Manajemen Dakwah Berbasis Qur’an
Manajemen Modern plus Mental Super Sabar
Yang selalu ada dan telah menjadi kesepakatan prinsip manajemen modern serta ada titik temunya dengan manajemen Qur’ani terdapat dalam dua poin penting, yaitu bekerja berdasar facts finding atau riset, dan bekerja secara terorganisir (Cutlip, Center & Broom, 1987, Grunnig, 1984, Gareth Jones, 1998, Mintzberg, 1994, Griffin, 2007). Dalam meraih sebuah tujuan, modal pertamanya adalah konsep kerja berbasis facts finding melalui pemikiran deduksi dan induksi, yaitu sintesa yang menggabungkan petunjuk teoritis dengan hasil riset empiri yang membumi. Kemudian setelah punya konsep kerja, untuk meraih sebuah tujuan harus ditempuh melalui organizing agar tim kerja yang ada bisa bekerja secara terorganisir.
Namun yang nyaris tidak ada atau sangat jarang dalam kajian manajemen modern –yang membedakan antara manajemen dakwah untuk perubahan sosial dan manajemen modern– adalah sifat kerjasama manajemen dakwah yang berbasis mental ‘super sabar’ dalam ketaatan kepada satu pimpinan. Hasil penelitian manajemen organisasi tahun 2012 terhadap perusahaan-perusahaan besar dunia oleh sebuah lembaga manajemen Amerika menemukan bahwa banyak karyawan maupun tenaga professional melakukan turn-over atau konsisten di kantor lama, hanya karena teman dekat mereka turn-over atau konsisten di sebuah perusahaan.
Jika fenomena tersebut dianalisis, ternyata dalam sebuah pertemanan akrab itu terdapat fondasi shock absorber yang bisa meredam friksi, atau dengan kata lain perselisihan menjadi diabaikan demi persahabatan. Sehingga demi persahabatan biasanya akan memunculkan sikap tetap ‘sabar’ untuk bekerja rutin seperti biasa.
Tanpa menunggu hasil penelitian masyarakat manajemen HRD Amerika tadi, ternyata teori normatif al-Qur’an menetapkan bahwa jika ingin menang dalam bermanajemen maka para personil manajemen harus punya mental sabar lebih tinggi dari kesabaran yang biasa-biasa saja. Ada penegasan juga dalam setiap kerjasama tentu akan membutuhkan kesabaran agar tetap ada perekat persatuan dan kesediaan saling membantu. Tapi jika ingin menang atau unggul dalam manajemen atau dari produk kerjasama manajemen tim ‘pesaing’, maka yang harus tersedia adalah bukan sekedar kesabaran biasa tapi harus lebih dari itu, yaitu kesabaran di atas kesabaran atau super sabar (QS.3:200). Sebab hanya mental super sabar inilah yang akan dijamin Tuhan dengan ucapan la’allakum tuflihun (agar kalian beruntung), yang secara rahasia grammar bahasa al-Qur’an kata “la’alla “ dalam ayat ini adalah harapan yang mendekati makna pasti akan datangnya kemenangan bagi pengamalnya.
Manajemen Berbasis Pengetahuan Mendalam
Thinking strategically base on grounded and global facts finding yang diperintahkan oleh al-Qur’an didasari atau diawali dengan pengenalan dua kategori masyarakat, yaitu masyarakat manusia umum yang disebut nas dan kelompok minoritas perubah keadaan yang disebut dengan minkum (QS.3:104,110). Sebutan nas ditujukan kepada masyarakat umum yang plural termasuk di dalamnya adalah mereka yang berbeda agama. Sedang sebutan minkum adalah para sahabat nabi, sebagaimana yang disebutkan dalam surat Ali Imron (3): 104 serta dalam hadis; Khairukum man ta’alama al-Qur’an wa ‘alamahu (sebaik-baik kalian adalah yang mempelajari al-Qur’an dan mengajarkannya) (Sahih Bukhari, No. 4639).
Sebagai kelompok minoritas yang harus membawa perubahan, kelompok ‘minkum’ adalah kelompok inti yang harus terorganisir dan siap dengan dua cabang tugas; (1) tugas berperang melindungi misi rahmatan lil‘alamin dengan resiko berkorban harta dan nyawa, (2) tugas belajar dan mengajarkan Qur’an hingga tingkat mendalami pengetahuan cara hidup Islam atau tafaquh fi ad-din al-Islam.
