Penjelasan Hadits Tentang Wanita Kurang Akalnya Dan Kurang Agamanya

Abu Sa’id Al Khudri berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pergi ke tempat shalat pada hari raya Adha atau hari raya Fithri. Selanjutnya beliau melewati jamaah wanita, lalu bersabda: ‘Wahai kaum wanita … aku tidak pernah melihat orang-orang kurang akal dan agama mampu melumpuhkan hati seorang laki-laki yang tegas melebihi salah seorang dari kalian.’ Mereka (kaum wanita) bertanya: ‘Apa kekurangan akal dan agama kami, ya Rasulullah?’ Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab: ‘Bukankah persaksian seorang wanita sama seperti setengah persaksian seorang laki-laki?’ Mereka menjawab: ‘Benar.’ Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: ‘Maka di situlah letak kurang akalnya.’ (Kemudian beliau bertanya): ‘Bukankah wanita itu, ketika haid tidak boleh shalat dan tidak boleh puasa?’ Mereka menjawab: ‘Benar.’ Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: ‘Maka di situlah letak kurang agamanya.’” (HR Bukhari dan Muslim)[1]

 

Kita akan menguraikan hadits ini dari tiga sudut.

1. Pengertian Umum

Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “… Aku tidak pernah melihat orang-orang kurang akal dan agama mampu melumpuhkan seorang laki-laki yang tegas melebihi salah seorang dari kalian,” memerlukan kajian dan penelitian, baik segi momentum dikeluarkannya hadits tersebut atau dari segi kepada siapa hadits tersebut ditujukan, maupun dari segi bentuk dan susunan katanya. Hal ini perlu sekali dilakukan untuk mengetahui relevansinya dengan karakteristik wanita.

Dari segi momentum, hadits di atas disampaikan ketika Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memberikan saran dan nasihat kepada kaum wanita pada suatu hari raya. Mungkinkah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sebagai seorang yang berakhlak mulia memejamkan mata terhadap persoalan wanita, menjatuhkan martabat mereka, atau merendahkan nilai kepribadian mereka pada saat yang penuh dengan suka cita itu?

Dari segi kepada siapa hadits itu ditujukan, sudah jelas. Mereka adalah jamaah wanita kota Madinah yang mayoritas kaum Anshar. Mereka digambarkan oleh Umar dalam ucapannya sebagai berikut:

“Tatkala kami tiba di kota Madinah, kami menemukan bahwa yang lebih dominan adalah kaum wanitanya. Lalu wanita-wanita kami meniru adab dan perilaku orang-orang Anshar.”[2]

Hal itu dapat menjelaskan mengapa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan: “Aku tidak pernah melihat orang-orang kurang akal dan agama mampu melumpuhkan hati seorang laki-laki yang tegas melebihi salah seorang dari kalian.”

Adapun dari segi bentuk dan susunan kata hadits, dapat dikatakan bahwa kata-katanya tidak berbentuk taqrir (ketetapan), kaidah, atau hukum umum, tetapi lebih bersifat ungkapan rasa kagum Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam terhadap kontradiksi yang terjadi, yaitu mengenai lebih dominannya kaum wanita –padahal mereka adalah makhluk yang lemah– atas kaum laki-laki yang memiliki sikap tegas. Artinya, kekaguman Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam terhadap hikmah dan rahasia kebijaksanaan Allah meletakkan kekuatan di tempat yang kita duga lemah dan Dia memperlihatkan kelemahan di tempat yang kita duga kuat! Karena itu, kita patut bertanya: “Bukankah hadits yang terdapat dalam nasihat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam itu mengandung sentuhan atau sindiran halus terhadap kaum wanita? Bukankah hal ini merupakan permulaan yang baik pada satu bagian dari nasihat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam?” Seolah-olah beliau ingin mengatakan: “Wahai kaum wanita, kalau kalian diberi kekuatan oleh Allah untuk melumpuhkan hati kaum laki-laki yang tegas, meskipun kalian lemah, maka takutlah kepada Allah dan janganlah kalian menggunakan kekuatan kalian tersebut kecuali untuk hal-hal yang baik dan bermanfaat!” Demikianlah permasalahannya, dan kalimat “orang-orang kurang akal dan agama” itu disampaikan hanya satu kali, guna menarik perhatian. Hal itu pun merupakan pendahuluan yang baik dan halus dalam menyampaikan nasihat, khususnya terhadap kaum wanita. Artinya, hal itu tidak pernah disampaikan secara tersendiri dalam bentuk taqrir, baik di hadapan kaum wanita maupun kaum laki-laki.

