Islam dan Demokrasi

Fakta historis telah memperlihatkan kalau demokrasi dalam bentuknya yang paling sederhana sudah lama dikenal sebelum datangnya Islam –dalam pengertian yang dibawa oleh nabi Muhammad. Ia telah berkembang sejak zaman Plato dan Aristoteles ketika al-Qur’an dan ajaran Islam yang dikandungnya belum diturunkan. Oleh sebab itu menjadi sebuah kewajaran jika wacana dan pembicaraan tentang demokrasi selalu diasosiasikan dengan dunia Barat. Dengan kata lain faham dan istilah demokrasi bukan berasal dari Islam, tetapi dari luar Islam, namun bukan berarti tidak ada prinsip-prinsip berdemokrasi dalam Islam (Widjaya, 2003:56). Artinya pada titik-titik tertentu yang bisa mempertemukan antara ajaran Islam dan demokrasi.

Biarpun demikian, bagi sebagian kalangan di dunia Islam, terdapat problem antara Islam dan demokrasi. Problem itu berkembang secara terbatas pengalaman demokrasi dalam Islam hingga persoalan serius seputar pandangan ketidaksesuaian antara Islam dengan demokrasi. Dalam hal ini Bernard Lewis (2002: 43) mengungkapkan paling tidak ada tiga kecenderungan besar pola mengenai hubungan antara Islam dan demokrasi. Pertama, Islam dan demokrasi dipandang sebagai dua sistem politik yang berbeda. Sebagai sistem politik, Islam tidak bisa disubordinasikan kepada demokrasi. Kedua, Islam berbeda dengan demokrasi apabila yang terakhir dipahami secara prosedural sebagaimana dipraktekkan di Barat. Tetapi Islam dapat dianggap sebagai sistem politik demokratis jika demokrasi dipahami secara substantif. Ketiga, Islam dipandang sebagai suatu sistem nilai yang akomodatif terhadap demokrasi yang didefinisikan secara prosedural dan dipraktekkan di Barat.

Ada tiga alasan penting mengapa pembahasan tentang Islam dan demokrasi tidak ada habisnya. Pertama, sumber atau bahan rujukan bahasan isi sangat banyak dan kaya, yang merupakan akumulasi pengalaman dunia muslim dalam membangun kebudayaan dan peradaban selama sekitar lima belas abad. Kedua, kompleksitas permasalahan Islam dan demokrasi yang dibahas. Ini mendorong para pengkaji dan  peneliti kepada pembahasan dengan menggunakan satu atau beberapa pendekatan yang sangat spesifik. Ketiga, adanya berbagai pandangan ideologis berbagai kelompok masyarakat muslim yang berbeda-beda (Thaha, 2005:7-10). Dampaknya pembahasan Islam dan demokrasi seakan-akan berlarut-larut dan tak pernah menemukan titik final.

Bagi kalangan Islam Sunni, kajian antara Islam dan demokrasi dipandang bersifat ambivalen. Dalam kajian Islam dan demokrasi terdapat tiga macam hubungan. Pertama, mayoritas masyarakat Islam dengan tegas mengatakan bahwa tidak ada pemisahan antara Islam dan demokrasi. Demokrasi merupakan sesuatu yang inheren atau bagian integral dari Islam, untuk itu demokrasi tidak perlu dijauhi, malah menjadi bagian urusan Islam. Bahkan melalui demokrasi kepentingan dakwah Islamiyah bisa diwujudkan, oleh karena itu masyarakat Islam memiliki “kewajiban” untuk menceburkan diri kedalam politik dengan memanfaatkan proses demokratisasi. Hubungan Islam dan demokrasi yang demikian biasa disebut simbiosis-mutualisme. Ada beberapa tokoh Muslim yang memandang bahwa Islam memiliki hubungan yang baik dengan demokrasi. Diantaranya ialah; Deliar  Noer, Ahmad Syafii Ma’arif, Aswab Mahasin, Abdurrahman Wahid, Nurkholis Madjid dan lainnya.

Kedua, sebagian masyarakat Islam yang memandang ada hubungan yang canggung antara Islam dan demokrasi. Dapat dikatakan bahwa mereka merepresentasikan padangan bahwa Islam bertentangan dengan demokrasi. Islam dan demokrasi dipandang saling berhadapan atau saling bermusuhan. Dalam konteks mengambil keputusan misalnya, menurut mereka Islam memiliki pandangan sendiri dalam soal mengambil keputusan yaitu melalui mekanisme syura yang berbeda seratus delapanpuluh derajat dengan demokrasi ala Barat. Pandangan yang demikian terkadang membuat hubungan antara keduanya menimbulkan ketegangan yang tajam dan sangat keras yang bersifat kontinyu bahkan cenderung permanen.  Contoh pandangan yang sering disebut sebagai pandangan antagonistik ini diwakili oleh tokoh-tokoh yang tergabung dalam Hizbut Tahrir seperti; Ismail Yusanto, Siddiq Al-Jawi dan lainnya.  Selain itu pandangan yang hampir serupa bahkan lebih ektrim ditampakkan pula oleh amir (pimpinan) Jamaah Ansharut Tauhid (JAT) melalui tokohnya Abu Bakar Ba’asyir.

