Cara Shalat Rasulullah (Bagian 2) Berdiri Bagi Yang Mampu

Oleh: Abu Nida
Follow Twitter: @AbuNida2008

Ikhwah fillah rahimakumullah, InsyaALLAH kita akan melanjutkan kembali pembahasan kita mengenai tatacara Shalat seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah Shalallahu’alaihi wasallam. Artikel-artikel tentang tata cara Sholat Rasulullah ini disusun dari beberapa referensi kitab fiqih yang membahas tentang masalah Sholat berdasarkan hadits Shahih.

Kami berharap pembaca sekalian akan mendapatkan tambahan ilmu untuk meluruskan cara Sholat sesuai dengan Sholat yang pernah dilakukan oleh Manusia paling tahu tentang urusan agama ini yaitu Rasulullah Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam.

4- Pada bagian ke-4 ini adalah kita akan memulai dari aktifitas pertama yang dilakukan oleh seseorang saat mengerjakan Sholat yaitu menghadap Qiblat:

Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma mengatakan,
Kami pernah dalam suatu perjalanan, tiba-tiba kami diliputi awan gelap. Kemudian masing-masing memilih arah kiblat dan arah kiblat kami berbeda-beda. Seseorang di antara kami membuat garis di depannya supaya tahu ke arah mana ketika shalat. Ketika di pagi hari, kami melihat garis yang dibuat semalam. Ternyata kami shalat tidak menghadap kiblat. Kejadian ini kami sampaikan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam [tetapi beliau tidak menyuruh kami mengulangi shalat]. Beliau bersabda, “Shalat kalian sudah benar.” (HR. Daruqutni & dishahihkan Al Albani).

Setelah menghadap Kiblat yang harus dilakukan selanjutnya adalah berdiri. Berdiri adalah merupakan rukun dari Sholat, untuk Sholat wajib maka harus dilakukan dengan berdiri sedangkan untuk Shalat Sunnah maka dapat dilakukan sambil duduk.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Orang yang shalat sambil berdiri adalah yang paling baik. Orang yang shalat sambil duduk mendapat pahala separo dari yang berdiri. Orang yang shalat sambil berbaring mendapat pahala separo dari yang duduk.” (HR. Bukhari)

 Syarat wajibnya berdiri didalam Sholat wajib adalah ketika seseorang mampu berdiri dengan sempurna, namun jika seseorang tidak mampu berdiri karena suatu alasan seperti karena sakit, cacat atau beberapa penyebab lainnya maka Sholat dapat dilakukan sambil duduk, berbaring atau bahkan menggunakan isyarat.
 
 Jika telah berdiri melaksanakan shalat, lakukanlah takbiratul ihram dengan mengucapkan, “Allahu akbar (artinya: Allah Maha Besar).”

Dari Abu Sa’id Al Khudri, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مِفْتَاحُ الصَّلاَةِ الطُّهُورُ وَتَحْرِيمُهَا التَّكْبِيرُ وَتَحْلِيلُهَا التَّسْلِيمُ

Pembuka shalat adalah bersuci, yang mengharamkan dari perkara di luar shalat adalah ucapan takbir dan yang menghalalkan kembali adalah ucapan salam.” (HR. Tirmidzi no. 238 dan Ibnu Majah no. 276. Abu ‘Isa mengatakan bahwa hadits ini hasan. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).

5- Mengangkat kedua tangan hingga sejajar dengan pundak atau ujung telinga (cuping telinga). Mengangkat tangan seperti ini dilakukan pada empat keadaan yaitu saat:
a- Takbiratul ihram
b- Ruku’
c- Bangkit dari ruku’
d- Berdiri dari tasyahud awwal
Di antara dalil yang menunjukkan mengangkat tangan ketika takbiratul ihram, turun ruku’ dan bangkit dari ruku’ adalah hadits dari ‘Abdullah bin ‘Umar, ia berkata,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يَرْفَعُ يَدَيْهِ حَذْوَ مَنْكِبَيْهِ إِذَا افْتَتَحَ الصَّلاَةَ ، وَإِذَا كَبَّرَ لِلرُّكُوعِ ، وَإِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ الرُّكُوعِ رَفَعَهُمَا كَذَلِكَ أَيْضًا وَقَالَ « سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ ، رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ » . وَكَانَ لاَ يَفْعَلُ ذَلِكَ فِى السُّجُو

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengangkat kedua tangannya sejajar pundaknya ketika memulai (membuka shalat), ketika bertakbir untuk ruku’, ketika mengangkat kepalanya bangkit dari ruku’ juga mengangkat tangan, dan saat itu beliau mengucapkan ‘sami’allahu liman hamidah, robbanaa wa lakal hamdu’. Beliau tidak mengangkat tangannya ketika turun sujud.” (HR. Bukhari no. 735 dan Muslim no. 390).

Juga diterangkan dalam hadits Abu Humaid As Sa’idi mengenai mengangkat tangan saat bangkit dari tasyahud awwal, ia berkata,

ثُمَّ نَهَضَ ثُمَّ صَنَعَ فِى الرَّكْعَةِ الثَّانِيَةِ مِثْلَ ذَلِكَ حَتَّى إِذَا قَامَ مِنَ السَّجْدَتَيْنِ كَبَّرَ وَرَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى يُحَاذِىَ بِهِمَا مَنْكِبَيْهِ كَمَا صَنَعَ حِينَ افْتَتَحَ الصَّلاَةَ

Kemudian Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bangkit, kemudian ia melakukan raka’at kedua seperti raka’at pertama. Sampai beliau selesai melakukan dua raka’at, beliau bertakbir dan mengangkat kedua tangannya hingga sejajar dengan pundaknya sebagaimana yang beliau lakukan saat takbiratul ihram (ketika memulai shalat).” (HR. Tirmidzi no. 304 dan Abu Daud no. 963. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih).