2. Pengertian Khusus

Ada beberapa kemungkinan mengenai makna kurang akal dari hadits tersebut, antara lain adalah:
Kekurangan fitrah/alamiah yang bersifat umum, artinya tingkat kecerdasannya menengah saja.
Kekurangan alamiah dalam jenis tertentu; artinya dalam beberapa kemampuan akal khusus, seperti dalam berhitung, daya imajinasi, dan daya nalar.
Kekurangan insidental dalam jenis tertentu yang berjangka pendek. Kekurangan semacam ini terjadi atas fitrah manusia sementara waktu akibat faktor yang bersifat insidental, seperti ketika datang waktu haid, masa nifas, atau masa-masa kehamilan.
Kekurangan insidental dalam bidang tertentu yang berjangka panjang. Kekurangan semacam itu dapat terjadi karena berbagai kondisi kehidupan khusus, seperti sibuk terus dengan masalah kehamilan, melahirkan, menyusukan anak, dan memeliharanya. Hari-harinya dilewatkan di bawah atap rumah saja, tidak pernah meninggalkannya sehingga terputus sama sekali dengan dunia luar. Hal ini membuat mereka semakin tidak memahami berbagai bidang kehidupan serta daya tangkapnya semakin lemah atas masalah-masalah keuangan atau lainnya.

Sesungguhnya contoh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bagi wanita mengenai kurang akal tersebut dapat membantu memperkuat alasan mengenai kekurangan jenis tertentu, baik yang bersifat fitrah/alamiah maupun yang bersifat insidental. Namun demikian, apapun bidang kekurangannya, hal itu tidak akan merusak kekuatan akal atau kemampuan wanita dalam memikul segala tanggung jawabnya yang utama. Sebagian dari tanggung jawab tersebut ada yang lebih dikhususkan untuk wanita, seperti menjaga anak-anak. Tugas semacam itu tidak mungkin diserahkan Allah kecuali kepada makhluk yang normal, dan kita sebagai kaum bapak tidak mungkin mempercayakan putra-putri kita ke dalam naungan manusia yang rusak akal dan agamanya.

Di antara tanggung jawab yang di dalamnya ikut terlibat wanita bersama laki-laki adalah seperti dalam urusan-urusan berikut:
Tanggung jawab kemanusiaan; artinya manusia memikul tanggung jawab apa yang dia kerjakan dan akan diperhitungkan di akhirat kelak. Masalah itu sudah ditetapkan di dalam Al Qur’an.
Tanggung jawab pidana dan memikul hukuman pembalasan di dunia karena perilaku yang menyimpang. Masalah ini juga ditetapkan dalam Al Qur’an.
Tanggung jawab sipil, hak mengelola harta, membuat kontrak/perjanjian, serta membendung/menguasai suatu permasalahan. Hal ini dibenarkan oleh para fuqaha umumnya berdasarkan dalil-dalil dari Al Qur’an dan Sunnah.
Tanggung jawab menentukan keputusan mengenai harta. Hal ini ditetapkan/diakui oleh Abu Hanifah.
Tanggung jawab meriwayatkan Sunnah yang menerangkan Al Qur’an. Hal ini disepakati oleh semua ulama kaum muslimin.

Jika ternyata pengertian yang lebih kuat adalah kekurangan dalam jenis/bidang tertentu, maka tiga kemungkinan terakhir mengenai makna kekurangan akal tersebut dapat saja terjadi, tidak ada kontradiksi diantaranya, bahkan satu sama lainnya saling mempengaruhi.

