Langkah Yang Tertunda
Semarang, 17April 2003
“Paman. Sa… Saya mau nikah paman.” Eira terbata-bata mengungkapkan keinginannya. Disampingnya ada seorang laki-laki lebih muda dua tahun dari usianya. Dialah pasangan Eira. Pamanya hanya diam membisu.
“Gimana paman.”
“ Nikah? Kamu sudah mantep dengan pilihanmu itu?.” Bentak paman pada Eira. Matanya menatap sinis.
“Apa ini calonmu?”
“I…Iya Paman dia calon saya. Asalnya dari Jambi. Dia udah kerja kok. Dia seangkatan sama saya.” Jawab Eira agak gusar.
Paman Eira masih bingung dengan apa yang dia alaminya. Eira dan pemuda itu telah menyalakan bara dihatinya.
“ Oh ya. Dari tadi kamu diam saja, siapa namamu?” Tanya paman pada pemuda itu. Pandanganya menyapu seluruh wajahnya.
“Say….e…saya Rusdi. Saya dari Jambi. Pak.”
“Rusdi? Dari Jambi?”
“Betul Pak. Di Semarang saya ikut kakak, beliau punya panti asuhan dan… dan saya ikut mengurusnya Pak” Jawab Rusdi dengan gugup. Keringat dingin mulai mengalir membasahi bajunya. Semarang siang itu memang terasa panas, biarpun demikian keringat dingin yang keluar dari tubuh Rusdi.
“Ooo… Cuma nebeng tho? Tapi kok sudah berani nglamar si Eira.” Dengan ketus paman menanggapi Rusdi.
Rusdi menundukkan wajahnya. Namun dirinya bertekad untuk bertanggung jawab dengan apa telah ia lakukan. Dia ingin menjadi setegar karang yang membelah ombak dilautan. Rusdi ingin menjadi pria sejati. Pantang baginya untuk mundur walaupun hanya sejengkal saja. Apa yang telah dimulainya harus diselesaikan. Harus dituntaskan. Walaupun terkadang dia tak sanggup menguasai dirinya.
“Iya Pak. Saya sudah terlanjur cinta sama Eira. Dan saya tidak bisa hidup tanpanya.” Jawab Rusdi. Kali ini hatinya lebih tenang.
“Hei! Jaman sekarang orang nikah tidak bisa hanya modal cinta. Apa nanti Eira mau dikasih makan cinta saja tiap hari. Hah! Nanti dia bisa overdosis.” Paman Eira makin bersungut-sungut. Matanya makin memerah.
“Ei! Sebenarnya paman tidak masalah dengan siapa kamu akan menikah, asalkan dia sudah mapan. Apa bapak mamakmu sudah tau hal ini?”
“Paman. Sebenarnya mereka belum tau. Ei akan kasih tau mereka sesudah dapat restu dari paman. Mereka kan di Lampung, rencananya habis nikah kami langsung kesana.” Eira mencoba menjelaskan.
“ Lho! ya ga bisa begitu Ei, kamu harus dapat restu dulu dari orangtuamu. Bapakmu kan masih ada, jadi nggak perlu paman yang jadi wali. Paman belum bisa merestui kamu Ei.” .
“Mmm. Paman. Sebenarnya Ei takut ngomong sama bapak.” Eira memelas pada pamannya.
“Heh kenapa harus malu? Maksud kalian kan baik. Pasti mereka setuju. Malah paman bangga padamu karena berani mengambil resiko nikah diusia muda. Bapak mamakmu dulu juga nikah muda.” Hati paman Eira mulai melunak. Dia mencoba menasehati Eira.
“Paman. Se.. se.. sebe.. sebenarnya Ei..Eira sudah.. sudah ha.. hamil Paman…” Eira menjelaskan apa yang telah terjadi.
“Innalillah…Ya Allah Ei… Masya Allah… Kamu… Kamu hamil Ei! Kamu mencoreng nama baik keluarga. bikin malu! Siapa yang menghamilimu? Apa dia?” Tunjuk paman pada Rusdi.
Rusdi hanya tertunduk menyesal dengan apa yang telah dilakukan pada Eira. Eira menangis dan bersujud pada pamannya.
