Memahami Agama Adalah Syarat Utama Menjadi Baik Di Sisi Allah
Kepada kaum muslimin kami berpesan, supaya bertakwa kepada Allah setiap saat. Istiqamah dalam mengamalkan ajaran Islam. Hendaknya takut kepada Allah dan selalu mendekatkan diri kepada-Nya di mana saja berada. Lalu melakukan introspeksi diri, sehingga tidak meninggalkan apa yang telah Allah wajibkan dan tidak menerjang apa yang telah Dia larang atas kalian.
Kami juga berwasiat agar terus bertafaqquh fiddin (mengkaji Islam), mempelajari kaidah-kaidah dasar Islam dan mengetahui masalah halal dan haram. Karena di sanalah letak kebaikan umat Islam. Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda,
مَنْ يُرِدْ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ
“Siapa yang kehendaki kebaikan padanya, maka Dia akan jadikan orang itu fakih terhadap dien.” (HR. Bukhari, Muslim, dan lainnya, dari Mu’awiyah bin Abi Sufyan Radhiyallahu ‘Anhu)
Yufaqqihu, maknanya: menganugerahkan kecerdasan, pengetahuan, dan kefahaman terhadap urusan Islam (hukum-hukum syar’i). Faham di sini adalah faham yang membuahkan amal shalih agar kefahaman dan ilmunya tersebut tidak menjadi bumerang bagi dirinya. Karena siapa yang tidak mengamalkan ilmu yang telah dipahaminya, ia termasuk orang yang mendapat murka, sebagaimana yang tersebut dalam hadits shahih, “Al-Qur’an itu menjadi pembelamu atau yang memberatkanmu.”
Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan tegas mencela orang yang memahami kebenaran dan telah menyampaikannya kepada yang lain, namun ia sendiri tidak mengamalkannya. Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan.” (QS. Al-Shaff: 2-3)
. . . siapa yang tidak mengamalkan ilmu yang telah dipahaminya, ia termasuk orang yang mendapat murka . .
Saat menjelaskan hadits di atas, banyak ulama menyebutkan juga hadits lain, dari Abu Musa al-Asy’ari, ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Sesungguhnya perumpamaan petunjuk dan ilmu yang dengannya Allah mengutusku adalah seperti air hujan yang turun ke tanah. Di antaranya ada tanah yang subur yang menyerap air sehingga menumbuhkan tanaman dan rerumputan yang banyak. Ada juga tanah tandus yang menahan air sehingga orang-orang bisa memanfaatkannya; mereka minum darinya, memberi minum ternaknya, dan mengairi tanaman. Ada juga tanah yang keras; tidak dapat menahan air dan tidak dapat menumbuhkan tanam-tanaman. Demikianlah perumpamaan orang yang memahami agama Allah, lalu ia mengambil manfaat apa yang dengannya Allah mengutusku, sehingga ia belajar dan mengajarkannya. Dari sisi lain ada orang yang tidak mau mengambil manfaat darinya, serta orang yang sama sekali tidak menerima petunjuk Allah yang dengannya aku diutus.” (Muttafaq ‘Alaih)
Dalam kitab Miftah Daar al-Sa’adah (1/60-61), milik Ibnul Qayyim, beliau menjelaskan, manusia dilihat dari sisi kesiapan dan kesediaannya menerima risalah (ajaran) yang dibawa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dalam tiga bagian; Pertama, ada orang yang menghafal, memahami maksudnya, dan mampu menyimpulkan hukum, hikmah dan faedah-faedahnya. Mereka inilah yang diumpamakan sebagai tanah yang bisa menerima air. Hafalan itu seperti tanah yang menumbuhkan tanaman yang sangat banyak. Sedangkan pemahaman, ma’rifah, istimbath adalah seperti penumbuhan tanaman dengan air. Inilah perumpamaan para huffaz, fuqaha’, dan ahlul hadits.