Yang perlu dibahas khusus dari tugas untuk kelompok ‘minkum’ adalah rahasia semiotika dan morfologi pesan Qur’an maupun pesan nabi yang melandasi tugas mendalami pengetahuan cara hidup Islam atau tafaquh fi ad-din al-Islam. Secara teks formal, perintah tafaquh atau mendalami adalah terhadap tema pengetahuan yang disebut din secara utuh. Tidak dinyatakan dalam bentuk hanya untuk mendalami salah satu dari cabang ilmu yang populer dalam Islam seperti adab, syari’ah, tarbiyah, ilmu alam, falaq, kimia, dan berbagai ilmu lainnya.
Secara konsep, din merupakan kata yang sarat makna lengkap dengan kompleksitas yang menyertainya, karena konsep din merujuk kepada ‘cara hidup’ atau ‘adat hidup’yang dianut oleh sebuah kolektif (Abd Ghoni & Mansoor, 2006:18). Secara morfologis, kata din satu akar kata dengan dain yang berarti hutang. Sehingga makna din akan berkembang menjadi cara atau adat hidup yang harus dilunasi secara total dalam kehidupan bermasyarakat. Cara hidup yang harus ditunai atau dilunasi itu tiang pokoknya adalah shalat, dan perekat horisontalnya adalah zakat. Sehingga karakter khas dari cara hidup yang dibentuk nantinya bukan hanya kolektifitas dalam sholat saja, tapi juga kolektifitas dalam resistensi ekonomi minimal bersama melalui zakat (QS.98: 9-12).
Dalam kajian perubahan sosial, merubah‘cara hidup’atau ‘adat hidup’ akan melalui proses pembentukan yang lebih kompleks dari proses membuat gedung atau mobil canggih. Pemahaman tentang bagaimana ‘adat hidup’ atau ‘cara hidup’ terkonstruksi, dianut, maupun diubah hanya bisa difahami melalui pengetahuan tentang transformasi budaya di sebuah masyarakat. Yaitu bagaimana sebuah payung dunia gagasan yang terdiri dari norma, nilai, keyakinan-keyakinan, pengetahuan, dan ketrampilan yang mapan bisa mengalami perubahan atau transformasi.
Sebuah budaya dapat berubah dari satu bentuk kepada bentuk baru melalui proses transisi cepat maupun evolutif minimal oleh tiga sebab (Brent D Ruben & Lea P. Stewart, 2006: 324-353). Pertama, karena kreatifitas minoritas anggota masyarakat pemeluknya yang menganggap perlu ada norma dan nilai baru serta mengusung promosi norma dan nilai baru itu. Kedua, karena komunikasi budaya dengan masyarakat lain yang menimbulkan akulturasi. Ketiga, oleh mekanisme struktural yang punya kekuatan koersif atau memaksa melalui peraturan organisasi formal beserta perubahannya oleh merger dan akuisisi atau pengembangan divisi baru seperti biasa terjadi pada perusahaan swasta. Menurut Castels, perubahan budaya akan lebih tegas terjadi jika dimotori oleh perubahan fasilitas komunikasi yang strategis, yaitu yang bisa menyebarkan pesan konten budaya secara masal. Jika teknologi fasilitas komunikasi semakin cepat dan interaktif serta semakin bisa melibatkan banyak orang pada waktu bersamaan, akan semakin dapat memicu lahirnya budaya baru dalam berbagai aspek kehidupan.
Contoh dari cabang perubahan budaya yang bisa terjadi adalah perubahan dalam budaya politik, budaya kehidupan sehari-hari dan budaya di tempat kerja. Polandia yang dulunya negeri sosialis bisa berubah menjadi negeri liberal setelah ada norma dan nilai baru yang diusung dan dipromosikan oleh Lech Walensa. Jepang yang sebelum perang dunia ke-dua sangat berciri nilai dan gaya hidup yang memegang kuat tradisi, kemudian hanya dalam 20 tahun bisa menjadi berubah besar bergaya hidup barat berbasis teknologi. Bisnis perbankan di Indonesia yang dulunya penuh dengan orang berseragam rok super mini, dalam 20 tahun berubah menjadi berjilbab atau berkerudung setelah di Indonesia berkembang perbankan syariah yang inklud dengan peraturan-peraturan syariah kepegawaiannya.
Lebih dari itu, perubahan din yang ditargetkan terjadi oleh para juru dakwah bukanlah sekedar perubahan budaya seperti yang tadi dicontohkan terjadi di gerakan buruh Polandia, budaya gaya hidup Jepang, atau budaya kerja bisnis perbankan Indonesia. Proses perubahan din dalam arti budaya beragama Islam lebih mendalam dibanding sekedar perubahan budaya kerja berperilaku hidup sehari-hari dalam politik atau bisnis. Karena dalam mempromosikan dan mentransformasi din tidak akan cukup berhenti pada tahapan munculnya praktik perilaku tertentu yang disebut agamis.
