Bahaya Saling Mengkafirkan Diantara Sesama Muslim
Mukadimah
Hukum dalam menentukan status keislaman seseorang bergantung kepada tahap atau jenis kesesatan yang dilakukan oleh individu tersebut.
Jenis Kesesatan
Menurut para ulama, jenis kesesatan boleh dibagikan menjadi dua kategori:
1. Kesesatan yang mengkafirkan (bid‘ah mukaffirah)
Yaitu mengingkari sesuatu hukum syara’ yang telah disepakati ijmak, telah mutawatir (khabarnya) serta sewajibnya dimaklumi dalam agama (ma‘lum min ad din bi ad darurah) atau orang yang meyakini sebaliknya.
2. Kesesatan yang tidak mengkafirkan (bid‘ah ghairu mukaffirah atau bid‘ah mufassiqah)
Yaitu kesesatan yang tidak menyebabkan kekafiran tetapi ia dihukumi sebagai fasiq atau pelaku dosa. Kesesatan jenis ini tidak sampai merusakkan asas keimanan (ushul al iman), tidak membatalkan sesuatu hukum yang mutawatir dan sesuatu hukum yang sewajibnya dimaklumi dalam agama ((ma‘lum min ad din bi ad darurah). Tetapi, ajaran atau amalan ini tetap dikategorikan sebagai sesat dan menyimpang daripada kebenaran (al haq). (Syarh Nukhbat al-Fikr fi Mustalah Ahl al-Atsar, Ibn Hajar al-Asqalani, hlm. 101)
Rumusan
Berdasarkan kategori ini, jika kesesatan yang dilakukan adalah termasuk dalam jenis bid‘ah ghayru mukaffirah, maka tidak syak lagi bahwa dia kekal sebagai seorang Islam. Namun, sekiranya kesesatan itu menyentuh persoalan bid‘ah mukaffirah, maka menjadi tanggungjawab umat Islam agar berhati-hati dan benar-benar melakukan penelitian sebelum menjatuhkan sebarang hukuman.
Bagaimana pengkafiran itu dilakukan?
Para ulama menggariskan dua kaedah dalam mengtakfir:
1. Takfir Mutlak
Mengatakan sesuatu perbuatan itu membawa kekafiran tanpa memaksudkan orang tertentu. Pernyataan seumpama ini difokuskan kepada perbuatan atau ajaran atau pembawaannya, bukan orang secara khusus.
2. Takfir Mu‘ayyan
Yaitu menyatakan bahawa si polan bin si polan, iaitu dengan menyebut nama orang tertentu telah kafir.
Penjelasan
Menurut Dr. Yusuf Al Qaradhawi, takfir perlu dibedakan dengan dua cara yaitu takfir naw‘ (jenis) dan takfir shakhs mu‘ayyan (pribadi). Beliau menyebut, “Hendaklah diberikan perhatian pada apa yang telah diputuskan oleh para ulama muhaqqiqun mengenai wajibnya dibedakan antara pribadi dan jenis dalam isu takfir (mengkafirkan).”
“Adapun apabila perkara ini berkait dengan pribadi seseorang, yang disandarkan kepada mereka itu dan ini, maka wajiblah diambil waktu untuk dibuat kepastian dan ketetapan mengenai hakikat sebenarnya pendiriannya. Ini dengan cara menyoal atau berbincang dengannya sehingga ditegakkan hujah, tiada lagi syubhat dan juga tiada lagi keuzuran untuknya”. (Fatawa Mu‘asirah, Dr. Yusuf Al Qaradhawi, jil. 1, hlm. 126)
Karena itu, kita dapati para salaf mengkafirkan firqah secara mutlak seperti firqah Jahmiyah dan Rafidhah. Tetapi, mereka tidak serta-merta mengkafirkan setiap anggota firqah tersebut, kecuali hanya beberapa orang dari mereka seperti Ja‘d bin Dirham, Hallaaj, dan Hafsh al-Fard (yang pengkafirannya masih diperselisihkan). (Majmu‘ Fatawa, jil. 23, hlm. 349-350)
Antara kaedah penting yang menjadi keistimewaan Ahlus Sunnah wal Jamaah berbanding golongan lain adalah mereka membedakan antara sesuatu pendapat dengan pelakunya. Sesuatu pendapat adakalanya berupa kekufuran, tetapi pelakunya tidak dihukumkan kafir kecuali setelah diselidik.
Apakah syarat-syarat yang ditetapkan sebelum sesorang itu dihukum kafir?
Para ulama Islam telah menetapkan syarat-syarat tertentu sebelum menghukum seseorang itu keluar dari Islam atau murtad. Syarat-syaratnya adalah seperti berikut:
Hendaklah pendapat atau amalan itu secara jelas menunjukkan kekufuran yang dilakukan berdasarkan pilihannya dan bukan kerana terpaksa.
Hendaklah dia terus berpegang dengan pendapat atau amalan kufur tersebut dan ketika dijelaskan kepadanya (kebenaran), dia tetap berpegang kepada kekufuran.
Hendaklah sudah ditegakkan hujah kepadanya dan dia telah jelas terhadap perkara tersebut. (Majmu‘ Fatawa, jil. 12, hlm. 500-501)
Tambahan
Di samping itu, seseorang itu terhalang daripada hukuman murtad atau terkeluar Islam sekiranya ia berada dalam situasi berikut:
Baru memeluk agama Islam.
Hidup di tempat yang jauh. Termasuk dalam kelompok ini ialah orang yang tidak mempunyai ulama selain ulama bid’ah yang mereka minta berfatwa dan mereka ikuti.
Hilang akal karena gila atau karena yang lain.
Belum sampai kepadanya nash-nahs darial-Quran dan sunnah, atau telah sampai (nash-nash tersebut) tetapi belum jelas pemahaman atas nash-nash tersebut.
Nash-nash tersebut telah sampai kepadanya, dia telah memahaminya dengan jelas, akan tetapi dijelaskan kepadanya sesuatu yang bertentangan dengan nash-nash tersebut (baik yang berasal daripada akal fikiran maupun perasaan) yang mendorongnya untuk mentakwil, walaupun dia mungkin membuat kesalahan. Termasuk kelompok ini adalah mujtahid (ahli ijtihad) yang salah dalam ijtihadnya. Allah akan mengampuni kesalahan golongan ini dan memberinya pahala atas ijtihadnya itu. (Majmu‘ Fatawa, jil. 3, hlm. 231 dan jil. 23, hlm. 345-346)
Kesimpulannya, tidak boleh menghukum seseorang itu murtad kecuali setelah memenuhi syarat-syarat tersebut dan tidak terdapat sebarang halangan. Apa yang diriwayatkan dari salaf tentang pemutlakan kufur dan laknat, ia tetap berada pada kemutlakan dan keumumannya. Oleh sebab itu, seseorang Muslim tidak boleh dihukum kafir sewenang-wenangnya, melainkan wajib disertakan dalil dan bukti.