Nilai Kekhusyu’an Dalam Sholat
Saat shalat seorang hamba menghadapkan diri kepada Allah dan berada di hadapan-Nya. Haruslah ia menyempurnakan kondisinya itu. Jika ia bisa menjaganya dengan baik, maka keadaannya di akhirat –saat ia benar-benar di hadapan Allah secara langsung- juga akan baik.
Ibnul Qayyim berkata: seorang hamba di hadapan Allah memiliki dua kondisi: pertama, di dunia. Kedua di akhirat. Jika yang pertama itu baik [yakni saat ia shalat] maka akan baik dan indah pula yang akhirat. Jika yang di sini itu buruk dan terlalaikan maka yang di akhirat akan mengikutinya.
Tersebarnya kemaksiatan, terbukanya dunia, dan maraknya unsur-unsur perusak hati di zaman kita hampir-hampir mematikan kekhusu’an saat shalat. Sehingga berat rasanya mata ini menangis karena membaca ayat-ayat Allah atau mendengarnya. Amat jarang kita saksikan satu jamaah shalat larut dalam tangis kekhusyu’an. Bahkan jika ada imam yang menangis karena penghayatan bacaannya, dianggap aneh dan risih. Sehingga hal ini –seolah- membenarkan sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, “Yang pertama kali akan diangkat dari manusia adalah kekhusyu’an.” (Dishahihkan Al-Albani)
Abu Darda pernah berkata kepada Jubair bin Nafir: kalau kau mau, aku akan smapaikan kepadamu perihal ilmu yang pertama diangkat dari manusia: khusyu’. Hampir-hampir engkau masuk masjid jami’ tak engkau dapati di dalamnya ada orang yang khusyu’.
Sesungguhnya khusyu’ adalah bagian dari ruh shalat. Bahkan menjadi pilar utama dan batu pondasinya. Karenanya Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda,
أَسْرَقُ النَّاسِ الّذِي يَسْرقُ صَلَاتَهُ
“Pencuri paling buruk adalah yang mencuri shalatnya.” Ditanyakan kepada beliau, “Ya Rasulallah, bagaimana ia mencuri shalatnya? Beliau menjawab: ia tak menyempurnakan rukuk dan sujudnya. Dan orang paling pelit adalah orang yang pelit dengan salam.” (HR. Ahmad. Dishahihkan Al-Albani)
Orang yang mengorupsi shalat dengan tidak menjaga kekhusyu’annya akan akan mendapatkan ancaman yang diberitakan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam,
“Allah ‘Azza wa Jalla tidak akan melihat kepada shalat hamba yang tidak menegakkan tulang rusuknya antara rukuk dan sujudnya.” (HR. Ahmad. Dishahihkan Al-Albani)
Selayaknya hati kita takut dengan ancaman ini. Apalagi kalau ditambahkan dengan hadits lain, “Sesungguhnya ada seseorang shalat selama 60 tahun namun tak satupun shalatnya diterima. Boleh jadi ia menyempurnakan rukuknya namun tak sempurnakan sujudnya. Ia sempurnakan sujudnya namun tak sempurnakan rukuknya. (Dihassankan Al-Albani)
Pernah suatu hari Bilal bin Rabbah Radhiyallhu ‘Anhu melihat laki-laki yang tak sempurnakan rukuk dan sujudnya. Kemudian beliau berkata: kalau orang ini mati niscaya ia mati bukan di atas ajaran agama Muhammad.
Karenanya Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda kepada orang yang buruk shalatnya setelah ia mengukanginya tiga kali: “Kemudian rukuknya sehingga engkau thama’ninah rukuk, lalu angkat badanmu sehingga engkau tegak berdiri, lalu sujudlah sehingga engkau thama’ninah sujud, lalu angkat badanmu sehingga engkau sempurna duduk.”
Ini adalah shalat satu sebab yang menghilangkan kekhusyu’an, yakni tidak thama’ninah (tanek) dalam shalat. Belum lagi berpalingnya hati dan memikirkan sesuatu di luar shalat. Ada yang saat masuk shalat teringat mobilnya, rumahnya, agenda kerjanya, dagangannya, bahkan lauk makan malamnya. Sehingga mewujudkannya perlu usaha keras dari kita.
Keadaan Ulama Salaf
Kekhusyu’an hati para ulama salaf sudah terlihat saat mereka mengambil air wudhu’. Hati mereka sudah sangat siap untuk menghadap Allah dan bersimpuh di hadapannya. Adalah Ali bin Abi Thalib Radhiyallhu ‘Anhu wajahnya terlihat pucat dan badannya gemetar sehabis berwudhu. Ditanyakan kepada beliau tentang kondisinya. Beliau menjawab, “Datang waktu amanat –shalat- yang pernah Allah tawarkan kepada langit, bumi, dan gunung-gunung maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan sekarang aku mengembannya.”
Apabila Zainal Abidin Ali bin Husain Radhiyallhu ‘Anhum berdiri shalat maka badannya terlihat gemetar. Ditanyakan kepadanya tentang hal itu. Ia menjawab, “Tahukan kalian di depan siapa aku berdiri?”
Karenanya, Ibnu Abbas Radhiyallhu ‘Anhu berkata tentang firman Allah, “(yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya” beliau berkata: Mereka takut dan diam dengan tenang.
Adalah Abu Bakar al-Shiddiq Radhiyallhu ‘Anhu, orang terbaik dari umat ini setelah Rasululullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, apabila mulai shalat sebagai imam maka tak jelas bacaannya karena banyaknya menangis. Beliau adalah laki-laki yang banyak menangis yang tak kuasa nahan air matanya saat membaca Al-Qur’an.
Dalam keterangan lain, Umar bin Khathab pernah menangis sampai bercucuran air matanya saat membaca surat Yusuf pada shalat Shubuh.
Bagaimana Mencapai Kekhusyu’an?
Banyak tips dan kiat mencapai kekhusu’an dalam shalat yang telah ditulis para ulama. Di antaranya:
- Berangkat shalat lebih awal. Ini diawali dengan menyempurnakan wudhu. Berjalan dengan tenang. Mengerjakan shalat sunnah qabliyah dan membaca beberapa ayat Al-Qur’an.
- Menjauhi tempat yang bisa menyibukkan diri dari shalat, seperti tempat yang ada lukisan dan banyak hiasannya, serta selainnya.
- Banyak mengingat kematian sebelum shalat dan keadaan di alam kubur serta saat dibangkitkan kelak. Termasuk di dalamnya mengingat saat-saat dibagikan kitab catatan amal, ditimbang segala amalnya, menyeberangi shirath. Semua ini bisa membantu membangkitkan kekhusu’an dan memperbagus shalat.
- Membersihkan hati dari kotorannya berupa iri, dengki, sombong, berlaku curang, dan segala kemaksiatan.
- Memahami bacaan shalat, baik yang dari Al-Qur’an dan doa-doa dari Sunnah.
- Mengarahkan pandangan ke tempat sujud, dan tidak menengadahkannya ke langit dan tidak pula melirik kanan-kiri.
Penutup
Masih banyak tips dan kiat khusu’ lainnya. Tidak terbatas pada yang disbeutkan di atas. Sebagiannya berupa anjuran. Sebagian lainnya larangan. Bagi kita semaksimal mungkin mengusahakan kekhusu’an. Karena nilai shalat kita ditentukan olehnya.