“Paman! Ei salah Paman… Ei minta maaf, Ei khilaf waktu itu. Ka.. kami..”
“Cukup Eira! Paman sangat kecewa padamu, daripada penyakit jantung eyangmu kambuh jangan kamu bilang pada beliau. Sekarang paman tidak bisa biayai sekolahmu lagi. Maafkan paman Ei! Kamu mengecewakan. Terserah apa yang ingin kamu lakukan.” Paman meninggalkan Rusdi dan Eira dalam isaknya.
Keesokan harinya Eira pamit untuk pergi ke tempat orangtuanya di Lampung. “Ei! Ini ada sangu untukmu, Eyang tidak bisa kasih lebih karena minggu ini dagangan kedele kita sepi.” Eyang mengulurkan enam lembar uang lima puluh ribuan pada Eira.
“Makasih Eyang. Maafin Ei kalo ada salah.” Eira sesenggukan sembari memeluk eyang yang sayangi itu. Eira tidak mampu membayangkan bagaimana kalau sampai Eyangnya tau dia pulang bukan untuk berlibur tapi untuk mempertanggungjawabkan perbuatanya. Eira sangat menyesal. Beberapa saat kemudian Eira dan Rusdi berpamitan pada pamannya.
“Paman. Saya minta do’anya paman. Maafkan Ei, karena melakukan banyak kesalahan.” Eira meraih tangan pamannya. Tangan itu hanya terulur sebentar karena paman Eira segera menariknya kembali. Hati paman Eira sangat sakit mendengar keponakan yang sudah dianggap sebagai anak kandungnya sendiri itu ternyata hamil diluar nikah. Betapa sembilu telah mengoyak hatinya. Apalagi Eira sangat mirip dengan mendiang anaknya yang meninggal akibat kecelakaan. Peristiwa kelabu itu jugalah yang merenggut nyawa istrinya.
Labuhan Maringgai, medio April 2003
Dengan hati berdebar-debar sampai jualah Eira dan Rusdi di Lampung untuk bertemu orangtua Eira dan meminta restunya. Rasa cemas dan ragu bercampuraduk menghinggapi hati saat mereka menginjakan kaki memasuki halaman. Apalagi Rusdi, dia merasa sangat bersalah dengan apa yang telah dilakukakan. Hawa nafsu yang tidak berdasar kesadaran telah berbuah kesia-siaan yang memalukan.
Malam harinya Rusdi menjelaskan tujuan mereka ke-Lampung. Kata demi kata mengalir melalui bibirnya yang mulai bergetar. Peluh dingin mengalir bersama keresahan yang mulai melanda. Hatinya berdegup kencang.
Orang tua Eira marah besar. Umpatan dan makian mengalir dari mulut mereka yang tengah kalap. Bapak Eira yang berwatak keras malah akan mengusir Rusdi dan Eirapun menangis sejadi-jadinya. Eira meminta maaf pada mereka berdua. Eira sangat menyesali perbuatannya. Demikian juga Rusdi, dia bingung harus berbuat apa.
Ketegangan makin memuncak. Rusdi hanya diam saja saat bapak Eira memperolok-olok dirinya yang menganggapnya pecundang, bukan laki-laki sejati, dan penghancur masa depan anak yang dibangga-banggakannya. Setelah semua usai tanpa hasil yang jelas, malam itu rumah keluarga Sani menjadi sangat hening. Tak terdengar lagi gurauan yang biasa dilakukan sang ayah ataupun ibu Eira saat malam tiba. Hanya suara-suara jangkrik dalam liangnya yang gelap mengisi ruang hampa malam itu.
Pada keesokan harinya semua berkumpul diruang tamu. Tanpa basa-basi mamak Eira memulai pembicaraan.
“Rusdi! Bapak dan Mamak sudah memutuskan hari lamaran Eira seminggu lagi, untuk itu kamu bilang sama orang tuamu untuk persiapkan lamaran sebaik-baiknya. Kami tidak meminta banyak-banyak dari kamu, hanya emas dua puluh empat karat seberat seratus gram beserta uang senilai emas itu. Gimana? Tidak banyak kan permintaan kami? Dan! Ingat seminggu lagi kamu dan keluargamu harus sudah sampai disini, karena terlambat sedikit saja kamu tidak akan bisa menikah dengan Eira. Mengerti!”