Dari segi adanya kekurangan alamiah dalam beberapa jenis kemampuan khusus akal, seperti penguasaan masalah keuangan dan angka-angka –yaitu suatu kemampuan yang telah dinyatakan dalam Al Qur’an: “… supaya jika seorang (perempuan) lupa maka seorang lagi mengingatkannya ….” (al-Baqarah: 282)– maka kekurangan seperti ini, jika bukan merupakan sesuatu yang alamiah/bawaan sejak lahir dan sebagai pembeda antara wanita dan laki-laki sebagaimana adanya perbedaan dalam beberapa anggota tubuh, maka ia merupakan sesuatu yang alamiah atau semi-alamiah pada masa setelah usia balig akibat pengaruh perkembangan yang berkaitan dengan organ seks pada masa perkawinan dan setelah menjadi ibu. Artinya, hal itu bersamaan dengan sempurnanya organ seks yang diiringi proses kehamilan, melahirkan, dan menyusukan anak, dari satu sisi, dan bersamaan dengan sempurnanya kehidupan sosial tertentu bagi wanita dari sisi lain.

Yang mendorong kami untuk memegang pendapat ini adalah interaksi yang biasa kita saksikan antara kehidupan biologis dan sosial pada satu sisi dan kehidupan akal pada sisi lain. Di antara gejala interaksi tersebut dapat kita identifikasikan seperti apa yang terjadi ketika wanita memberikan kesaksian –ketika dia dipengaruhi oleh perasaannya– atau ketika menjalani masa-masa yang kurang menyenangkan seperti waktu haid, atau ketika dia menghadapi keadaan berat seperti masa-masa kehamilan, menyusukan, dan memelihara anak, di samping mengurus pekerjaan rumah tangga.

Hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam itu pun mengisyaratkan kekurangan yang dimiliki wanita, tetapi dengan tidak menentukan masanya. Seolah-olah masalah penetapan masanya itu sengaja ditinggalkan agar manusia dapat melakukan ijtihad dan penelitian ilmiah. Namun demikian, dalam masalah ini ada tiga hal yang perlu diperhatikan, yaitu:
Kekurangan jenis dalam salah satu kemampuan khusus mungkin saja diimbangi oleh kelebihan dalam satu atau beberapa kemampuan yang lain.
Kekurangan di sini berkaitan dengan kaum wanita secara umum. Tetapi hal ini bukan berarti tidak adanya beberapa wanita yang dikaruniai Allah kemampuan yang tinggi, bahkan kadang-kadang luar biasa dalam bidang-bidang yang biasanya kaum wanita secara umum lemah dalam bidang-bidang tersebut. Bahkan tidak mustahil wanita-wanita tersebut lebih unggul daripada laki-laki –sebagian besarnya- – dalam bidang-bidang tadi. Ibnu Taimiyyah pernah berkata: “Kelebihan jenis (ras) tidak harus berarti kelebihan seseorang. Barangkali budak hitam dari Habasyah lebih unggul menurut Allah daripada bangsa Quraisy.” Pada bagian lain beliau mengatakan: “Tetapi, pada dasarnya, warga perkotaan lebih unggul daripada warga pedesaan, meskipun kadang-kadang beberapa orang warga desa lebih unggul daripada kebanyakan orang kota.”[3]
Apabila kekurangan jenis yang alami atau insidental itu terjadi karena fungsi beberapa anggota badan sebagaimana yang telah ditetapkan Allah atas anak cucu Adam yang wanita –hal itu merupakan sesuatu yang baik dan dapat membantu laki-laki dan wanita melaksanakan perannya dalam kehidupan– maka kehidupan yang monoton dan senantiasa terisolasi di balik tembok rumah adalah sesuatu yang membahayakan kehidupan wanita, kehidupan keluarga, dan kehidupan masyarakat secara keseluruhan. Bahaya tersebut berakibat pada hilangnya akal wanita secara keseluruhan, bahkan bisa jadi membuatnya sebagai seorang pemalas dan orang yang bosan hidup, tidak memiliki gairah sama sekali, serta tidak peduli sedikit pun dengan apa yang terjadi di sekitarnya. Bersamaan dengan itu perannya dalam mendidik anak-anak akan lemah dan semangatnya untuk membangun masyarakat dengan kegiatan sosial dan politik akan memudar.

