Mau Menikah? Berikut Ini Cara Mempersiapkan Rumah Tangga Islami (Bagian 1)

Rumah tangga Islami dibentuk melalui peristiwa pernikahan laki-laki muslim dengan wanita muslimah. Oleh karena itu, untuk memepersiapkan terbentuknya rumah tangga islami tersebut, tidak bisa tidak harus dimulai dengan berbagai macam persiapan menjelang pernikahan.
Persiapan amat penting dalam segala kegiatan, apapun kegiatan itu, termasuk di dalamnya berkeluarga. Agar bisa mencapai kriteria rumah tangga islami, beberapa persiapan berikut perlu dilakukan oleh calon suami maupun calon istri.
1. Persiapan Ruhiyah, Ilmiah, dan Jasadiyah
Persiapan secara mental (Ruhiyah), dimaksudkan sebagai usaha untuk memantapkan langkahmenuju kehidupan rumah tangga, agar tidak gamang menghadapi berbagai macam kondisi yang akan dilalui setelah menikah, Mereka yang akan memasuki gerbang pernikahan, harus siap dengan banyaknya beban, siap menghadapi cobaan kehidupan dansiap menyelesaikan masalah.Pada beberapa orang, pernikahan hanya dipersepsikan dari sisi-kesenangan-kesenanganyang akan diperoleh, tanpa mempertimbangkan berbagai masalah yang pasti akan muncul dalam kehidupan rumah tangga. Apabola memasuki kehidupan keluarga dengan cara pandang tersebut, maka dikhawatirkan tidak terjadi kesiapan menatal yang memadai untuk menghadapi berbagai gelombang masalah kehidupan.
Persiapan Ilmiyah, dimaksudkan untuk mengetahui berbagai seluk-beluk hukum, etika dan berbagai aturan berumah tangga. Dalam masyarakat kita, ternyata banyak terjadi pasangan suami istri yang memasuki kehidupan berumah tangga tanpa berbekal pengetahuan memadai tentang hukum-hukum kerumah tangga-an. Sebagai contoh, masih banyak yang belum mengetahui tatacara mandi janabat, tidak mengetahui etika berhubungan suami istri dan tata cara membersihkan najis dan sebagainya.
Yang lebih prinsip dari itu, persiapan ilmiyah dimaksudkan sebagai langkah penting untuk mendapatkan tashawur (gambaran ), yang jelas dan benar menegani pernik-pernik rumah tangga islami. Dengan pemahaman yang baik, segala sisi yang akan menjaga danmenguatkan karakter keislaman rumah tangga lebih bisa didapatkan.
Persiapan Jasadiyah, dimaksudkan agar memiliki kesehatan yang memadai sehingga mampu melaksanakan fungsi diri sebagai suami atau istri secara optimal. Penjagaankesehatan memang amat penting bagi kaum muslimin, karena harga kesehatan amatlahmahal dan tidak akan dapat dinilai dengan materi. Kesehatan reproduksi merupakan salahsatu sisi yang senantiasa harus mendapatkan porsi perhatian bagi suami maupun istri,selain tentu saja kesehatan dalam arti umum dan luas.
Olahraga, konsumsi halal dan thayib, istirahat teratur, pola makan teratur dan penjagaankebersihan badan merupakan upaya menuju kebaikan dan kebugaran fisik. Banyaknya penyakit fisik -apabila ada dalam kehidupan rumah tangga- otomatis akan menggangguketenangan dan kebahagiaan hidup.
2. Memilih Istri atau Suami Sesuai Kriteria Agama
Islam mengajarkan kepada kaum laki-laki, agar dalam memilih istri mempertimbangkan empat fakltor: kekayaan, kecantikan, keturunan, dan agama. Hanya saja faktor agama wajib menjadi landasan pemilihan, sebelum mempertimbangkan tiga faktor lainnya. Ketika agama telah menjadi ukuran, maka kecantikan , kekayaan, dan keturunan adalah factor tambah yang akan turut andil dalam memunculkan dan mengekalkan kecintaan suami-istri dalam rumah tangga.
Islam amat memperhatikan sisi-sisi fitrah kemanusiaan umatnya. Ungkapan Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam mengenai alas an dinikahiya wanita, “Wanita dinikahi karena empat hal: karena hartanya, karena kedudukannnya, karena kecantikannya, dan karena agamanya. Maka beruntunglah yang memilih wanita karena agamanya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ungkapan beliau “Lijamaliha, limaliha, atau lihasabiha” merupakan buktui perhatian tersebut.Kecantikan, kekayaan, dan keturunan merupakan daya pikat yang menjadikan kaum laki-laki tertarik pada wanita. Bukan termasuk haram apabila laki-laki muslim memilih wanita muslimah yang cantik. Seandainya memilih wanita cantik itu dilarang tentu telah ada dalil pelarangannya, dan tak akan ada tiga alasan lain dinikahinya wanita di luar alasan agama.