Rusdi begitu terkejut mendengar perkataan itu. Seakan-akan langit telah runtuh dan menimpa kepalanya. Rusdi hanya diam membisu Kata-kata itu menohok hatinya.
“Mak! Apa-apan ini? Yang mau nikah itu Ei sama Rusdi, jadi nggak usahlah mamak meminta yang muluk-muluk. Ei saja nggak minta yang seperti itu.” Sahut Eira setengah berteriak kepada mamaknya. Dia tidak terima perlakuan mamaknya itu kepada Rusdi. Biarpun telah merenggut kegadisanya, Eira sangat mencintai Rusdi. Apalagi benih-benih cinta itu kini sudah menyatu dengan darah Eira dan bersemayam didalam rahimnya. Dia tidak rela. Sungguh tidak rela.
“Ei! Kamu tidak usah ikut-ikutan masalah seperti ini, mamak tahu kalau kalian yang mau nikah, tetapi sebelum dia mengambil kamu dari mamak dan bapak dia harus punya sesuatu untuk menggantimu. Kalau tidak sanggup jangan harap dia bisa nikah sama kamu. Kamu ingat kan si Husairi anak pak lurah desa kita? Dia sudah menyukaimu sejak kamu SMP. Sekarangpun masih begitu. Dia menunggu kamu Ei!” Bentak mamaknya pada Eira.
“Kalau begitu sama saja mamak jual anak mamak sendiri!”
“Lancang sekali kamu dengan mamakmu ini. Ini juga demi kebaikan kamu Ei!
Jangan harap dia bisa menikahimu tanpa membawa apapun!!”. Mamak Eira makin kalap dengan kelakuan putrinya. Darahnya sampai ke ubun-ubun. Matanya melotot.
Eira berlari menuju kamarnya. Hamburan air mata tumpah ruah diatas bantal. Butir-butir penyesalan kembali menyeruak dalam hatinya yang sendu. Peristiwa-peristiwa memalukan yang telah dilakukan bersama Rusdi terlintas jelas dimatanya. Sesal memenuhi seluruh rongga hati dan menyesakan dada. Kenapa aku tak bisa menjaga diri? Kenapa kuserahkan mahkota kehormatanku padanya? Pertanyaan-pertanyaan itu membuat air matanya semakin deras mengalir. Tapi apalah jua nasi telah menjadi bubur, tak bisa kembali malah akan semakin busuk.
Rusdi sangat terpukul dengan keputusan orang tua Eira. Dia ragu apakah orangtuanya mau melaksanakan apa yang dituntut oleh orangtua Eira, sedangkan mereka hanya orang biasa, bukan lurah ataupun pengusaha. Mereka juga belum mengetahui kalau dia sudah merenggut kehormatan anak orang. Kepala Rusdi serasa dihantam palu memikirkan semua itu. Rusdi ingin lari dari kenyataan, tapi lagi-lagi ia terfikirkan cintanya yang mendalam pada Eira,
“Ya Tuhan. Salahkah cinta ini?” Hanya kata-kata itulah yang terbesit dalam hatinya.
Hari lamaran telah tiba. Detik berganti menit, menitpun berganti jam. Rusdi beserta keluarganya belum juga datang. Eira cemas bukan kepalang, Apakah Rusdi akan mengingkari janjinya? Lalu bagaimana dengan nasibnya, nasib jabang bayinya? Eira tak tahu jawab semua itu.
“Oh Rabb. Apakah ini akibat salahku karena menyalahi aturan main-Mu?” Batin Eira.
“Hei Ei! Mana pujaan hatimu itu? Pasti dia tidak punya harta untuk melamarmu. Untung saja mamak tidak langsung memberikanmu padanya. Apa jadinya besok kalau engkau jadi istrinya nak? “ Kata mamak Eira ketus.
“Mak! Mamak itu nggak tau perasaan orang ya? Ei itu lagi sedih mak..! Jadi mamak jangan ngomong yang tidak enak didengar.”. Balas Eira sama ketusnya.
