nasai kitab “Az Zinah”, bab “an-Nahyi ‘an Al Khidhab,” jilid II, hal. 1197. Lihat Tamam Al Minnah [85].

[23] Musnad Ahmad, jilid III, hal. 285. Nasai kitab ‘Usyrah an-Nisa,” bab “Hubb an-Nisa’ jilid VII, hal. 12, diklasifikasikan sebagai shahih oleh Al Albani dalam Shahih Al Jami’ [3124]. Al Misykah [5261].

[24] HR Muslim kitab “Al Alfasdz min Al Adab,” bab “Isti’mal Al Misk” [20], jilid IV, hal. 1766 dengan lafaz: “Barangsiapa yang ditawarkan minyak wangi…”. Abu Daud kitab “At Tarajjul,” bab “fi Radd ath-Thib,” jilid II, hal. 397. Nasai kitab “Az Zinah,” bab “ath-Thib,” jilid XIII, hal. 189. Shahih Al Jami’ [6393].

[25] HR Muslim kitab “Al Alaadz min Al Adab,” bab “Isti’mal Al Misk” (bab Memakai Wangi Misik) [19], jilid IV, hal. 1766. Abu Daud kitab “Al Jana’iz” (kitab jenazah), bab “fi Al Misk li Al mayyit” [3158]. Nasai kitab “Az Zinah,” bab “Athyab ath-Thib,” jilid XIII, hal. 151. Tirmidzi kitab “Al Jana’iz,” bab “Ma Ja’a fi Al Mayyit” [991], jilid III, hal. 308 dan beliau berkata: “Hadits ini hasan lagi shahih.” Musnad Ahmad, jilid III, hal. 31.

[26] HR Muslim kitab “Al Alfadz min Al Adab. Isti’mal Al Misk” [21], jilid IV, hal. 1766. Nasai kitab “Az Zinah,” bab “Al Bukhur,” jilid XIII, hal. 156.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.