Usiaku Sudah Tua Tapi Belum Juga Ada Yang Melamarku
Adalah Zahra. Seorang gadis berprestasi setinggi mentari, menembus lagit-langit nan tinggi. Kini dia baru tersadar. Suksesnya Zahra di bidang akademis, malah membuat orang tuanya cemas. Bukan hanya orang tua, dirinya sendiri pun telah memahami betul bahwa sorang wanita tidak sepantasnya belajar di negeri orang tanpa pendamping, tanpa ada pasangan atau mahram yang menjaganya dari fitnah lawan jenis.
Kegigihan dan keuletannya menuntut ilmu tak ada bandingnya. Didukung dengan segenap kemampuan dan usaha keras orang tuanya yang memang dari keluarga peduli pendidikan dan berkecukupan. Baru saja dia sukses menyelesaikan program masternya di negri Sakura. Dan sebentar lagi, dia akan mengambil program doktoralnya di salah satu Universitas Internasional di negeri Tirai Bambu. Belum lama ini, juga sudah ada tawaran beasiswa menempuh program doktoral di Amerika. Sederet tawaran sudah ada di pelupuk mata. Itu karena kegigihan dan kecerdasannya yang tidak bisa dipandang sebelah mata.
Dia telah menyabet seabreg penghargaan, baik nasional maupun internasional. Tak ayal, kecerdasan dan kecantikannya membuat semua mata sejuk saat memandang. Berderet-deret kaum adam datang hendak meminang. Satu persatu mereka harus merelakan pujaan hatinya menyelesaikan pendidikan. Jawabannya tetap sama, sebisa mungkin tidak menggores luka di dalam dada-dada mereka, “Maaf, aku masih ingin belajar.”
Kini, Zahra belum juga menikah di usianya yang memasuki kepala tiga. Di awal keberangkatannya ke negri Sakura dua tahun lalu, sebenarnya dia sudah berniat untuk melepas masa lajangnya. Namun, yang datang selalu saja belum memenuhi kriteria. Jiwanya kini mulai bimbang dihadapkan pada pilihan mengejar cita-cita atau segera membina rumah tangga. Dia selalu termenung dalam lamunan-lamunan panjang.
“Adakah laki-laki yang berani mengajukan diri? Bila ada, tentu orang ini bukan orang biasa. Namun, adakah di dunia ini orang luar biasa itu? Sedang usiaku semakin hari semakin berlari,” hayalnya terus menghantui.
Demi mengurus orang tua, dia memutuskan pulang kampung. Dia hanya menjadi dosen di sebuah universitas di kampung sendiri, walaupun berderet beasiswa doktoral telah menunggunya. Dia berharap, sepulangnya nanti, segera ada yang datang menjemputnya mengakhiri perjalanan panjang memenuhi cita-cita membina rumah tangga.
Hari demi hari, aktifitasnya semakin sibuk. Namun, tetap saja, jiwanya meronta. Tak putus dalam doa-doanya menghiba. Ibunya semakin khawatir jika semasa hidupnya tidak sempat menyaksikan Zahra bersuami. Sang ibu juga ingin segera menimang cucu. Apalagi, bila melihat anak-anak tetangga seusia Zahra. Mereka sudah memiliki dua bahkan tiga buah hati yang menyejukkan mata.
Satu prinsip yang terus ia pegang dalam memilih pasangan, bukan kedudukan dan ketampanan, bukan pula harta dan terhormatnya keturunan. Yang ia utamakan adalah ketaatan pada agama dan kebenaran keyakinan; keshalihan. Ia akan memilih imam bagi dirinya yang tau tentang agama dan berpegang teguh dengan ajaran-ajarannya. Dia yakin sepenuhnya, bila itu yang jadi ukuran, Allah akan mengirim laki-laki terbaik yang ada di alam raya. Ia terus berusaha sekuat tenaga untuk bersabar menanti janji Allah yang akan mengirimkan sang pujangga hatinya.
Doanya terjawab. Kini, datang kepadanya seorang yang berkedudukan terhormat. Berpendidikan tinggi selangit. Ketampanannya selalu menjadi pemikat bagi semua mata kaum hawa yang melihat. Kedua orang tua Zahra pun sangat bangga dan bahagia. Kini, anak sulungnya akan segera menikah. Telah datang laki-laki yang menjabat sebagai rektor di universitas terkenal dalam negri. Sebenarnya, Zahra juga jatuh hati. Namun, Zahra mengenal betul siapa yang datang.
Dia adalah rektor di universitas tempatnya mengajar. Zahra faham betul perangai dan kebiasaan bersama mahasiswi yang mengelilingi kehidupan laki-laki itu. Dengan modal jabatan, harta dan ketampanannya, dia bisa mendekat kepada semua wanita idamannya. Batinnya meronta. Ini masalah prinsip agama. Dia tak boleh menuruti nafsu yang selalu berbisik menerima lamarannya. Dengan sangat hati-hati, berharap tidak ada hati yang tersakiti, dia tolak lamaran atasannya. Alasannya: moral.