Mengingat hadits tersebut mengisyaratkan akan adanya kekurangan persaksian, ada baiknya juga jika di sini kita mengutip beberapa pendapat ahli fiqih mengenai persaksian wanita.

Dalam kitab Fathul Bari disebutkan: (Ibnu Al Mundzir berkata): “Berdasarkan zahir ayat: ‘Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang laki-laki di antaramu. Jika tak ada dua orang laki-laki, maka (boleh) seorang laki-laki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai,’ para ulama sepakat memperbolehkan persaksian kaum wanita bersama kaum laki-laki. Jumhur ulama mengkhususkan hal tersebut untuk masalah hutang-piutang dan harta. Mereka berpendapat tidak sah kesaksian wanita menyangkut masalah hudud dan qishash, sementara mereka berbeda pendapat jika kesaksian tersebut berkaitan dengan masalah nikah, talak, keturunan, dan wali. Jumhur ulama tidak memperbolehkannya. Yang memperbolehkannya hanyalah ulama-ulama Kufah. Kemudian para ulama sepakat menerima kesaksian wanita secara sendiri-sendiri pada masalah-masalah yang tidak dilihat oleh kaum laki-laki, seperti masalah haid, melahirkan, istihlal (waktu bayi pertama sekali lahir dan menangis), serta aib (kelemahan) kaum wanita, dan mereka berbeda pendapat menyangkut masalah penyusuan.[4]

Dalam kitab Bidayatul Mujtahid karangan Ibnu Rusyd disebutkan bahwa pendapat yang dipegang jumhur ulama adalah bahwa kesaksian wanita tidak diterima menyangkut masalah hudud. Pengikut Daud azh-Zhahiri mengatakan: “Kesaksian mereka bisa diterima bila bersama mereka ada seorang laki-laki dan perempuan yang lebih dari seorang dalam setiap kasus, sesuai dengan zahir ayat tersebut.” Abu Hanifah berkata: “Bisa diterima menyangkut masalah harta dan selain hudud dari hukuman badan, seperti: talak, rujuk nikah, dan memerdekakan budak.” Sementara Malik tidak menerimanya untuk suatu hukum dari hukum-hukum badan.

Adapun kesaksian wanita sendiri, artinya wanita saja tanpa laki-laki, diterima oleh jumhur ulama menyangkut hak-hak badan yang tidak dilihat oleh kaum laki-laki biasanya, seperti masalah melahirkan, istihlal, dan aib kaum wanita. Tidak ada perbedaan mengenai masalah ini kecuali menyangkut masalah penyusuan.[5]

Dalam kitab Al Muhalla karangan Ibnu Hazm disebutkan: “Tidak dapat diterima menyangkut masalah zina kurang dari empat saksi yang terdiri atas laki-laki yang adil dan muslim, atau pengganti setiap lelaki dua orang wanita muslimah dan adil. Dengan demikian, para saksi itu terdiri atas tiga laki-laki dan dua orang wanita, atau dua orang laki-laki dan empat orang wanita, atau satu orang laki-laki dan enam orang wanita, atau delapan orang perempuan saja. Dan tidak diterima dalam seluruh hak yang menyangkut hudud, darah, begitu pula qishah, nikah, talak, dan rujuk kecuali kesaksian dua orang laki-laki yang muslim dan adil, atau seorang laki-laki dan dua orang perempuan, atau empat orang perempuan. Selain itu, dapat diterima dalam semua masalah tersebut selain masalah hudud kesaksian seorang laki-laki yang adil atau dua orang perempuan beserta sumpah si penuntut. Kesaksian seorang perempuan yang adil atau seorang lelaki yang adil hanya dapat diterima dalam soal persusuan.[6]

Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sendiri, sebagaimana yang kita lihat dalam riwayat Muslim dari Abdullah bin Umar dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, berkata: “Maka kesaksian dua orang perempuan itu sepadan dengan kesaksian seorang laki-laki.” Kemudian melalui jalur Bukhari dari Abu Sa’id Al Khudari dikatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan dalam hadits beliau: “Bukankah kesaksian seorang wanita itu seperti setengah kesaksian seorang laki-laki?” Para sahabat menjawab: “Benar, wahai Rasulullah.” Dengan demikian Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah memutuskan bahwa kesaksian dua orang wanita sama dengan kesaksian seorang laki-laki. Berdasarkan ini pula sudah pasti tidak bisa diterima seperti diterimanya kesaksian seorang laki-laki kecuali kesaksian dua orang wanita. Begitulah selanjutnya.[7]

Dalam kitab Ath-Thuruq Al Hukmiyyah karangan Ibnul Qayyim disebutkan pula bahwa Syekh Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengulas firman Allah Subhanahu wa Ta’ala yang berbunyi: “Dan jika tidak ada dua orang laki-laki, maka (boleh) seorang laki-laki dan dua orang wanita dari saksi-saksi yang kamu ridhai supaya jika seorang wanita sesat maka seorang lagi mengingatkannya.” Beliau berkata: “Dalam ayat tersebut terdapat dalil mengenai kesaksian dua orang wanita menempati seorang laki-laki. Gunanya supaya wanita yang kedua bisa mengingatkan wanita pertama jika ternyata dia sesat. Yang dimaksud dengan sesat di sini mencakup sesat dalam hal yang biasa, misalnya lupa atau tidak akurat dalam menjelaskan sesuatu. Pengertian inilah yang dimaksud oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam sabda beliau yang berbunyi: ‘Adapun kekurangan akal mereka adalah karena kesaksian dua orang wanita sama dengan kesaksian seorang laki-laki.’ Hadits tersebut menjelaskan bahwa pembagian kesaksian wanita seperti itu disebahkan oleh kelemahan akal mereka, bukan karena kelemahan agama. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa keadilan wanita sama tingginya dengan keadilan laki-laki; hanya kapasitas akal mereka saja yang agak kurang. Berdasarkan hal itu, maka kesaksian-kesaksian yang tidak dikhawatirkan akan terjadi kesesatan di dalamnya tidak berarti bernilai setengah dari kesaksian laki-laki. Kesaksian sendiri-sendiri yang diterima dari mereka hanyalah dalam perkara-perkara yang mereka lihat dengan mata kepala mereka sendiri, atau dia sentuh dengan tangannya, atau dia dengar dengan telinganya sendiri, serta tidak tergantung pada akal, seperti: melahirkan, istihlal, menyusukan, haid, atau aib (kekurangan/cacat) yang tersembunyi di balik pakaian. hal-hal seperti itu biasanya tidak mungkin lupa dan untuk mengetahuinya tidak perlu mempergunakan akal. Lain halnya dengan tujuan/makna ucapan-ucapan yang dia dengar mengenai penetapan masalah utang dan yang sejenisnya karena makna ucapan-ucapan seperti itu membutuhkan akal atau logika untuk memahaminya dengan baik.[8]

Apabila hal di atas sudah disepakati, dapat kita katakan bahwa kesaksian seorang laki-laki dan dua orang wanita dapat diterima di setiap tempat yang diterima padanya kesaksian seorang laki-laki dan sumpah si penuntut. Atha dan Hamad bin Abi Sulaiman berkata: “Kesaksian seorang laki-laki dan dua orang wanita diterima dalam masalah hudud dan qishash. Dan menurut pendapat kami keputusan dapat diambil dengan kesaksian semacam ini dalam perkara nikah dan memerdekakan budak berdasarkan salah satu dari dua riwayat. Hal itu diriwayatkan dari Jabir bin Zaid, Iyas bin Mu’awiyah, asy-Sya’bi, dan ats-Tsauri. Begitu juga dalam kasus-kasus pidana yang mewajibkan denda harta menurut salah satu dari dua riwayat tersebut.[9]