“Heeei. Kalian ini bisanya berantem saja, bikin kepalaku tambah pusing. Eira! mana si Rusdi? Kenapa dia belum datang juga? Padahal tetangga dekat kita sudah berdatangan. Ini sudah mau Dzuhur.” Bapak Eira bertanya padanya.
“Sabar ya Pak. Mungkin mereka masih dalam perjalanan.” Jawab Eira menenangkan bapaknya. Eira tau bapaknya begitu menyayanginya melebihi siapapun. Sulung empat bersaudara itu paling pintar juga paling cantik dari yang lainnya. Dulu saat ia sekolah disekolahan terfaforit di Semarang, banyak pria yang ingin segera melamarnya. Selain karena sifatnya yang baik ia juga sangat pintar bergaul. Kini Eira sudah ternoda oleh pemuda biasa. Padahal dahulu kebanyakan orang yang ingin melamarnya terbilang orang yang berkecukupan. Sementara itu siapalah Rusdi. Pekerjaan saja dia belum punya. Apalagi dia berasal dari keluarga yang pas-pasan.
”Eira… Eira…” Ayah Eira menggerutu dalam hati. Sebenarnya ia sangat menyayangi dan mangkhawatirkan putrinys itu, tetapi luka yang telah tertoreh dalam hati akibat perbuatan Eira membuatnya bersikap keras.
Malam makin larut, tamu-tamupun mulai berpamitan pulang tetapi Rusdi dan keluarganya belum juga sampai. Eira menjadi bulan-bulanan orangtuanya. Mereka merasa malu dengan sanak kerabat dan lingkungan sekitar karena lamaran tidak jadi dilaksanakan. Terbesit kecemasan dalam diri pak Sani akan nasib putrinya. Lalu siapakah yang akan sudi menutup aib dan bertanggungjawab atas nasib anaknya itu. “Ya Allah berikan hambamu ini kekuatan.” Rintiihan batin pak Sani.
Keesokan harinya ketika adzan subuh berkumandang, terdengar pintu keluaga Sani diketuk dari luar. Pak Sani bertanya-tanya, siapakah gerangan yang mengetuk pintu sepagi itu Setelah pintu dibuka ternyata yang datang adalah Rusdi beserta keluarganya. Mereka tampak letih dan kelelahan dalam keadaan basah kuyup setelah sembilan jam menempuh perjalanan Jambi.-Lampung. Pak Sani mempersilahkan mereka masuk. Kemudian diambilkannya teh hangat untuk melawan dinginya pagi yang diiringi rintik hujan sejak semalam. Dia mempersilahkan mereka sejenak melepas lelah dan shalat.
Hiruk pikuk di ruang tamu membangunkan mamak Eira yang masih terlelap tidur. Ketika melihat Rusdi dan keluarganya ada didalam rumahnya hatinya menjadi sangat kacau. Dia sangat marah dan merasa terhina atas perlakuan mereka.
“Hei kalian orang yang tak tau diuntung. Apa-apaan ini? Seenaknya saja kalian datang kemari. Sekonyong-konyong kalian ketempatku dan menikmati apa yang ada disini. Aku tidak menyesal kalau Eira tidak jadi menikah anak keluarga kalian. Aku akan cari pengganti yang lebih baik dan lebih kaya daripada Rusdi. Sekarang lebih baik kalian pergi dari sini. Aku tidak akan menerima dan merestui anak kalian menjadi menantu dirumah ini untuk selama-lamanya. Sekarang silahkan keluar.” Rasa dendam yang membara telah membakar seluruh nurani mamak Eira. Yang tersisa dalam hatinya hanyalah kebencian yang mendalam pada Rusdi dan keluarganya.
Butir-butir air mata mulai menetes dari sudut mata ibu Rusdi yang menyertai anaknya. Hatinya serasa tercabik-cabik dan meronta. Tetapi tak sepatah katapun mampu keluar dari mulutnya. Hanya getar dibibir dan sesak didada. Matanya yang sayu menatap mata suaminya yang mulai berkaca-kaca. Akhirnya merekapun pergi meninggalkan rumah itu.