Suatu ketika, Zahra pun meminta saran kepada Murobbiyahnya. Ia berikan sebuah amplop berisi biodata. Berharap ada solusi di sana. Ia masih terdiam mendengar petuah sang murobbiyah tentang keutamaan menikah. Menata hati, meluruskan niat yang haqiqi. Dari sini, harapan itu tumbuh. Zahra dipertemukan dengan seorang pemuda yang dari sisi pekerjaan kurang sepadan. Bila diukur dengan materi kurang prestisius dan tidak menjanjikan. Hanya seorang guru kampung yang gajinya hanya cukup untuk makan. Tapi, Zahra merasa cocok. Tak ada kebimbangan dan alasan sedikit pun untuk menolak. Ia terima dengan sangat bangga, bahwa inilah jodoh yang dikirimkan Allah untuk dirinya. Laki-laki lulusan pesantren yang sederhana. Tidak larut dalam hiruk-pikuk hedonisme dan kehidupan modern yang cenderung melarutkan identitas seorang muslim pada umumnya.
Kini, hatinya tak lagi kosong. Ada wajah yang selalu terbayang dalam lamunan. Ada senyum yang selalu menyirami sejuk hati yang selama ini kering kerontang. Cintanya tumbuh subur dalam sanubari terdalamnya. Harinya penuh canda, bertabur bunga. Bahagia menyelimuti bingkai seluruh aktifitasnya. Mentari paginya selalu cerah. Cahaya cintanya merekah. Terlihat warna merah merekah di setiap senyum kembangnya membuncah.
Allah menyiapkan kehendak yang lain. Dia benar-benar menguji prinsip hambanya yang beriman. Semakin pohon iman seorang hamba tertancap mengakar kuat, semakin ia akan diterpa dengan berbagai angin badai ujian meluluhlantakkan. Orang tua laki-laki Zahra tidak setuju!
Mendengar itu, langit seakan runtuh, menimpa jasad sang gadis yang ringkih. Langit hatinya mendung kembali. Warna awan harapan menjadi kelabu. Matahari hanya muncul sebentar dalam hidupnya. Malu-malu, kemudian hilang lagi, bersembunyi. Saat itu, Zahra merasa sudah mati. Tak ada kehidupan dalam kembang-kempis nafasnya.
Dadanya sempit terhimpit. Dia hanya bisa menyerahkan semua kepada yang memegang kendali semua makhluk. Ratapan-ratapan kecil selalu saja menghiasi lamunannya. Namun, dia masih punya banyak sahabat, yang dulu sama-sama aktif di organisasi saat menimba ilmu di kampus. Mereka menjadi tempat tumpahan rasa dan asanya saat berkunjung membesuk Zahra atau sekedar berbagi rasa lewat dunia maya.
Hari–harinya kini, ia gunakan untuk bekerja. Mengajar dan melakukan yang ia bisa. Berdoa dan meminta dikuatkan punggungnya untuk berjalan di atas ujian yang terus datang tak kenal henti. Ujian yang terus menarik-narik tubuhnya yang sudah mulai lelah tak bertenaga. Memintanya berlari dan menyeret-nyeret.
Tahun baru, ya sekarang tahun telah berganti. Bertambah lagi satu tahun usianya menanti. Tiada sama sekali yang berganti, malah semakin lama, semakin bertambah panjang ia melajang. Kenapa selalu saja ada ujian sebagai penghalang saat ia akan melangkahkan kaki?
Dalam penantian, Zahra mulai menguatkan kembali pijakan. Menggali memperdalam iman dalam diri. Menancapkannya kuat-kuat dalam sanubari. Ia baca kisah Rithah seorang perawan dari Bani Ma’zhum yang patah hati saat ditinggal lari suami. Ia tak mau seperti Rithah yang tak punya iman dalam menentukan jodoh dan pilihan. Keluhan Rithah terngiang saat dia menanti jodoh tak kunjung datang.
“Oh ibu, usiaku sudah lanjut, namun belum datang seorang pemuda pun meminangku. Apakah aku akan menjadi perawan seumur hidup?”.
Kisahnya tragis. Di ujung penantiannya yang panjang, berakhir dengan penghianatan seorang suami yang tak berakhlak membawa lari harta kekayaan.
Kini, Zahra segera sadar. Allah punya kehendak yang lain. Dia telah menyiapkan jodoh terbaiknya di belakang nanti. Ia tak boleh patah hati. Ia menghibur diri dengan doa yang ditulis oleh Khairil Anwar dalam bait-bait puisi;
Tuhanku
Dalam termangu, aku masih menyebut nama-Mu
Walau susah sungguh
Mengingat kau penuh seluruh.
Tuhanku
Aku hilang bentuk
Remuk.
Tuhanku
Di pintu-Mu aku mengetuk
Aku tidak bisa berpaling.