Hukum Sholat Sambil Memejamkan Mata (Merem)

 Pada dasarnya, tidak ada keterangan secara jelas sunnah yang melarang atau membolehkan shalat dengan merem atau memejamkan mata. Hanya saja terdapat beberapa dalil yang menunjukkan bahwa shalatnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan para sahabatnya adalah dengan membuka mata (melek). Seperti permintaan beliau agar disingkirkan tirai yang bergambar karena mengganggu shalatnya. Ini menunjukkan bahwa beliau membuka mata dalam shalatnya.

Al-Hamdulillah, kita memuji Allah atas karunia dan nikmat-Nya. Shalawat dan salam atas hamba dan utusan-Nya, Nabi Muhammad –Shallallahu ‘Alaihi Wasallam-, keluarga dan sahabat beliau yang mulia.

Pada dasarnya, tidak ada keterangan secara jelas sunnah yang melarang atau membolehkan shalat dengan merem atau memejamkan mata. Hanya saja terdapat beberapa dalil yang menunjukkan bahwa shalatnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan para sahabatnya adalah dengan membuka mata (melek). Seperti permintaan beliau agar disingkirkan tirai yang bergambar karena mengganggu shalatnya. Ini menunjukkan bahwa beliau membuka mata dalam shalatnya.

Hadits Ma’mar yang bertanya kepada Khabbah menunjukkan bahwa para sahabat shalat dengan membuka mata,

أَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَأُ فِي الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ قَالَ نَعَمْ قُلْنَا بِمَ كُنْتُمْ تَعْرِفُونَ ذَاكَ قَالَ بِاضْطِرَابِ لِحْيَتِه

“Apakah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam membaca dalam shalat Dzuhur dan Ashar?” beliau menjawab, “Ya.” Kami bertanya, “Bagaimana kalian mengetahui hal itu?” beliau menjawab, “Dengan gerakan janggutnya.” (HR. Al-Bukhari)

Dari sini para ulama memakruhkan memejamkan kedua mata saat shalat, kecuali karena kebutuhan mendesak seperti tidak mungkin bisa khusyu’ kecuali dengannya. Misalnya, berdiri di depannya orang yang mengenakan kaos bergambar yang membuat tertawa atau ada tulisan yang mengganggu konsentrasinya.

Larangan ini telah tertuang dalam beberapa kitab, seperti Al-Raudh al-Murabba’ milik Ibnul Qasim: 1/95, Mannarul Sabil milik Ibrahim Dhauyan: 1/66, Al-Kaafi fi Fiqh ahlil Madinah milik Abu Umar Abdulbarr al-Qurthubi: 1/285, Al-Mughni milik Ibnu Qudamah: 2/30, dan Al-Iqna’: 1/127, dan lainnya.

Imam al-Kasani berkata, “Dimakruhkan, karena ia menyalahi sunnah. Bahwa disyariatkan mengarahkan pandangan ke tempat sujud. Karena setiap anggota tubuh punya bagiannya dalam ibadah, begitu juga kedua mata.” (Bada-i’ al-Shana-i’: 1/503)

Imam Al-‘Izz bin Abdussalam dalam Fatawa-nya membolehkan untuk memejamkan mata saat ada kebutuhan, jika hal itu lebih membuat orang yang shalat lebih khusyu’ dalam shalatnya.

Sementara Ibnul Qayyim dalam Zaad al-Ma’ad menerangkan, jika seseorang bisa lebih khusyu dengan membuka mata maka itu lebih utama. Namun jika ia akan lebih khusyu’ dengan memejamkan kedua mata karena ada sesuatu yang mengganggunya berupa dekorasi dan hiasan maka tidak dimakruhkan secara mutlak. Bahkan –dalam kondisi ini- pendapat yang menganjurkan memejamkan mata lebih dekat kepada tujuan dan prinsip syariat daripada pendapat yang memakruhkannya.” (Zaadul Ma’ad: 1/283). Wallahu Ta’ala A’lam. [PurWD/voa-islam.com]


SUMBER

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.