Batu Berkarat

Oleh. Azis Nangin 

Dulu ia adalah anak yang ahli ibadah. Itulah ungkapan yang sering keluar dari mulut ayah. Aku terharu ingin menangis mendengar perkataan ayah tersebut. Kenapa kakak yang selama ini aku cintai dan sayangi kini telah berubah menjadi seorang penjahat dan penjudi yang tidak berprikemanusiaan. Kadang ia mengeluarkan kata makian buat ayah. Anak dan istrinya ditinggal menjadi pelacur dan pengamen jalanan. Kasihan mereka.

Sepuluh tahun yang lalu, kami masih saling mengasihi dan saling menasehati. Kami tinggal dalam keluarga yang sederhana namun bahagia. Senyum dan sapa ada setiap hari. Ayah juga sering memberi nasihat. Mukanya selalu berseri-seri, tidak cemberut apalagi sampai marah karena kesalahan yang tidak pernah luput. Ibu juga selalu menjadi pemberi inspirasi buat aku juga kakak dan keluarganya. Kelembutannya sebagai seorang ibu tidak bisa aku lupakan.

Keluarga kakak juga berada dalam ketentraman. Mereka hidup dalam keluarga yang sakinah. Kakak juga menafkahi anak dan istrinya tanpa kekurangan baik lahir maupun batin. Mereka hidup bahagia dan berkecukupan. Ketika Lisa, anak tunggalnya, masih berumur empat tahun, disekolahkan di TK termahal di kota ini. Kakak ipar yang tidak memiliki keterampilan dikursuskan menjadi seorang tukang salon. Tidak jarang aku juga mendapat uang saku dari kakak buat membeli keperluan sekolahku.

Selama aku kuliah di Amerika aku selalu berdoa agar amal ibadah kami diterima Allah dan dijadikan menjadi hambaNya yang bertakwa. Tapi kelihatnnya doaku tersebut belum dikabulkan. Namun satu yang aku sesalkan, aku tidak pernah ingin tahu keadaan keluarga di tanah air. termasuk juga kabar ayah. Aku terlalu sibuk memikirkan kuliah dan masa depanku, juga pacarku yang telah membuat hidupku berantakan. Keindahan dunia telah membuat aku terlena menjalani hidup. Betapa bodoh aku.

Aku merasa gelar doktor yang aku bawa setelah belajar di laur negeri tidak berguna. Aku terlalu egois, hanya memikirkan kepentingan kuliah dan karirku. Tidak pernah memikirkan keadaan keluarga. Tidak pernah ada surat maupun telepon. Aku terlalu disibukkan dengan aktivitasku. Aku merasa salah dan berdosa. 

Sekarang hatiku hancur melihat keadaan keluarga. Ayah yang sudah renta kini sudah pikun. Hanya kata-kata kosong yang selalu keluar dari kedua bibirnya yang sudah menghitam. Ibu jadi gelandangan. Tidurnya kadang tidak jelas entah di mana. Kakak jadi penjahat dan penjudi berat. Juga tidak jarang tidur dengan wanita lain. Kakak ipar ditinggalkan menjadi seorang pelacur di daerah lokalisasi PSK di pinggir kota. Lisa dibiarkan menjadi seorang pengamen jalanan. Penampilannya juga tidak karuan masih berusia belasan tahun namun sudah berpenampilan seperti seorang preman.

Sekarang ayah sudah tidak mengenalku lagi. Aku merasa hidup ini hampa. Punya ayah tapi tidak memiliki. Aku tidak dapat merasakan belaian kasih sayangnya yang selama ini aku rindukan. Sudah lama aku ingin sekali berada di pelukan seorang ayah dengan hangatnya rasa cinta dan belaian kasih sayang. Tapi impian itu sekarang sirna. Kalah dengan keadaan yang memaksaku untuk tidak bisa mendapatkannya. Ia suka mengurung diri di kamar. Tidak mau keluar. Ayah hanya mau tersenyum sedikit ketika Bu Sulis (Bu De) membawa sarapan buat ayah.

“Ia dulu ahli ibadah”, kalimat itu lagi yang dilontarkan ayah. Mungkin ayah menyesalkan tingakah laku kakak selama ini. Dulu ia membangga-banggakan kakak yang rajin dalam beribadah serta sabar dalam menghadapi cobaan. Rasa syukur juga tidak pernah pudar ketika kakak mendapat rizki. Tapi sekarang keadaan itu berbalik 180 derajat. Kakak bejat dan lebih hina dari pada binatang. 