Hanya saja, kecantikan fisik itu tidak ada standarnya. Adalah amat abstrak dan relatif penggambaran tentang kata cantik. Di setiap Negara atau etnis, penggambaran tentang cantik akan senantiasa berbeda. Bahkan, setiap laki-laki memiliki persepsi yang berbeda tentang kecantikan. Oleh karena itulah, tidak tepat menjadikan kecantikan sebagai satu-satunya tolak ukur memilih istri.
Sebagaimana memilih istri, maka bagi wanita pertimbangan memilih atau menerima pinangan calon suami landasan utamanya juga harus factor agama.Laki-laki yang bertaqwa lebih layak untuk menjadi pendamping wanita bertaqwa. Adapun ketampanan, kekayaan, dan keturunan akan menjadi faktor tambah yang akan dapat memperkuat kecintaan.
Wanita memililki kebebasan untuk memilih calon suami, dan tidak diperbolehkannya adanya paksaan dalam masalah pernikahan. Abu hurairah menceritakan bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,
“Tidak boleh dinikahkan seorang janda hingga dia diajak musyawarah, dan tidak boleh dinikahkan seorang gadis hingga ia diminta izinnya.”Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana izinnya?”Jawab beliau, “Yaitu jika ia diam saja.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Aisyah berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya wanita itu pemalu.”Beliau menjawab, “Kerelaannya ialah kalau ia diam saja.” (HR. Bukhari)
Ibnu Abbas juga pernah menceritakan bahwa seorang wanita perawan datang kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, lalu memberitahukan bahwa ayahnya telah mengawinkannya padahal ia tidak suka, maka Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam memberikan hk kepadanya untuk memilih. (HR. Abu Daud)
Ibnu Abbas bercerita bahwa seorang laki-laki datang kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, lalu berkata, “Kami memelihara seorang anak perempuan yatim, lalu ia dilamar oleh seorang laki-laki miski dan seorang laki-laki kaya. Ternyata anak itu suka pada yang miskinm padahal kami suka yang kaya.” Maka Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak terlihat diantara dua orang yang saling mencintai seperti perkawinan.” (HR. Ibnu Majah)
Hadits ini menunjukkan dua hal. Pertama kecenderungan hati dua orang laki-laki tersebut kepada seorang wanita sehingga mereka datang untuk meminangnya. Kedua, gadis tersebut lebih memiliki kecenderungan mencintai laki-laki yang miskin, sebagai hak dia untuk menentukan pilihan atas dua lamaran yang datang. Kecenderungan hati dan perasaan cinta yang ada pada mereka bukanlah yang tertolak syariat, karena mereka melaksanakan tata cara yang islami dalam menempuhnya.
Wanita juga diperbolehkan untuk menawarkan dirinya kepada laki-laki sholih untuk dinikahi, sebagaimanaseorang wanita yang datang pada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, “Wahai Rasululllah, apakah engkau berhasrat kepadaku?” Dalam riwayat yang lain, wanita itu berkata, “Wahai Rasulullah, aku datang untuk memberikan diriku kepadamu.” (HR. Bukhari)
Mengenai wanita yang menawarkan diri tersebut, Al-Hafizh Ibnu Hajar berkta, “Wanita yang menginginkan kawin dengan laki-laki yang lebih tinggi kedudukan dari dirinya tidak tercela sama sekali.Lebih-lebih jika terdapattujuan yang benar dan niat yang baik, mungkin karena kelebihan agama laki-laki yang dipinangnya atau karena ia cinta kepadanya yang kalau didiamkan dikhawatirkan akan terjatuh ke dalam hal-hal yang terlarang.”
Adalah hal yang wajar bahwa seorang wanita muslimah memilih calon suami yang tampan, kaya, dan dari keturunan yang baik, sebab memang tidak ada larangannya dalam Islam. Hanya saja akan menjadi salah, apabila kekayaan atau ketampanan menjadi tolak ukur utama untuk menentukanm calon suami. Sebagaimana kecantikan, maka ketampanan tidak ada tolak ukurnya, dan bersifat amat relatif.Kekayaan juga amat relatif.
Akhlak calon suami lebih layak untuk menjadi pertimbangan utama. Jika ketaqwaan telah dijadikan standar pertama, maka hal-hal lain di luar itu adalah tambahan yang diharapkan bisa menambah kebaikan keluarga yang nantinya akan terbentuk.
3. Memahami Hakikat Pernikahan dalam Islam
Abu Bakar Jabir Al Jazairy dalam kitab Minhajul Muslimin menyebutkan bahwa pernikahan adalah aqad yang menghalalkan kedua belah pihak laki-laki dan perempuan untuk bersenang-senang satu dengan lainnya. Dengan demikian, pernikahan bisa dipahami sebagai: aqad untuk beribadah kepada Allah, aqad untuk menegakkan syariat Allah, aqad untuk membangun rumah tangga sakinah mawaddah warahmah.
Pernikahan juga aqad untuk meninggalkan kemaksiatan, aqad untuk saling mencintai karena Allah, aqad untuk saling menghormati dan menghargai, aqad untuk saling menerima apa adanya, aqad untuk saling menguatkan keimanan, akad untuk saling membantu dan meringankan beban, aqad untuk saling menasehati, aqad untuk setia kepada pasangannya dalam suka dan duka, dalam kefakiran dan kekayaan, dalam sakit dan sehat.
