Mau Menikah? Berikut Ini Cara Mempersiakan Rumah Tangga Islami (Bagian2)
5. Persiapan Sosial
Persiapan sosial yang dimaksudkan adalah sebentuk kemampuan berinteraksi dengan masyarakat secara wajar dan optimal. Persiapan ini tidak bisa ditinggalkan, lantaran dalam kehidupan rumah tangga senantiasa dituntut interaksi sosial di tengah masyarakat yang luas. Tatkala status seorang laki-laki masih bujang, ia menjadi anggota sebuah keluarga, beban sosial biasanya tidak bertumpu padanya, tetapi masih kepada orangtuanya. Demikian juga dengan wanita tatkala berstatus gadis, nyaris ia tidak memilki beban sosial yang berarti.
Bahkan pada kalangan pelajar dan mahasiswa yang tinggal di kos (pondokan), kehidupan mereka di tengah masyarakat sekitar kos seakan-akan hanya menumpang tinggal saja. Interkasi sosial tidak terjadi secara utuh layaknya warga masyarakat. Mereka teralienasi dari kehidupan masyarakat, lantaran dipersepsi sebagai kelompok menara gading yang jauh dari jangkauan masyarakat. Mereka tidak diikutsertakan dalam rapat warga RT atau RW, mereka tidak mendapat jatah ronda malam, mereka tidak dilibatkan dalam kerja bakti, pertemuan Dasa Wisma, ariasn ibu-ibu PKK, dan seterusnya. Padahal mahasiswa tinggal di daerah tersebut (tempat kos) bisa bertahu-tahun lamanya.
Kehidupan rumah tangga “memaksa” adanya interkasi sosial, sebagai lembaga keluarga membuat adanya mishdaqiyah ijtima’iyah (pengakuan sosial). Kredibilitas sosial amat diperlukan bagi setiap rumah tangga islami, bukan saja untuk kebaikan suasana interaksi dan kesehatan sosial mereka,lebih dari itu lantaran ada proyek dakwah dalam setiap interaksi sosial tersebut. Apabila tidak ada kesiapan sosial dari calonsuami maupun calon istri sebelum memasuki jenjang rumah tangga, niscaya mereka akan mengalami peristiwa “gagap sosial”,yaitu adanya kecanggungan dalam berinteraksi dengan masyarakat luas.
Untuk itulah pembiasan diri dalam kegiatan sosial amat diperlukan setiap anggota keluarga, baik laki-laki maupun wanita, agar mereka memiliki kemampuan beinteraksi secara sehat dan wajar dengan masyarakat.
6. Melaksanakan Pernikahan Sesuai Tuntunan Islam
Setelah menentukan pilihan dan melaksanakan khitbah (meminang), maka segera dilaksanakan pernikahan sesuai dengan tata cara dan etika yang telah diatur dalam Islam. Lantaran yang dibangun adalah rumah tangga Islami, mustahil memulainya dengan cara-cara yang tidak Islami. Tujuan yang mulia harus ditempuh dengan cara-cara yang mulia pula.
Rentang waktu antara masa perkenalan hingga menetapkan pilihan dan memproses khitbah janganlah terlalu lama sebab hal itu akan mendatangkan fitnah dan mafsadah (keburukan). Mengenal calon suami atau calon istri amat diperlukan untuk bisa memahami dan mengetahui berbagai hal yang diperlukan untuk kebaikan rumah tangga nantinya. Akan tetapi jangan berpikir bahwa harus mengetahui segala sesuatu dari calon suami atau istri, sebab hal itu: (1) tidak mungkin terjadi; (2) memakan waktu yang lama; (3) memudahkan jatuh dalam perbuatan dosa (pacaran)
Setelah mengenal dan akhirnya mantap dalam pilihan melalui istikharah, segera dilaksanakan peminangan resmi. Jarak antara meminang dan aqad nikah jug jangan terlalu lama, karena dikhawatirkan muncul fitnah pada kedua belah pihak. Ketidakmampuan kedua belah pihak untuk mengendalikan diri selama masa menunggu dari khitbah hingga aqad nikah akan berdampak terturutkannya hawa nafsu, sehingga berbagai larangan Islam digampangkan untuk dilanggar. Hal inilah yang harus dijaga agar tidak sampai terjadi.
Banyak dijumpai dalam masyarakat kita, prosesi pernikahan yang cenderung merupakan peristiwa sosial semata-mata, lepas dari kerangka ritual. Tidak mengherankan jika kemudian yang digelar adalah acara-acara yang membawa nilai kemaksiatan di dalamnya, bahkan tak jarang menjurus kepada syirik. Belum lagi nilai pesta yang berlebih-lebihan dan banyak membawa kemubaziran.
