Ini Dia Gaji Shahabat Abu Bakar Saat Menjabat Sebagai Khalifah

 Menjadi pejabat merupakan impian hampir setiap orang, oleh karenanya banyak orang melakukan segala cara untuk memperoleh jabatan yang diimpikannya bahkan tidak jarang mereka meghalalkan segala cara. Bagi sebagian orang menduduki sebuah jabatan adalah merupakan kesempatan untuk menumpuk kekayaan yang bahkan tidak habis dimakan hingga tujuh keturunan, tidak peduli harta tersebut diperoleh dengan cara halal maupun cara haram.

Bagi Muslim, mestinya jabatan adalah sebuah amanah dimana beban tanggung jawab Dunia Akherat sedang berada dipundaknya. Jika motivasi untuk menduduki sebuah jabatan adalah untuk mengabdi kepada Ummat dan menegakkan kalimatuLLAH maka tidak ada kamus baginya untuk melakukan korupsi dan menyalahgunakan wewenang yang dimilikinya.

Ketika seorang Pemimpin menjadikan Al-Qur’an dan Hadits sebagai panduannya dan para Pemimpin Islam terdahulu menjadi contoh dalam menjalankan kepemimpinannya maka dia akan dicintai oleh rakyatnya dan sudah pasti rakyat akan takut kehilangan dirinya. Para Sahabat dan para Salafushsholeh telah memberikan contoh tentang bagaimana mereka memimpin Ummat, Abu Bakar dengan kesederhanaannya, Shalahudin Al-Ayyubi dengan keberaniannya, Salman Alfarisi yang tidak pernah menjadi kaya karena jabatan yang dimilikinya dan masih banyak contoh lain yang dapat dijadikan sebagai tauladan bagi pemimpin Muslim saat ini. Sebagai rujukan, kisah kepemimpinan Abu Bakar Ash-Shidiq di bawah ini sangat sayang jika tidak ditiru oleh Pemimpin Muslim saat ini dan bukan hanya sekedar dijadikan cerita pengantar tidur anak-anak kita dan hanya menjadi cerita masa lampau yang tidak pernah diambil sebagai contoh untuk menjalankan roda Pemerintahan.

Ketika diangkat sebagai khalifah, tepat sehari sesudahnya Abu Bakar r.a. terlihat berangkat ke pasar dengan barang dagangannya. Umar kebetulan bertemu dengannya di jalan dan mengingatkan bahwa di tangan Abu Bakar sekarang terpikul beban kenegaraan yang berat. “Mengapa kau masih saja pergi ke pasar untuk mengelola bisnis? Sedangkan negara mempunyai begitu banyak permasalahan yang harus dipecahkan…” sentil Umar.

Mendengar itu, Abu Bakar tersenyum. “Untuk mempertahankan hidup keluarga,” ujarnya singkat. “maka aku harus bekerja.”

Kejadian itu membuat Umar berpikir keras. Maka ia pun, bersama sahabat yang lain berkonsultasi dan menghitung pengeluaran rumah tangga khalifah sehari-hari. Tak lama, mereka menetapkan gaji tahunan 2,500 dirham untuk Abu Bakar, dan kemudian secara bertahap, belakangan ditingkatkan menjadi 500 dirham sebulan. Jika dikonversikan pada rupiah, maka gaji Khalifah Abu Bakar hanya sebebsar Rp. 72 juta dalam setahun, atau sekitar Rp 6 juta dalam sebulan. Sekadar informasi, nilai dirham tidak pernah berubah.

Meskipun gaji khalifah sebesar itu, Abu Bakar tidak pernah mengambil seluruhnya gajinya. Pada suatu hari istrinya berkata kepada Abu bakar, “Aku ingin membeli sedikit manisan.”

Abu Bakar menyahut, “Aku tidak memiliki uang yang cukup untuk membelinya.”

Istrinya berkata, “Jika engkau ijinkan, aku akan mencoba untuk menghemat uang belanja kita sehari-hari, sehingga aku dapat membeli manisan itu.”

Abu Bakar menyetujuinya.

Maka mulai saat itu istri Abu Bakar menabung sedikit demi sedikit, menyisihkan uang belanja mereka setiap hari. Beberapa hari kemudian uang itu pun terkumpul untuk membeli makanan yang diinginkan oleh istrinya. Setelah uang itu terkumpul, istrinya menyerahkan uang itu kepada suaminya untuk dibelikan bahan makanan tersebut.

Namun Abu Bakar berkata, “Nampaknya dari pengalaman ini, ternyata uang tunjangan yang kita peroleh dari Baitul Mal itu melebihi keperluan kita.” Lalu Abu bakar mengembalikan lagi uang yang sudah dikumpulkan oleh istrinya itu ke Baitul Mal. Dan sejak hari itu, uang tunjangan beliau telah dikurangi sejumlah uang yang dapat dihemat oleh istrinya.

Pada saat wafatnya, Abu Bakar hanya mempunyai sebuah sprei tua dan seekor unta, yang merupakan harta negara. Ini pun dikembalikannya kepada penggantinya, Umar bin Khattab. Umar pernah mengatakan, “Aku selalu saja tidak pernah bisa mengalahkan Abu Bakar dalam beramal shaleh.”

Jadi, siapa lagi yang akan dicontoh jika bukan para Salafushsholeh dalam memimpin Ummat…? Jangan pernah bangga dengan mengikuti teori-teori kenegaraan yang dikemukakan oleh pemikir-pemikir sekuler karena para pendahulu Muslim telah mempunyai konsep Ilahiyah dalam memimpin negara dan terbukti mereka pernah membawa Islam pada puncak kejayaan, kemenangan dan memimpin peradaban Dunia. (MT/rw/Abu Nida_)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.