Masyarakat yang tinggal di sekitar rumah juga membenci kakak. Kakak selalu menjahati mereka. Tidak segan-segan kakak juga sering mengabil barang milik mereka. Akhirnya keluargaku yang jadi imbasnya, termasuk aku. Mereka ikut memusuhiku dan melihat aku seperti setan. Tidak ada kata sapa. Semua diam seribu bahasa. Setiap kali aku menyapa mereka namun mereka malah meludah di depanku, seakan jijik melihatku. Aku bingung apa sebenarnya yang terjadi. Sungguh aku tidak pernah membayangkan hal ini sebelumnya. Dunia rasanya terbalik. Kepalaku rasanya seperti diinjak-injak. Aku tidak tahu harus berkata apa pada mereka.

“Braakk..”! Tiba-tiba ada yang menendang pintu rumah. Aku terkejut.

“Ha…ha…ha……Aku menang…..Sekarng aku bisa melakukan apapun yang aku inginkan”, Kudengar  suara kakak yang lantang.

Kata-kata itu kudengar berulang-ulang. Aku lansung keluar dari kamar setelah bingung memikirkan keadaan. Kulihat ia mengipas-ngipaskan uang pecahan Rp. 50.000 yang ada di tangannya. Ia juga digandeng oleh dua orang wanita. Aku langsung mendatanginya.

Ternyata kedua wanita itu adalah pelacur. Yang membuat aku lebih kaget lagi salah satu dari kedua wanita tuna susila tersbut adalah teman dekatku ketika aku masih duduk di bangku SMP, Shinta namanya. Dulu ia adalah anak yang rajin dan sholehah. Ia juga sering menjadi juara kelas. Teman-temanku juga senang bergaul dengan Shinta. Dulu ayahnya seorang ustadz yang dihormati di desa kami. Namun sejak ayahnya meninggal, ia menjalani hidup penuh dengan kesuraman. Tidak ada yang peduli akan hidupnya, termasuk ibunya yang sekarang bekerja sebagai TKI di luar negeri.

Aku tidak dapat menahan emosi. Tanpa ragu kutampar kedua pelacur tersebut. Aku tidak peduli siapa mereka. Tapi tiba-tiba Shinta balik menampar pipiku. Ia menatap mataku. Aku tidak kuat memandang matanya yang bersinar. Ia menangis dan angkat kaki dari hadapanku. Aku merasakan ada yang aneh dengan Shinta. Memang dulu aku pernah menaruh simpati pada Shinta, tapi setelah aku berada di perguruan tinggi aku lupa semuanya. Aku menyesal tidak pernah memberinya kabar tentangku.

Aku juga menampar kakak. “Kakak kenapa lakukan ini? Ayah sudah renta dan pikun. Kakak seharusnya merawatnya. Bukan menyia-nyiakan dan membiarkannya begitu saja. Kakak ipar juga kakak biarkan jadi pelacur. Lisa mengamen di jalalanan. Di mana tanggung jawab kakak sebagai seorang kepala rumah tangga? Kakak seharusnya menjaga mereka! Bukan menelantarkan mereka”. Aku marah pada kakak. Namun ia malah meludahi mukaku dan berlalu begitu saja. Hatiku menjadi semakin hancur. Entah apa yang harus aku perbuat. Aku menangis, ingin menjerit. Bagamana bisa ini semua bisa terjadi?

Belum lagi ibu. Ia makan dari sisa-sisa makanan. Kadang ia harus mengemis ke rumah-rumah orang demi mengganjal perut yang besarnya hanya sejengkal. Kadang-kadang ia harus mencari makanan dari tong sampah di sekitar warung-warung nasi. Acapkali ibu memakan makanan yang sudah basi. Pakainya juga kotor, kumal, bau, compang-camping, morat-marit. Tak ada hati yang sudi melihatnya. 

Aku sedih sekali mendengar kisah tentang ibu. Kasih sayangnya yang lembut dan hangat tidak pernah lagi kurasakan seperti dahulu kala. Surga yang kata para ustadz berada di bawah telapak kakinya tidak lagi kulihat. Aku ingin mengadu kepada ibu. Ingin aku luapkan jeritan hati ini. Tapi apa boleh dikata, sejak aku kembali dari Amerika aku belum pernah melihat ibu. Rindu sekali hati ini ingin berjumpa dengannya. Hanya cerita yang aku dengar tentang ibu. Ya Tuhan berilah aku kesempatan untuk bisa memeluk ibu.

Ya Allah! Cobaan apa yang sedang menimpa keluargaku sehingga semuanya jadi begini? Hidup kurasa seperti di neraka. Kembalikanlah keluargaku seperti sedia kala. Bukalah kembali pintu hati kakakku sehingga ia mau bertaubat dan menyesali semua perbuatannya. Kembalikan kehangatan yang pernah kurasakan dari belaian kasih sayang dari seorang ayah dan ibu. Ampunilah dosa-dosa kedua orang tuaku juga sayangi mereka Ya Allah. Ampunilah hambamau yang berada dalam kelalain. Juga Shinta yang masih aku sayangi.

***
__________________
Picture Reference:
http://www.kfsemarang.com/gallery.php?act=previewmini&fid=

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.