Pernikahan hendaknya berlangsung sesuai tuntuanan syariat, sejak dari terpenuhinya rukun dan syarat pernikahan, pelaksanaan khitbah (meminang) yang islami, pelaksanaan aqad nikah yang syar’i, sampai upacara walimah yang islami. Berbagai hiburan yang diadakan pada saat resepsi walimah hendaknya tak ada yang melanggar aturan agama. Rias pengantin wanita juga tidak sampai menjurus kepada pelanggaran larangan dandanan bagi wanita muslimah.
Hal ini penting untuk dikemukakan mengingat pernikahan islami adalah gerbang memasuki rumah tangga islami. Jika dibuat pemahaman balik, pernikahan yang tidak islami cenderung mengantarkan pelakunya menuju rumah tangga yang juga tidak islami.
7. Ketundukan terhadap Ketentuan Allah
Ketundukan pada wilayah syariat menjadi kata kunci berikutnya dari cara menumbuhkan kecintaan dan kebahagiaan dalam rumah tangga islami. Ketiadaan sikap tunduk pada ketentuan Allah akan memunculkan dominasi hawa nafsu, yang justru akan menjauhkan rasa cinta dari manusia, dan pada akhirnya menjauhkan pula rumah tangga dari ketenteraman.
Sejak awal memasuki kehidupan rumah tangga, suami-istri harus memiliki kesiapan untuk tunduk pada ketentuanAllah. Dengan bekal ini, maka akan mudah memecahkan semua permasalahan yang akan muncul dalam kehidupan rumah tangga, sekaligus memudahkan kedua belah pihak untuk menyamakan visi sehingga arah bahtera kehidupan tak menyimpang, apalagi sampai tersesat.
Bukti ketundukan kepada ketentuan Allah ini misalnya dalam pola interaksi sebelum terjadinya pernikahan. Ada batasan-batasan yang jelas dalam Islam bagi laki-laki dan wanita sebelum menikah, seperti tuntunan ghadhul bashar (menjaga pandangan) agar tidak mengarah pada terjadinya fitnah, larangan berkhalwat (berdua-duaan laki-laki dan wanita yang bukan mahramnya), dan larangan melakukan perbuatan-perbuatan yang mendekati zina secara umum.
Apabila seorang laki-laki membujuk rayu wanita untuk melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan tuntunan syariat, maka wajib bagi wanita untuk menolaknya secara tegas. Demikian pula berlaku sebaliknya. Apabila kedua belah pihak, baik laki-laki maupun wanita, sama-sama tidak memiliki sikap tunduk terhadap aturan Allah, yang terjadi hanyalah pelanggaran demi pelanggaran, dosa demi dosa, maksiat dan terus maksiat. Rumah tangga macam apakah kiranya yang akan terbentuk dari pola hubungan semacam itu?
Pada saat keluarga menghadapi berbagai macam permasalahan kehidupan, ketundukan pada ketentuan Allah merupakan jaminan terselesaikannya masalah tersebut dengan baik. Banyak permasalahan keluarga yang tatkala diselesaikan ternyata malah membawa permasalahan baru yang lebih besar. Dominasi nafsu manusia atas problematikanya sendiri ternyata tidak mampu menemukan solusi terbaik. Hanya Islam yang akan senantiasa memberikan solusi terbaik atas setiap masalah.
Namun, tidak boleh terjatuh dalam hal-hal yang berlebih-lebihan dalam memahami sesuatu yang diatasnamakan syariat. Pada konteks muamalah, yang harus diperhatikan adalah batas-batas larangan, artinya selama tidak ditemukan larangannya maka hal tersebut dibolehkan. Tentu saja dengan mempertimbangkan aspek kemanfaatan dan kemudharatan lainnya.
Sebagai contoh dalam hal ini adalah hubungan lawan jenis antara laki-laki dan wanita yang bukan mahramnya. Seakan-akan antara laki-laki dan wanita sama sekali tidak ada peluang untuk berinteraksi dalam bentuk apapun menurut syariat. Seakan-akan pernikahan islami itu harus terjadi tanpa saling kenal-mengenal, tanpa proses, tanpa kecenderungan hati, dan tanpa kecintaan. Seakan-akan Islam telah mengharamkan segala bentuk titik temu laki-laki dengan wanita dalam muamalah. Seakan-akan hokum dari segala interaksi laki-laki dan wanita adalah haram. Seakan-akan syariat Islam telah menolak selera kemanusiaan untuk menentukan calon istri atau calon suami. Benarkah kesan-kesan seperti ini?