Ketiga, sebagian masyarakat Islam lainnya yang menerima adanya hubungan Islam dan demokrasi, sekaligus memberikan catatan-catatan penting secara kritis. Menurut mereka Islam bisa menerima adanya hubungan dengan demokrasi,  namun dengan beberapa catatan penting. Mereka tidak sepenuhnya menerima dan tidak sepenuhnya menolak adanya hubungan Islam dengan demokrasi. Bahkan di antara mereka berupaya mengembangkan sintesis yang memungkinkan (viable) hubungan Islam dan demokrasi, khususnya hubungan antara agama dan negara. Inilah yang disebut hubungan reaktif-kritis atau resiprokal-kritis, atau simbiotik. Berada dalam barisan ini tokoh-tokoh seperti M. Natsir, Amin Rais, Muhammad Anis Matta dan lainnya.

Terlepas dari perdebatan yang ada, demokrasi telah menjadi salah satu sistem politik yang paling banyak dianut oleh negara-negara di dunia termasuk Indonesia. Agar berjalan baik di dalam demokrasi terdapat beberapa pilar yang harus dijaga, diantaranya: Pertama, adanya penyelenggaraan pemilu yang bebas dan berkala. Kedua, adanya pemerintahan yang terbuka, akuntabel dan responsif. Ketiga, adanya perlindungan terhadap HAM. Keempat, bekembangnya civil society dalam masyarakat (KPU Kendal, 2014:1). Selain itu, agar sistem demokrasi dapat berjalan kontinyu dan kuat, maka ia harus memberikan keuntungan bagi rakyat dan jaminan hukum, sebagaimana ia harus mengibarkan slogan seperti kebebasan berbicara, hak bekerja, menghilangkan pengangguran, menyingkirkan kesewenang-wenangan, menumpas musuh bangsa, mewujudkan kepentingan bersama, menjamin keamanan dan lain sebaginya (Ar-Rahal, 2000:34).

Menurut Gaffar (dalam Lewis, 2002: 43), bagi umat Islam di Indonesia, masalah demokrasi merupakan agenda politik dan pemikiran yang teramat penting karena sebagian besar warga negara Indonesia beragama Islam. Islam di Indonesia sangat percaya dan mengharapkan demokrasi berjalan sebagaimana mestinya, karena dengan itu maka Islamic political cause dapat di perjuangkan. Sehingga dengan demikian kepentingan-kepentingan Islam dalam arti luas (sosial, ekonomi, dan politik) akan dapat terlindungi dengan lebih baik.

Apa yang diungkapkan Gaffar cukup beralasan, karena memanfaatkan demokrasi untuk kepentingan umat Islam menjadi pilihan yang logis untuk saat ini. Peluang demikian dapat dipetik karena menurut Abdul Aziz Izzat Al-khayyat (dalam Elvandi, 2011:259) ada irisan demokrasi dan Islam, diantaranya;

1.    Pemilihan pemimpin dilakukan dengan pemilu oleh masyarakat. Sehingga memungkinkan tampilnya pemimpin-pemimpin muslim yang memperjuangkan kepentingan umat.
2.    Menolak seluruh bentuk pemerintahan otoriter, tirani atau rasis dan teokrasi, karena Islam bukanlah agama kependetaan.
3.    Membolehkan sistem multi partai. Dalam Islam keberagaman partai diakui. Demikian pula dalam demokrasi, semua itu diakui melalui undang-undang dan peraturan-peraturan yang berlaku.
4.    Mengakui kepemilikan pribadi sesuai syura. Islam menjaminnya untuk kebaikan umat, demikian pula demokrasi menjaminnya untuk kepentingan masyarakat.
5.    Memberikan kebebasan publik, terutama kebebasan politik.
6.    Memilih wakil-wakil rakyat untuk merepresentasikan wakil-wakil mereka.

Karena begitu pentingnya isu ini bagi umat, maka banyak di antara para aktifis muslim yang melibatkan diri dalam isu-isu demokrasi. Menurut Ar-Rahal (2000: 35)  ada beberapa kepentingan yang bisa diperjuangkan sehingga menyebabkan demokrasi menjadi pilihan dan mereka ikut andil didalamnya, diantaranya:

1.    Dapat dijadikan sarana menjalankan syariat Islam sebagai pijakan hukum untuk segala urusan kehidupan.
2.    Membuka peluang untuk mengadakan ishlah (perbaikan) menurut kesanggupan.
3.    Tidak memberi kesempatan pada musuh-musuh Allah untuk mengendalikan sendiri kehidupan, dan sekaligus ini merupakan tujuan prefentif untuk menjaga kelangsungan dakwah.
4.    Menyebarkan dakwah dari mimbar yang paling efektif dan dengan perlindungan sebagai wakil rakyat.
5.    Melindungi hak kaum muslimin, menjaga kehormatan mereka, membela mereka dan mengantisipasi untuk mengalahkan rencana jahat musuh Islam.

———————————————–
Dikutip dari buku:
Strategi Dakwah Era Demokratisasi (Pemikiran Muhammad Anis Matta), Penulis: Nur Ariyanto, M.S.I, Penerbit: YGIMK Press tahun 2017. ——- dapatkan buku tersebut di www.madanicorner.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.