Pernikahan berarti aqad meniti hari-hari dalam kebersamaan, aqad untuk saling melindungi, aqad untuk saling memberikan rasa aman, aqad untuk saling mempercayai, aqad untuk saling menutup aib, aqad untuk saling mencurahkan perasaan, aqad untuk saling berlomba menunaikan kewajiban, aqad untuk saling memaafkan kesalahan, aqad untuk tidak menyimpan dendam dan kemarahan, aqad untuk tidak mengungkit-ungkit kelemahan, kekurangan, dan kesalahan.
Pernikahan adalah aqad untuk tidak melakukan pelanggaran, aqad untuk tidak saling menyakiti hati dan perasaan, aqad untuk tidak saling menyakiti badan, aqad untuk lembut dalam perkataan, aqad untuk santum dalam pergaulan, aqad untuk indah dalam penampilan, aqad untuk mesra dalam mengungkapkan keinginan, untuk saling mengembangkan potensi diri, aqad untuk saling keterbukaan yang melegakan, aqad untuk saling menumpahkan kasih sayang, aqad untuk saling merindukan, aqad untuk tidak adanya pemaksaan kehendak, aqad untuk tidak saling membiarkan, aqad untuk tidak saling meninggalkan.
Pernikahan juga bermakna aqad untuk menebarkan kebajikan, aqad untuk mencetak generasi berkualitas, aqad untuk siap menjadi bapak dan ibu bagi anak-anak, aqad untuk membangun peradaban, aqad untuk segala yang bernama kebaikan.
4. Persiapan Material
Tidak bisa dipungkiri bahwa persiapan meniti rumah tangga islami adalah berbentuk materi, dalam upaya menggapai kebaikan keluarga salah satu factor bantu yang tidak bisa ditinggalkan adalah materi. Contoh yang paling mudah adalah jika kita hendak menunaikan shalat, maka harus menutup aurat. Cara menutup aurat tentu dengan berpakaian, sedangkan cara mendapatkan pakaian tentu saja dengan membeli. Dengan demikian untuk bisa menunaikan shalat memerlukan harta. Shalat kita juga tidak khusyu’ apabila dalam keadaan perut yang amat lapar karena beberapa hari tidak makan. Untuk mengenyangkan perut perlu makanan, dan untuk mendapatkan makanan perlu usaha, yang ujung-ujungnya juga memerlukan sejumlah harta untuk mendapatkannya.
Islam telah meletakkan berbagai kewajiban material kepada laki-laki. Untuk itulah kaum laki-laki harus emiliki kesiapan menanggung beban materi dalam kehidupan rumah tangga nantinya. Persiapan materi tidaklah harus dipersepsi menumpuknya sejumlah kekayaan dalam bilangan yang amat banyak. Bukan berarti harus sudah memilikiberbagai macam kelengkapan hidup, seperti rumah sendiri, sepeda motor atau mobil, dan lain sebagainya.
Lebih penting dariitu semuanya adalah kesiapan kaum laki-laki untuk menanggung segala beban ekonomi keluarga. Tolak ukur yang amat materialistis telah membuat sejumlah laki-laki muslim takut menikah lantaran merasa belum memiliki harta yang memadai. Mereka berpikir terlampau jauh, sehingga terbayanglah berbagai beban ekonomi yang nantinya ditanggung tatkala telah berumah tangga. Mereka menunda-nunda pernikahan dengan alas an belum mampu secara ekonomi.
Pada sisi yang lain juga ditemukan sejumlah laki-laki muslim yang asal dapat menikah, tanpa sedikit pun mempertimbangkan factor ekonomi. Dampak yang muncul adalah tidak adanya kesiapan untuk menhadapi beban ekonomi setelah berumah tangga. Akhirnya mereka tetap menggantungkan hidupnya kepada orang lain (orang tua), tanpa ada kesanggupan untuk menyelesaikan sendiri beban-beban ekonomi rumah tangga.
Jalan tengah yang bijak adalah kaum laki-laki menanyakan kepada diri sendiri, “Sudah sanggupkah untuk bekerja dan terus berusaha mendapatkan rezeki Allah yang halal dan thayib?” Selama mereka memiliki kesanggupan bekerja dan berusaha,maka tajk perlu khawatir akan rezeki Allah. Namun jika mereka termasuk pemalas, tak memiliki etos kerja, suka menggantungkan diri pada orang lain, berarti memang belum memilki kesanggupan dan kesiapan dari segi materi.
Demikian juga wanita muslimah harus menanyakan kepada diri sendiri, “Sudah sanggupkah untuk mengelolaharta yang diberikan oleh suami, sebesar atau sekecil apa pun harta itu?” Jika memang telah ada kesanggupan, maka dianggap telah cukup persiapan secara material. Namun apabila mereka tidak sanggup menerima pemberian yang sedikit –atau bahkan jauhdari cukup- dari suami, maunya hanya menerima uang dalam jumlah yang banyak bahkan berlebih, berarti memang belum memiliki kesiapan mengelola dari segi materi. SELANJUTNYA

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.