Arti Penting Sebuah Tabayyun

Arti Penting Sebuah Tabayyun

Oleh. Nur Ariyanto.

Betapa Allah telah menjadikan umat Islam sebagai umat yang utama, yang diperintahkan untuk menyeru kepada yang ma’ruf dan menjauhi yang munkar. Allah juga telah menyatakan bahwa agama ini adalah agama yang satu dan kita diperintahkan untuk bertakwa kepada-Nya,

“Dan sungguh, (agama tauhid) ini adalah agama kamu, agama yang satu dan Aku adalah tuhan-Mu, maka bertakwalah.” (Al-Mukminun: 52)

Persatuan umat Islam dalam ikatan tauhid sangat diperlukan untuk meraih derajat umat yang utama dan mulia baik dalam kehidupan dunia maupun akhirat kelak. Dengan persatuan itulah umat ini mempunyai sebuah kekuatan untuk melaju dan menghalau berbagai badai yang menghadang. Hingga datangnya pertolongan Allah dan kemenangan yang gemilang sebagaimana telah dijanjikan oleh-Nya.
Namun realita yang ada sekarang ini sangat jauh dari yang diharapakan, persatuan umat dalam bendera tauhid telah tercerabut dengan munculnya berbagai firqoh yang berkembang. Masing-masing firqoh tersebut merasa benar dan bangga dengan apa yang ada pada dirinya sehingga terkadang menimbulkan pertikaian dalam intern umat Islam itu sendiri. Perbedaan yang seharusnya menjadi anugrah justru berbuah petaka. Hal itu merupakan realitas sejarah yang tidak dapat dipungkiri.
Diantara akar permasalahan yang menjadi penyebab perpecahan adalah adanya kecurigaan dan prasangka buruk. Hal ini tidak terbatas pada level kelompok besar umat Islam saja tetapi terkadang juga menyentuh komponen terkecil umat yaitu individu-individu muslim. Berbagai kecurigaan dan prasangka buruk itu terkadang tidak berdasar dan tidak terbukti kebenaranya. Salah satu penyebabnya adalah karena terlalu cepat menyimpulkan berita yang sampai ditelinga.tanpa adanya sebuah tabayyun (klarifikasi) terlebih dahulu. Padahal Allah SWT telah mangajari kita bagaimana menyikapi sebuah berita.

“Wahai orang-orang yang beriman jika seseorang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenaranya,agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena suatu kebodohan (kecerobohan), yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu” (Al-hujurat:6)

Betapa sering kita menyaksikan seorang Muslim menjatuhkan petaka pada saudaranya sendiri karena kecerobohannya. Terkadang mereka berbuat tidak adil dalam memutuskan sebuah perkara hanya dengan pertimbangan prasangka dan informasi dari satu sumber yang belum tentu kebenaranya. Hal itu tentu saja sangat bertentangan dengan firman Allah,

“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan.” (An-Nahl:90)

Lebih jauh mereka seringkali menceburkan diri mereka dalam kesalahan dengan berprasangka dan mencari-cari kesalahan orang lain dan mempergunjingkanya. Bahkan aib yang ada pada saudaranya terkadang menjadi komoditas yang begitu indah untuk dibicarakan dan begitu menarik untuk didiskusikan. Hal itu dilakukan bukan untuk membantu mencarikan sebuah jalan keluar tetapi hanya sebagai sebuah olok-olok. Mereka tidak memperhatikan firman Allah,

“Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa, dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain, dan janganlah kamu menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh Allah Maha Penerima tobat, Maha penyayang.” (Al-Hujurat:12)

Begitu besar perhatian Rasulullah terhadap hal ini sehingga sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Muslim beliau bersabda,
“Jauhilah kamu dari menyangka-nyangka, maka sesungguhnya menyangka-nyangka itu adalah satu perkataan dusta. Dan janganlah kamu memata-matai orang lain, mendengarkan keadaan mereka, mencari kesalahan orang lain, saling mendengki, benci-membenci, dan saling berpaling antara yang satu dengan yang lain. Tetapi jadilah kamu hamba allah yang senang persaudaraan.” (HR. Muslim)

Beliau juga bersabda,
“Tidak akan masuk surga orang yang memutuskan diri terhadap familinya (sahabatnya).” (HR. Muslim)

Sejarah telah menyaksikan begitu besar dampak yang ditimbulkan dari adanya prasangka buruk terhadap saudara, suka memata-matai, mencari kesalahan, saling membenci, dan saling berpaling dalam level makro maupun mikro umat Islam. Hal itu tidak terlepas dari upaya syetan dalam menghalangi tegaknya kalimat Allah dengan menghembuskan kebencian dan salah paham didalam hati pribadi-pribadi muslim. Yang terjadi kemudian tercerai berainya ikatan persaudaraan ummat.
Berkaca dari semua itu hendaknya setiap muslim kembali kepada apa yang telah diajarkan Allah SWT dalam surat Al-Hujurat Ayat 6 dalam menyikapi setiap informasi yang sampai kepada kita dengan cara bertabayyun. Disamping itu kita juga harus menyampaikan sebuah informasi yang kita dengar secara benar sebagaimana sabda Rasulullah,

“Semoga Allah mencerahkan wajah orang yang mendengarkan sesuatu dari kami, kemudian dia menyampaikan (kepada yang lain) sebagaimana yang dia dengar. Bisa jadi orang yang diberi kabar darinya lebih paham dari dia (yang mendengar langsung).” ( HR. At-Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah, Ahmad dan lainya)

Semua itu agar kita tidak mendzalimi dan berbuat tidak adil kepada saudara sendiri hanya karena kebodohan dan kecerobohan kita. Dari situ pulalah kebencian dan permusuhan dapat disingkirkan sehimgga kebersamaan yang berbuah persatuan umat dalam barisan yang kokoh dapat diwujudkan, dan semerbak harum kesturi kebesaran Islam dapat segera mengalir kembali dalam helaan nafas kita. (ar)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.