Pagi yang basah, telah berbaur dengan tumpahan air mata. Gemerisik air hujan menyatu dengan tangisan orang-orang yang hancur dan hatinya terluka. Eira berlari kehalaman hendak mengejar mereka tetapi terjatuh. Dibawah guyuran air hujan pagi itu ia menangis dan meronta. Eira menatap Rusdi dan keluarganya yang semakin menjauh. Eira berharap petir akan meyambar dan mengakhiri penderitaanya.
Gajah, Medio 2003
Satu bulan telah berlalu sejak Eira dan Husairi hidup bersama. Karena begitu sayangnya Husairi pada Eira dia rela jadi tutup. Orang sekampung belum ada yang tahu kalau Eira hamil, oleh karena itu untuk menutupi aib keluarga mereka diungsikan dulu di kota Gajah ditempat saudara bapak Eira. Rencananya setelah melahirkan barulah Eira kembali lagi ke Labuhan Maringgai. Husairi tidak pernah menganggap Eira sisa orang lain, bahkan dia merasa bahwa dialah bapak bayi dalam kandungan itu. Eira jadi serba salah dan sangat berterimakasih atas pengorbanan Husairi. Bulan-bulan berikutnya Husairi rajin menemani Eira kontrol ke dokter. Husairi juga sering membacakan surat maryam untuk calon anaknya, dia ingin supaya anaknya secantik maryam karena hasil USG menyatakan bahwa calon anaknya perempuan.
Gajah, Januari 2004
Hari menegangkan itu telah tiba. Dengan sekuat tenaga Eira berusaha mengeluarkan jabang bayi dari dalam rahimnya. Dia harus bertarung dengan maut dan rasa sakit demi melihat buah cintanya itu. Dengan kelembutan dan kasih sayang Husairi menemani dan memberi support agar Eira kuat dan tabah. Doapun dia panjatkan kepada-Nya.
“oee…oee…oee…” Dengan izin Allah gadis kecil mungil itu lahir kebumi. Tangisanya mengisyaratkan rasa syukur atas kesempatan menghirup udara dunia. Biarpun kelak akan hidup dalam kefanaan, tapi itu adalah kesempatan untuk meraih surga dengan budi pekerti yang baik dan amal yang mulia.
Air mata kebahagiaan menetes dari sudut mata Eira yang membiru. Tangisan pertama buah hatinya menyeruakan semerbak keharuman dalam jiwanya yang selama ini kering dan merana. Namun dia menyayangkan kenapa bayi yang cantik dan suci itu harus lahir dari kelalaian dan kebusukan perilakunya yang telah lalu. Tapi biarlah semua itu menjadi goresan-goresan sejarah masa silam. Terbesit keinginan dalam hatinya untuk menjadikan anaknya wanita yang mulia dihadapan manusia dan Tuhanya. Seorang wanita yang selalu menjaga diri dan kemulian dengan taruhan apapun jua. Yang tak mudah terbujuk rayuan dan manisnya mulut setan yang berkedok tampanya wajah dan baiknya pekerti. Padahal dia hanya mengincar keuntungan dan mengumbar hawa nafsu. Seorang wanita yang menyerahkan mahkota kewanitaanya hanya pada sang suami saja dalam indahnya malam pertama.
Mamak Eira datang seminggu kemudian. Dia membawa serta kakaknya juga untuk menjenguk Eira. Disana dia mengumpulkan kakaknya itu, suaminya, Eira dan Husairi dalam sebuah ruangan kemudian mengutarakan meksudnya.
“Eira. Husairi. Sudah cukup penderitaan kalian, kini mamak ingin kalian hidup bahagia selamanya. Paman kau ini akan mengadopsi anak kalian. Kalian tidak usah khawatir dengan biaya hidupnya, semua itu akan menjadi tanggunganya. Paman kalian sudah memikirkan baik dan burukya. Kamu mengerti kan Ei?” Mamak eira mendekat kepada Eira dan mencium kening cucunya.
