Air Musta’mal (Tata Cara Thaharah, Bersuci Dari Najis Dan Hadas) Bag 2
Air musta’mal (air bekas pakai) terbagi dua, yakni air musta’mal untuk menghilangkan hadts dan air musta’mal untuk menghilangkan najis. Air musta’mal untuk menghilangkan hadats -seperti wudlu atau mandi besar-tetap suci, tidak menjadi najis, sebagaimana diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah:
“Bahwasanya Rasulullah saw. datang menjenguk aku ketika aku sakit. Kemudian beliau wudlu dan menuangkan air bekas wudlanya kepadaku”.
Maka berdasarkan hadits ini, air musta’mal tetap suci, namun demikian tidak mensucikan. sehingga tidak boleh dipergunakan untuk menghilangkan hadats. Dalam sebuah riwayat dari Abu Hurairah, sesungguhnya Nabi saw. bersabda:
“ Sungguh, hendaknya salah seorang di antara kalian tidak sampai mandi (bersuci) dalam air menggenang sedang ia junub. Kemudian mereka (para sahabat) bertanya: Wahai Abu Hurairah, bagaimana beliau saw berbuat? Dia menjawab: Beliau mengaisnya”.
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dikemukakan:
“Sesungguhnya Nabi saw. menyapu kepalanya dengan air bukan air sisa mencuci kedua tangannya”.
Selanjutnya At-Tirmidzi meriwayatkan:
“Sesungguhnya Nabi saw. mengambil air baru untuk menyapu kepalanya”.
Begitu pula At-Tarmidzi dan Ath-Thabrani mengemukakan hadits yang diriwayatkan dari Bin Jariah dengan ungkapan:
“Ambillah untuk (menyapu) kepala, air baru”.
Larangan Rasulullah saw. bersuci dalam air menggenang adalah merupakan dalil, sesungguhnya air musta’mal telah keluar dari statusnya sebagai sarana untuk bersuci, sebab larangan di sini semata-mata mandi, begitu juga hukum wudlu sama dengan hukum mandi. Kemudian daripada itu, sesungguhnya perintah beliau agar mengambil air baru untuk menyapu kepala merupakan dalil bahwa air pertama adalah air musta’mal yang tidak lagi bisa dipergunakan untuk bersuci. Namun ini semua dengan catatan, bila ternyata kadar air tersebut kurang dari dua kulah.
Sedangkan ketika kadar air tersebut mencapai dua kulah atau lebih, maka hilanglah statusnya sebagai air musta’mal karena kadar air yang mencapai dua kulah atau lebih tidak tercemar , sehingga untuk tidak dikategorikan musta’mal bagi air tersebut lebih utama. Tentang air musta’mal yang telah dipergunakan untuk menghilangkan najis, maka hendaknya diperhatikan: Bila air itu terpisah dari dari tempatnya dan berubah, maka air ini menjadi najis. Sedangkan bilamana air terpisah dari tempatnya dan tidak berubah. Maka hendaknya diperhatikan: Jika air tersebut terpisah dari tempatnya najis, najis pulalah air itu dan jika air tersebut terpisah namun tempatnya suci, maka air ini tetap suci.
Air Sisa Makanan Dan Minuman Binatang
Sisa makanan dan minuman binatang adalah suci. Ketetapan ini bersifat umum pada semua binatang, baik sisa makanan dan minuman kucing maupun binatang yang lain. Semua binatang: kuda, keledai, binatang buas, tikus, ular, dan seluruh binatang yang memakan dagingnya atau tidak, sisa makanannya dan minumannya adalah suci. Begitu pula peluh dan air liurnya dengan tidak makruh. Dalam hadits yang diriwayatkan dari Jabir dikemukakan:
“Sesungguhnya Nabi saw. pernah ditanya: Apakah kami boleh wudlu dengan air sisa keledai? Beliau menjawab: Ya, begitu juga dengan (air) sisa binatang buas”.
Namun dikecualikan dari semua bintang tersebut, anjing dan babi, bahwa keduanya najis.
Sabda Rasulullah saw. :
“Bilamana anjing menjilat perkakas salah seorang di antara kalian, maka cucilah perkakas itu tujuh laki”.
Dalam sebuah riwayat dikemukakan pula:
“Maka tumpahkanlah, kemudian cucilah tujuh kali”.
Perintah agar ditumpahkan dan dicuci adalah sebagai dalil, bahwa anjing adalah binatang najis.
Pada dasarnya air itu adalah suci dan begitu juga sisa makanan dan minuman binatang. Dengan demikian, tidak bisa diterima bahwa suatu air dinyatakan najis karena oleh seseorang dianggap najis. Akan tetapi tidak boleh tidak yang bersangkutan harus benar-benar terlebih dahulu mengetahui; najis apa yang telah jatuh ke dalam air tersebut? Bilamana dinyatakan, bahwa air ini terkena najis maka berita itu jangan begitu saja diterima, sehingga tampak jelas; najis apakah yang telah jatuh ke dalamnya.
Langkah ini harus ditempuh, karena bisa jadi orang yang memberitakan air itu najis disebabkan ia melihat binatang buas menjilatnya. Barulah berita diterima, jika tampak jelas bahwa benda najis benar-benar yakin terhadap kesucian suatu air atau meragukannya, maka ia diperbolehkan wudlu dengannya karena pada dasarnya air itu dianggap suci.
Bilamana ia benar-benar yakin tentang najisnya air itu atau meragukan kesuciannya, maka dia tidak diperbolehkan wudlu dengannya karena pada dasarnya air itu dianggap najis. Kemudian jika aia tidak yakin atas ketidaksucian dan ketidaknajisan suatu air, maka berwudlulah dengannya karena pada dasarnya air itu dianggap suci. SELANJUTNYA