Kedua, orang yang diberi hafalan dan ucapan, lalu mencatatnya, tetapi mereka tidak dberi pemahaman makna dan kemampuan menyimpulkan hukum, mengungkap hikmah dan faidahnya. Mereka itu seperti orang yang membaca dan menghafalkan Al-Qur’an, juga memperhatikan huruf dan i’rabnya, tetapi mereka tidak diberi pemahaman khusus dari Allah.
Manusia memiliki pemahaman yang sangat beragam. Cukup banyak yang hanya mampu memahami satu atau dua hukum, dan ada juga yang sanggup memahami seratus atau dua ratus hukum. Mereka itu seperti tanah yang menahan air air untuk kepentingan orang banyak, untuk minum, memberi minum ternak, dan menyiram tanaman.
Kedua macam manusia di atas termasuk orang-orang yang bahagia. Macam pertama, derajatnya lebih tinggi dan terhoقmat, “Demikianlah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya; dan Allah mempunyai karunia yang besar.” (QS. Al-Jumu’ah: 4)
Ketiga, manusia yang tidak mendapatkan bagian; baik berupa hafalan, pemahaman, riwayah, maupun dirayah. Jika diumpamakan mereka ini laksana tanah tandus yang tidak bisa menumbuhkan tumbuhan dan tidak pula menyimpan air. Mereka itu orang-orang celaka.
Macam dua pertama, orang-orang yang sama-sama belajar dan mengajar, masing-masing sesuai dengan apa yang dimilikinya. Satu bagian mengetahui lafaz-lafaz Al-Qur’an dan menghafalnya. Satunya lagi, memiliki pengetahuan tentang makna, hukum, dan ilmu-ilmunya.
Adapun golongan ketiga adalah orang-orang yang tidak mempunyai ilmu dan tidak pula bergelut dalam dunia pengajaran. Mereka itulah yang tidak mau menyambut dan menerima petunjuk Allah. Mereka itu lebih buruk dari binatang ternak dan akan menjadi bahan bakar neraka.
Hadits di atas mencakup penjelasan tentang kemuliaan ilmu agama dan mengajarkannya serta keagungan statusnya. Juga mencakup kesengsaraan orang-orang yang tidak memilikinya. Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menyebutkan beberapa macam manusia ditinjau dari sisi ilmu tersebut, bahwasanya di antara mereka ada yang memperoleh kebahagiaan dan ada pula yang celaka dan sengsara. (disarikan secara ringkas)
Maka siapa yang Allah Ta’ala kehendaki kebaikan padanya, Dia akan buka hidayah hatinya dan menjadikan ia paham terhadap dien ini, Allah jadikan pemahaman terhadap nash syar’i pada hatinya, sehingga ia mampu memahami Al-Qur’an dan hadits.
. . . siapa yang tidak mengetahui urusan dien (Islam) maka ia termasuk orang yang tidak dikehendaki oleh Allah menjadi baik. . .
Sebaliknya, siapa yang tidak mengetahui urusan dien (Islam) maka ia termasuk orang yang tidak dikehendaki oleh Allah menjadi baik. Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Fathul Baari berkata, “Mafhum hadits bahwa orang yang tidak bertafakkuh fiddin, yakni tidak belajar kaidah-kaidah Islam dan cabang-cabangnya, maka sungguh ia diharamkan kebaikan. Abu Ya’la mengeluarkan hadits Mu’awiyah dari jalur lain yang dhaif, ditambahkan di ujungnya, “Siapa yang tidak dijadikan paham terhadap dien, maka Allah tidak peduli kepadanya.” Makna hadits ini adalah shahih, karena siapa yang tidak mengetahui perkara-perkara (ajaran) agamanya, maka ia bukan seorang fakih dan tidak pula mencari pengetahuan, sehingga pantas ia disifati bahwa ia tidak dikehendaki mendapatkan kebaikan.” Wallahu Ta’ala A’lam.