Seringkali, pemahaman yang ekstrem semacam itu merupakan perlawanan dari kenyataan bebasnya pergaulan laki-laki dan wanita pada saat ini. Antitesis (pertentangan secara frontal) semacam ini terkesan kaku dan berorientasi hitam putih, karena keadaan yang dilawan memang terlampau ekstrem dalam penyimpangannya. Akan tetapi tentu saja tidak bisa ekstremitas dilawan dengan ekstremitas pada sisi yang berlawanan diametral, sebab Islam memang agama yang mengajarkan prinsip keadilan, keseimbangan, serta pertengahan.
Sesungguhnyalah Islam itu agama fitrah yang tidak pernah membunuh fitrah kemanusiaan. Bahwa laki-laki punya kecenderungan dan ketertarikan kepada wanita, dan sebaliknya wanita punya kecenderungan kepada laki-laki, adalah bagian fitrah manusia yang tidak diingkari Islam. Untuk itulah Islam tidak pernah membunuh perasaan seperti ini, tetapi menyalurkannya sesuai dengan syariat yang suci. Islam membuat rambu-rambu agar tak dilanggar, dengan patokan-patokan yang jelas.
Ibnu Abbas pernah menceritakan bahwa suatu ketika Nabi saw mengirim satu pasukan. Saat kembali mereka mendapatkan rampasan perang, yang diantaranya terdapat seorang laki-laki. Laki-laki itu berkata, “Saya bukan termasuk golongan mereka. Aku hanya jatuh cinta kepada seorang wanita, lalu aku mengikutinya, kemudian silakan Anda lakukan apa yang Anda inginkan.”
Laki-laki ini datang kepada seorang wanita yang bertubuh tinggi berkulit coklat, sembari bersyair:
Menyerahlah engkau orang Hubaisy
sebelum hidupmu melayang
bagaimana pendapatmu
seandainya aku mengikutimu
dan kutemui engkau
di sebuah rumah kecil suatu kaum
atau kutemui engkau
di lembah sempit antara dua gunung
apakah tidak dibenarkan
telah tiba saatnya
orang yang jatuh cinta berjalan
pada awal malam, tengah malam, dan tengah hari?
Wanita itu menjawab, “Wahai, aku sambut. Aku tebus dirimu!”
Mereka mengajukan laki-laki itu dan menebas lehernya. Lalu datanglah si wanita, dan jatuh diatasnya. Ia menarik nafas sekali atau dua kali, kemudian meninggal dunia.
Setelah mereka bertemu Nabi saw dan menceritakan kejadian tersebut, beliau bersabda, “Apakah diantara kalian tidak ada orang yang penyayang?” (HR. Ath-Thabrani)
Abdul Halim Abu Syuqah berkomentar, “Hadits ini menunjukkan perasaaan cinta –jika tidak mendatangkan mafsadah- tidak berdosa. Perhatikan bagaimana antusiasme para sahabat untuk menginformasikan kepada Rasulullah saw tentang kisah dua sejoli yang dilanda cinta itu. Perhatikan pula bagaimana Rasulullah saw mendengarkan ceritanya dengan lengkap, kemudian beliau menampakkan belas kasihannya kepada dua sejoli itu, sembari menyalahkan perbuatan sahabat-sahabatnya, “Apakah di antara kalian tidak orang yang penyayang?”
Lebih lanjut tentang cinta lawan jenis ini Abu Syuqah menuliskan, “Sesungguhnya cinta laki-laki kepada wanita dan cinta wanita kepada laki-laki adalah perasaan yang manusiawi, yang bersumber dari asal fitrah yang diciptakan Allah di dalam jiwa manusia, yaitu kecenderungan kepada lawan jenisnya ketika telah mencapai kematangan pikiran dan fisiknya. Kecenderungan ini –beserta hal-hal yang mengikutinya, yang berupa cinta- pada dasarnya bukanlah sesuatu yang kotor, karena kekotoran atau kesucian itu tergantung pada bingkai tempat bertolaknya. Ada bingkai yang suci dan halal, ada bingkai yang kotor dan haram. Cinta itu adalah perasaan yang baik dengan kebaikan tujuannya, jika tujuannya adalah nikah. Satu pihak menjadikan pihak lainnya sebagai teman perjalanan dan teman hidupnya. Kalau begitu, maka alangkah bagusnya tujuan ini.”
Demikianlah fitrah Allah yang berlaku atas makhluk-Nya. Tidak untuk dibunuh, tidak untuk dimatikan, tidak untuk dinafikan, dan tidak untuk diingkari. Tetapi untuk dijaga, ditumbuhkan dalam wadah kebajikan dan kesucian nilai, bahkan untuk disebarluaskan.