“Mak. Siapa yang menderita? Saya bahagia mak. Saya tidak akan memberikan anak saya pada paman. Saya bisa hidup sendiri tanpa Husairi ataupun mamak. Saya ibu kandungnya mak… saya tidak bisa berpisah dengannya mak” Jawab Eira sembari memeluk anaknya dan menjauhkan dari mamaknya.
“Iya mak. Saya juga tidak merasa menderita dengan semuanya mak. Saya malah bahagia.. sangat bahagia, mempunyai istri yang saya idam-idamkan dan anak yang cantik seperti ibunya..” Tandas Husairi.
“Tidak bisa Eira! Ingat janjimu saat kau tidak mau menggugurkan kandunganmu dulu Dengan begitu anak ini harus jauh darimu. Kamu ingat janjimu dulu kan Ei? Sudahlah! dia akan baik-baik saja bersama pamanmu, janganlah kau persulit dirimu sendiri” Mamak Eira mencoba mengingatkan janji Eira dimasa yang lalu.
Dengan berat hati akhirnya Eira melepaskan buah hatinya pada pamanya.
”Paman. Tolong jaga anak saya ya Paman.” Pinta Eira pada pamannya.
“Iya Ei. Sesekali kamu boleh mengunjunginya. Ei jangan lupa do’akan dia selalu. Semoga kelak menjadi anak yang sholehah dan berguna bagi lingkungannya. Tapi ngomong-ngomong siapa nama anakmu ini?” Tanya paman Eira padanaya.
“Siapa namanya kak?” Eira balik bertanya pada Husairi.
“Tsurayya Mustofa. Semoga dia menjadi wanita yang bisa selalu menerangi orang disekelilingnya walaupun dalam keadan gelap gulita sekalipun, seperti bintang yang sinarnya selalu menerangi jejek-jejak jiwa dan akan membawa kedamaian” Kata Husairi.
“Dan Mustofa itu nama ayah kak Husairi” Lanjut Eira sambil mengelus kepala Tsurayya.
“Ya sudah. Besok pagi paman akan berangkat ke Semarang bersama Aya. Kamu yang tabah ya.”
“Lho. Aya siapa paman?”. Tanya Eira bingung.
“Kau itu bagaimana Ei. Anakmu itu kan Tsurayya. Paman jadi susah manggilnya, biar mudah ya Aya saja. Ya kan?.” Jawab paman Eira.
“Oh iya… lebih imut ya paman… terimakasih ya Man…” Eira coba mencandai pamannya. Yang dituju hanya mengulas senyum.
Pagi itu sang mentari terlihat cerah menyambut Aya yang mungil. Walaupun demikian perpisahan tetap harus terjadi. Sebenarnya Eira tidak merelakan kepergian putrinya bersama pamannya. Dia ingin melihat dan menemani pertumbuhan Aya kecil menjadi balita yang lucu dan menggemaskan. Dia juga ingin mendampingi Aya tumbuh menjadi gadis yang cantik dan lincah bahkan sampai menikah kelak. Dalam hatinya Eira selalu berdoa untuk Aya agar selalu bahagia. Eira menagis.
“Jadilah engkau anak yang solehah dan pintar nak.” Bisiknya dalam hati sambil mengecup kening Aya untuk yang terkhir kali.
Kapal berlayar dari Bakauhuni menuju Merak melintasi Selat Sunda. Ada getaran lembut dalam hati Eira yang mengingatkan dirinya akan sesuatu yang terlupakan. Dia jarang mengingat Sang Kekasih Sejati. Kabut di hatinya kini telah sirna seiring mentari kebahagiaan yang telah memancarkan sinarnya. Semoga semuanya menjadi sebuah kenangan yang terangkum dalam album kehidupan di dalam memorinya. Yang akan mengingatkan ia akan getir masa lalu yang tak ingin terulang biarpun hanya sekali saja.
***
Meski ku rapuh dalam langkah kadang tak setia kepada-Mu namun cinta dalam jiwa hanyalah pada-Mu.
Maafkanlah bila hati tak sempurna mencintai-Mu dalam dada kuharap hanya diri-Mu yang bertahta
(RAPUH by OPIECK)
Picture Reference:
http://www.hlgjyl888.com/group/alone