Sekali Memaafkan, Seribu Kali Menutup Kebencian
BUKAN hal mudah memaafkan orang lain. Apalagi ketika kita berhadapan dengan pembenci setia. Kebencian telah mengideologi pada orang itu.
Tak sedikit kita temukan orang yang kebenciannya terfokus kepada satu titik tertentu, apakah person, komunitas, agama dan lain sebagainya. Orang seperti ini telah menanam kebencian dalam-dalam sedalam dasar laut hatinya.
Dalam peradaban kita lihat contohnya bagaimana Barat menanam kebenciannya kepada Islam. Apa yang telah diperbuat gara-gara kebencian itu, kampanye hitam tentang Islam bertebaran di mana-mana yang tak pernah absen ke hadapan kita hingga detik ini.
Dalam sejarah sekte, saking bencinya terhadap sahabat-sahabat nabi, misalnya, kalangan Syiah berani menkonsep ideologi kebencian dan dituangkan dalam benak-benak pengikutnya hingga ke hari ini. Jamaah ke jamaah lain pun tak pernah sepi dari saling membenci. Pribadi ke pribadi lain bahkan menghias kita hari ke hari.
Bagaimana kita melepaskan kebencian ini? Tentu saja kita meniru yang pantas ditiru. Baginda Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wassallam yang paling layak menjadi profil pribadi tangguh pemaaf ini.
Rasa benci tak pernah hinggap pada jiwa bersih beliau. Biar pun dicaci maki, dilempar kotoran hewan, bahkan batu-batu ‘mendarahi’ kepala beliau, hanya maaf yang beliau balas sembari berdoa dan mengharap hidayah pada mereka atau keturunan mereka kelak. Hatta kepada pembunuh pamannya, Hamzah, si hitam Wahsyi pun dimaafkan, walau beliau enggan melihatnya takut teringat peristiwa keji yang terjadi.
Saya melihat, kemampuan memaafkan ini terpancar dari bagian manusia yang terdalam. Di sana ada hati. Sejauh mana hati itu mencapai kebersihannya maka sejauh itu kemampuan memaafkannya. Hati, sebagaimana Imam al-Ghazali juga menyebutnya ruh, menempati posisi terpenting dalam eksistensi diri manusia. Karena sebagaimana diketahui, menurut pandangan Islam, pada eksistensi manusia terdapat hirarki dari yang terendah hingga yang tertinggi: jasad, akal, ruh.
Hirarki di atas mencerminkan derajat pengetahuan manusia. Pada derajat terendah (jasad), pengetahuan manusia terkait dengan fisik. Pengetahuan di dasar ini manusia modern menyebutnya dengan sains empiris. Orang yang banyak tahu tentang sains ini belum cukup mampu mengelola jiwanya. Menjadi pemaaf sebagaiaman dicontohkan baginda Nabi rasanya mustahil.
Demikian halnya dengan yang akal logikanya encer bak air yang mudah meresap keseluruh celah-celah terkecil sekalipun, IQ yang di atas rata-rata, mental khayal yang tinggi, kemampuan berargumen yang tak terpatahkan, belum tentu mampu menjadi pemaaf seperti yang dicontohkan baginda nabi tadi.
Letaknya bukan pada ilmu empiris atas logis. Namun ia ada di dasar sanubari terdalam. Ia adalah ruh dengan makna spiritualnya.
Ia adalah hati dengan segala empatinya. Ia adalah ‘aql dengan segala kemampuan melihat hak dan batilnya. Ia adalah jiwa dengan segala kebersihannya. Sebab ia asalnya fitrah yang punya kecenderungan baik, suci dan murni.
Oleh karenanya, sejauh manusia punya ilmu di tingkatan sanubari ini, maka sejauh itu pula kemampuan memaafkannya. Sedangkal mana pengetahuannya, maka sedangkal itu pula kemampuan memaafkannya. Maka jangan heran kalau para Nabi, sahabat, bahkan para ulam salafussalih sangat mudah memaafkan kesalahan orang lain. Itu semua karena kedalaman ilmu, kebersihan jiwa, pancaran kebersihan sanubari mereka.
Ada pepatah Turki (Atasozu) mengatakan “Bir kutuphane bin hapishane kapattir”. Ia bermaksud, jika satu perpustakaan (profesional) dibuka, maka sama dengan menutup seribu penjara.
Artinya, membuka akses ilmu kepada masyarakat seluas-lausnya dengan satu perpustakaan, maka sama artinya dengan membebaskan beribu kerangkeng kejahilan mereka sehingga penjahat sirna.
Termasuk juga pengetahuan di semua hirarki di atas. Tidak semestinya kita mencerdaskan orang dari sisi sain empiris belaka, atau cuma membuat orang pinter berargumen memukau saja, itu tidak cukup. Masyarakat harus disempurnakan kemampuannya dengan mengembalikan mereka kepada fitrah sebenarnya.
Memberi akses ilmu yang sempurna sama artinya kita juga mengajarkan mereka menjadi pemaaf sejati. Mengaca kepada pepatah di atas, maka bisa kita katakan, mencetak seorang insan pemaaf (sejati) berarti telah menutup (menusnahkan) seribu pembenci. Semoga!*