Shalahudin Al-Ayyubi Sang Pembebas Masjidil Aqsha (Bagian 2)

Pasukan Muslim dibawah pimpinan Shalahuddin al-Ayyubi dalam film Kingdom of Heaven

 PADA tahun 1187, Shalahuddin mengerahkan pasukannya dalam jumlah besar dan menghadapi pasukan Frank dalam Pertempuran Hattin. Kaum Muslimin memenangkan pertempuran itu dengan gemilang. Banyak tentara salib yang mati terbunuh, dan banyak pula yang menjadi tawanan dan budak sehingga harga budak di pasaran jatuh dan ada Muslim yang menukar budak Frank yang dimilikinya dengan sepasang sepatu. Raja Yerusalem, Guy of Lusignan, dan banyak pembesar Frank lainnya menjadi tawanan Muslim. Dalam waktu beberapa bulan saja, kota al-Quds dan hampir seluruh wilayah Frank di Suriah-Palestina lainnya jatuh ke tangan Shalahuddin.

Shalahuddin bukan hanya sukses sebagai seorang penakluk dan pemimpin militer, tetapi ia juga mampu menampilkan sifat kasih sayang terhadap musuh-musuhnya, sifat yang ia teladani dari penghulu para Nabi yang rahmatan lil alamin. Ia tidak membalas pembantaian yang pernah dilakukan oleh tentara salib di al-Quds 88 tahun sebelumnya dan mengijinkan mereka meninggalkan kota itu dengan membayar tebusan. Hal ini membuat seorang penulis Barat, Stanley Lane-Poole mengatakan, “Sekiranya pengambilalihan Yerusalem merupakan satu-satunya fakta yang diketahui tentang Shalahuddin, maka itu sudah cukup untuk membuktikan dirinya sebagai penakluk yang paling ksatria dan paling bermurah hati pada zamannya, dan barangkali pada zaman selainnya.”

Pada lima tahun berikutnya, Shalahuddin harus menghadapi gelombang Perang Salib III (1189-1192), yang terbesar dari keseluruhan perang salib dan melibatkan tiga raja terpenting di Eropa Barat, terutama Richard the Lionheart. Itu menjadi masa-masa yang paling berat dalam hidup dan perjuangan Shalahuddin. Sultan yang berhati lembut dan mudah meneteskan air mata itu memimpin langsung peperangan menghadapi tentara salib. Ia menggilir dan mengirim sebagian tentaranya pulang pada musim dingin agar mereka beristirahat dan memerintahkan mereka kembali beberapa bulan kemudian, sementara ia sendiri dan pasukan intinya tidak pernah meninggalkan medan jihad selama empat tahun berturut-turut.

Walaupun tentara salib berhasil menguasai kembali beberapa wilayah pantai, tetapi mereka tak pernah berhasil mencapai al-Quds. Richard dan tentara salib yang bersamanya pada akhirnya menyetujui kesepakatan damai dan tentara salib pun pulang kembali ke Eropa tanpa meraih cita-cita mereka untuk merebut al-Quds. Sebagian besar wilayah Suriah-Palestina juga tetap menjadi wilayah Muslim.

Seolah ditakdirkan menghabiskan sebagian besar umurnya di medan jihad, Shalahuddin wafat pada tahun 1193, hanya sekitar enam bulan setelah berakhirnya Perang Salib III. Kematiannya merupakan sebuah kehilangan yang besar bagi dunia Islam.

Seorang ulama menulis tentang wafatnya sang Sultan, “Saya belum pernah melihat penguasa lain yang kematiannya ditangisi orang-orang seperti itu, karena ia dicintai oleh orang-orang yang baik dan yang jahat, oleh kaum Muslimin sebagaimana juga oleh orang-orang kafir.” Semoga Allah merahmati beliau dan semoga kita yang hidup pada hari ini bisa mengambil pelajaran darinya.*/Kuala Lumpur, 12 Rabiul Awwal 1435 (14 Januari 2014)

Penulis adalah ahli sejarah, penulis buku “Nuruddin Zanki dan Perang Salib” dan “Shalahuddin Al Ayyubi dan Perang Salib III”. Tulisan ini sudah pernah dipublikasikan dalam Bulletin Busyra milik Rabithah Alawiyah

SUMBER:  http://www.hidayatullah.com/kajian/sejarah/read/2014/04/17/20105/shalahuddin-sang-pembebas-al-quds-2.html#.U08_tvBD-Ww

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.