Membayar Fidyah Pakai Uang, Bagaimana Hukumnya?
Bagi orang yang tak mampu lagi berpuasa karena usia tua atau karena sakit yang tak kunjung diharakan kesembuhannya, maka ia boleh tidak berpuasa dan menggantinya dengan membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin atas setiap hari yang ditinggalakannya.
وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ
“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin.” (QS. Al-Baqarah: 184)
Abdullah bin Abbas Radhiyallahu ‘Anhu berkata, “Ayat ini tidak mansukh hukumnya, yang dimaksudkan adalah pria atau wanita yang berusia lanjut yang tidak mampu berpuasa maka mereka berdua memberi makan satu orang miskin atas satu hari yang ditinggalkan.” (HR. Al-Bukkhari)
Orang sakit yang tak bisa diharapkan kesembuhannya menempati hukum orang tua renta, maka ia memberi satu orang miskin sebagai ganti satu hari puasa yang ditinggalkannya. (Lihat Al-Mughni:4/396, Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi, Syaikh Shalih Al-Fauzan: 390).
Kadar Fidyah
Para ulama berselisih pendapat ukuran/kadar fidyah menjadi tiga pendapat:
Pertama: Sebagian ulama berpendapat ½ sha’ atau 2 mud (karena 1 sha’ adalah 4 mud) yang kira-kira ½ sha’ beratnya 1,5 kg dari makanan pokok.
Kedua: Sebagian yang lain berpendapat 1 mud dari makanan, yaitu kira-kira 750 gram menurut madzhab Malikiyah dan Syafi’iyah sebagaimana diriwayatkan dalam atsar Ibnu Umar Radhiyallahu ‘Anhu.
Dari Malik, dari Nafi’, bahwa Ibnu Umar pernah ditanya tentang seorang wanita hamil yang tidak berpuasa karena kuatir tentang anaknya beliau menjawab, “Dia boleh berbuka dan memberi makan setiap harinya satu orang miskin satu mud dari gandum.” (Dikeluarkan oleh Al-Baihaqi dalm Sunannya (4/230) dari jalannya Imam Syafi’e dengan sanad yang shahih)
Ketiga: Sebagian ulama lain berpendapat mengeluarkan satu porsi makanan yang masak beserta lauk pauknya, ini adalah pendapat Anas bin Malik Radhiyallahu ‘Anhu dimana ketika beliau usia lanjut memberi makan 30 fakir miskin dengan roti dan daging.
Fidyah Pakai Uang
Jumhur ulama mewajibkan untuk dikeluarkan makanan berdasarkan nas Al-Qur’an diatas, namun madzhab Hanafiyah membolehkan membayarkan nilainya. Lebih baik mengambil pendapat jumhur ulama, kecuali jika mengeluarkan sejumlah nilainya lebih mendatangkan maslahat maka tidak mengapa.
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin berkata, “Kita wajib mengetahui satu kaidah penting; yaitu apa yang Allah ‘Azza wa Jalla sebutkan ddengan lafadz al-Ith’am (member makan) atau al-Tha’am (makanan), maka wajib berupa makanan.” Majmu’ Fatawa Ibnu Utsaimin: 19/116)
Kemudian beliau menyebutkan contohnya tentang ayat fidyah dan kafarah sumpah, serta hadits tentang zakat fitrah. Semuanya memakai makanan.
“Dan atas dasar ini, maka orang tua (renta,-pent) yang kewajibannya adalah memberi makan sebagai ganti dari puasa, tidak boleh diganti dengan beberapa dirham. Walaupun dikeluarkan 10 kai lipat dari nilai harganya maka tidak mencukupkannya, karena dia menympang dari nas yang menerangkannya,” tambahnya.
Beliau juga menjelaskan cara pembagiannya. Pertama, orang yang tidak mampu lagi berpuasa bisa membagikan seperempat sha’ beras ke setiap rumah orang miskin disertai dengan lauknya.
Kedua, membuat makanan dan mengundang sejumlah orang yang harus ia beri makan. Misalnya, setelah sepuluh hari pertama Ramadhan ia panggil 10 orang miskin untuk dia beri makan sampai kenyang mengganti dari 10 hari puasa yang ditinggalkannya. Praktek ini seperti yang dilakukan Anas bin Malik Radhiyallahu ‘Anhu saat sudah tua dan tidak kuat berpuasa selama tiga puluh hari lalu ia undang 30 orang fakir miskin di akhir Ramadhan untuk diberi makan. Dan pendapat Anas ini –menurut kami- lebih selamat, tepat, dan sesusai teks nashnya. Wallahu A’lam
– See more at: http://www.voa-islam.com/read/konsultasi-agama/2014/07/14/31619/bayar-fidyah-pakai-uang/#sthash.UkuhQMVI.dpuf