Sebagai budaya hidup beragama, din al-Islam tidak bisa berhenti pada tahap eksisnya Islam sebagai working culture atau rujukan perilaku nyata, tapi lebih dari itu din al-Islam harus mencapai tahap living atau ‘hidup’ sebagai agama pribadi-pribadi di dalam dada pemeluknya. Ditandai dengan bentuk respon psikologi berdimensi ukhrawi atau pro dunia eksternal terhadap institusi atau nilai-nilai agama yang telah menjadi konten budaya masyarakat. Respon psikologis terhadap institusi adalah cara berfikir dan berperasaan setiap orang ketika menafsirkan nilai-nilai ideal yang terdapat dalam institusi atau pranata budaya perilaku untuk melandasi perilaku mereka (Mills & Gerth, 1953:157-164).
Dari cara respon psikologis terhadap institusi akan ada warna pembeda antara praktik ibadah yang dilandasi niat dan dibarengi semangat dibanding yang sekedar ritualistik atau konform robotik terhadap perintah perintah agama. Karena praktik hidup beragama atau praktik mendeduksi budaya hidup beragama menjadi perilaku harus diisi dengan semangat agar bisa memperjalankan jiwa-jiwa dari pengamalnya untuk bisa kenal dan mendekat kepada Tuhannya. Praktik beragama bukanlah praktik ritualistic robotic yang konform tanpa makna, tidak pula‘riya’ dunia, melainkan berjiwa kecintaan dan harapan pertemuan dengan zona naungan Tuhan (QS. 2:46). Singkatnya, dakwah atau upaya mempromosikan din al-Islam sebagai budaya belum tuntas jika hanya menjadikan Islam sebagai working culture atau rujukan verbal perilaku permukaan, melainkan harus sampai kepada tahap menjadikan Islam sebagai living culture atau perilaku permukaan yang disertai semangat beribadah yang menyala di dalam dada pemeluknya.
Tadi telah disebutkan bahwa perubahan budaya secara alami dapat terjadi karena tiga sebab; sebab adanya komunikasi lintas budaya, sebab adanya pemaksaan kekuasaan, dan sebab adanya promosi oleh minoritas kreatif. Dalam kajian lebih serius, proses yang sebenarnya tidak sesederhana seperti yang diwakili oleh tiga sebab tadi. Sebab, sebuah proses perubahan budaya tentu akan melibatkan transformasi teknologi yang memicu perubahan gaya hidup dan metoda komunikasi yang mengantarai transmisi budaya. Kemudian secara kausa hirarkis akan dilanjutkan kepada tahap melibatkan efektif atau tidaknya transmisi pesan komunikasi yang membawa atau mempromosikan konten budaya baru. Selain itu juga akan melibatkan pola respon terhadap pesan, serta melibatkan pula proses terbentuknya pola respon itu secara konstruksi sosial dan sebagainya.
Kompleksitas itu akan berlanjut menjadi lebih banyak lagi, yang harus difahami bahwa tugas membawa transformasi tidak cukup terhenti hingga munculnya payung budaya yang mempola perilaku masyarakat penganutnya. Tapi harus dilanjutkan kepada membentuk dan menyalakan lampu-lampu jiwa dalam setiap pribadi, agar menjadi menyala dan dekat dengan Tuhannya – sebagaimana seharusnya terjadi dalam pembudayaan din al-Islam ditengah masyarakat.
Dari situlah, pengertian tafaquh fi ad-din bukanlah sekedar mendalami ilmu-ilmu praktik agama saja, tapi ia adalah mendalami ilmu ‘mendalam’ yang bisa digunakan untuk metransformasi dan memapankan cara hidup, yang berarti juga harus mendalami berbagai disiplin ilmu-ilmu pendukung lainnya. Menjadi wajar jika tafsir Ibnu Ashur menjelaskan bahwa tafaquh fi ad-din adalah upaya belajar ilmu yang berstrata susah payah. Sebab tafaquh fi ad-din terkait ilmu yang nantinya bisa untuk memikul tugas berat melanjutkan dakwah mengusung misi utama rasulullah sebagai transformer sosiologis kepada masyarakat rahmatan lil‘alamin (QS.9:122, 90:18-22, 21:117).
———————————————–
Dikutip dari buku:
Strategi Dakwah Era Demokratisasi (Pemikiran Muhammad Anis Matta), Penulis: Nur Ariyanto, M.S.I, Penerbit: YGIMK Press tahun 2017. ——- dapatkan buku tersebut di www.madanicorner.com