Hadits di atas juga sekaligus menunjukkan bahwa mengangkat tangan itu sejajar dengan pundak. Sedangkan dalil yang menunjukkan boleh mengangkat tangan hingga ujung telinga yaitu hadits,

عَنْ مَالِكِ بْنِ الْحُوَيْرِثِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ إِذَا كَبَّرَ رَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى يُحَاذِىَ بِهِمَا أُذُنَيْهِ وَإِذَا رَكَعَ رَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى يُحَاذِىَ بِهِمَا أُذُنَيْهِ وَإِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ الرُّكُوعِ فَقَالَ « سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ ». فَعَلَ مِثْلَ ذَلِكَ.

Dari Malik bin Al Huwairits, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika bertakbir, beliau mengangkat kedua tangannya sejajar kedua telinganya. Jika ruku’, beliau mengangkat kedua tangannya juga sejajar kedua telinganya. Jika bangkit dari ruku’, beliau mengucapkan ‘sami’allahu liman hamidah’, beliau melakukan semisal itu pula.” (HR. Muslim no. 391).

6- Lalu sedekap dengan meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri.
Dalam hadits Wail bin Hujr, ia berkata bahwa,

أَنَّهُ رَأَى النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- رَفَعَ يَدَيْهِ حِينَ دَخَلَ فِى الصَّلاَةِ كَبَّرَ – وَصَفَ هَمَّامٌ حِيَالَ أُذُنَيْهِ – ثُمَّ الْتَحَفَ بِثَوْبِهِ ثُمَّ وَضَعَ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى الْيُسْرَى

Ia melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat kedua tangannya ketika memulai shalat dan beliau bertakbir (Hammam menyebutkan beliau mengangkatnya sejajar telinga), lalu beliau memasukkan kedua tangannya di bajunya, kemudian beliau meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri. (HR. Muslim no. 401).

Meletakkan tangan kanan di sini bisa pada telapak tangan, pergelangan atau lengan tangan kiri. Dalam hadits Wail bin Hujr juga disebutkan,

ثُمَّ وَضَعَ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى ظَهْرِ كَفِّهِ الْيُسْرَى وَالرُّسْغِ وَالسَّاعِدِ

Kemudian meletakkan tangan kanan di atas punggung telapak tangan kiri, di pergelangan tangan, atau di lengan tangan kiri.” (HR. Ahmad 4: 318. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Bisa juga tangan kanan menggenggam tangan kiri (yang dimaksud pergelengan tangan kiri) sebagaimana disebutkan dalam hadits Wail bin Hujr, ia berkata,

رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ قَائِمًا فِي الصَّلَاةِ قَبَضَ بِيَمِينِهِ عَلَى شِمَالِهِ

Aku pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau berdiri dalam shalat, tangan kanan beliau menggenggam tangan kirinya.” (HR. An Nasai no. 8878 dan Ahmad 4: 316. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih).

7- Saat sedekap, tangan diletakkan di pusar, bawah pusar atau di dada.
Mayoritas ulama berpendapat bahwa meletakkan tangan ketika sedekap tidak pada tempat tertentu. Jadi sah-sah saja meletakkan tangan di dada, di pusar, di perut atau di bawah itu. Karena yang dimaksud mencontoh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di sini adalah meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri. Sedangkan yang lebih dari itu dengan menentukan posisi tangan sedekap tersebut butuh pada dalil. Meletakkan tangan di dada maupun di bawah pusar sama-sama berasal dari hadits yang dho’if. (Lihat penjelasan guru kami, Syaikh ‘Abdul ‘Aziz Ath Athorifi dalam karya beliau Shifat Shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, hal. 87-90).
Semoga berkelanjutan lagi pada serial berikutnya. Moga Allah mudahkan.

Referensi:

Manhajus Salikin wa Tawdhihil Fiqhi fid Diin, Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, terbitan Madarul Wathon, cetakan keempat, tahun 1431 H.
Ibhajul Mu’minin bi Syarh Manhajis Salikin, Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman bin ‘Abdillah Al Jibrin, terbitan Madarul Wathon, cetakan keempat, tahun 1432 H.
Shifat Shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, terbitan Maktabah Al Ma’arif, cetakan ketiga, tahun 1424 H.
Shifat Shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Marzuq Ath Thorifi, terbitan Maktabah Darul Minhaj, cetakan ketiga, tahun 1433 H.
Bulughul Marom min Adillatil Ahkam, Ibnu Hajar Al Asqolani, terbitan Darus Salam, cetakan keenam, tahun 1424 H.
Al Muntaqo fil Ahkam Asy Syar’iyyah min Kalami Khoiril Anam, Majdud Din Abul Barokat ‘Abdus Salam Ibnu Taimiyyah Al Haroni, terbitan Dar Ibnul Jauzi, cetakan kedua, tahun 1431 H.
Berbagai sumber

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.