Ibnul Qayyim berkata: “Wanita yang adil sama dengan laki-laki dalam soal kejujuran, amanah, dan agama. Hanya saja dikhawatirkan khilaf dan lupa, sehingga pendapatnya harus diperkuat dengan pendapat wanita lain yang sama dengannya. Cara seperti itu membuatnya lebih kuat daripada seorang laki-laki dan yang sejenisnya. Dan tidak diragukan lagi bahwa kepercayaan kita pada kesaksian orang seperti Ummu Darda dan Ummu Athiyyah jelas lebih kuat daripada rasa percaya kita terhadap seorang lelaki … “[10] Dari kalangan ulama modern pun ada yang sama pendapatnya dengan pendapat Ibnu Hazm mengenai kesaksian wanita.[11]

Terakhir, yang patut dilakukan oleh kita yang berada pada abad ke-15 Hijriah dan ke-20 Masehi ini adalah ikut ambil bagian dalam penelitian ilmiah yang sedang berlangsung untuk menetapkan kemampuan wanita dan mengetahui secara akurat apa bidang kekurangannya, berapa derajatnya, kapan waktu kemunculannya, dan berapa persentase keberadaannya di kalangan wanita. Kemudian perlu juga kita ketahui bidang kelebihannya, berapa derajatnya, dan kapan masa munculnya. Dengan demikian, kita dapat mempersembahkan sesuatu yang sangat berharga bagi Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam Jika ulama-ulama kita yang terdahulu dapat menemukan ilmu mushthalahul hadits untuk mengetahui perbedaan hadits sahih dengan hadits dha’if (lemah), maka kita juga dapat melakukan sesuatu yang sesuai dengan zaman kita sekarang ini, misalnya dengan melakukan penelitian ilmiah di lapangan guna membantu lebih memperjelas maksud beberapa nash hadits. Ketika melakukan penelitian ilmiah di lapangan itu kita tidak mencukupkan dengan menyitir sejumlah kemungkinan mengenai makna suatu nash, lalu memilih mana yang terkuat diantaranya dengan bersandarkan pada persepsi-persepsi pribadi yang dangkal dan dugaan-dugaan semata. Akan tetapi, kita kemukakan juga maknanya yang diperkuat dan didukung oleh hasil penelitian ilmiah lapangan. Dapat saja makna tersebut belum terlintas sama sekali dalam benak kita ketika kita melakukan penelitian teoretis.

Hingga sekarang, sudah ada kalangan umat Islam yang melakukan penelitian ilmiah sehingga betul-betul dapat dipertanggungjawabkan untuk mengetahui kriteria-kriteria akal dan kejiwaan dalam diri laki-laki dan wanita. Untuk itu, ada baiknya saya kemukakan beberapa penggal kalimat dari sumber modern mengenai ilmu jiwa[12] yang barangkali dapat memberi sedikit penerangan terhadap pembahasan ini.

Pertama, perbedaan antara kedua jenis hanya cocok untuk masyarakat yang di dalamnya terdapat penerapan penelitian ini sesuai dengan kondisi khusus masyarakat yang bersangkutan. Dengan demikian, perbedaan tersebut tidak cocok diterapkan secara umum. Namun demikian, kita tidak akan menghapuskan sama sekali sarana untuk memetik keuntungan parsial dari perbedaan tersebut.

Kedua, kenyataannya, setiap perbandingan antara kedua jenis yang hanya berdasarkan pada hasil umum tes kecerdasan diperkirakan menghasilkan kesimpulan-kesimpulan yang tidak jelas, sebab kaum wanita memiliki keunggulan dalam beberapa bidang kemampuan dan kaum laki-laki memiliki keunggulan dalam beberapa bidang kemampuan lain. Karena itu, setiap tes kecerdasan yang terdiri atas berbagai macam pertanyaan yang tidak sejenis, dapat kita perkirakan sejak awal bahwa keunggulan pada satu sisi akan diimbangi oleh kelemahan pada sisi yang lain. Dengan demikian, kita tidak akan mampu melahirkan kesimpulan apa-apa. Kemudian, tes kecerdasan semata, maksudnya nilai rata-rata yang diperoleh individu-individu dalam tes ini tidak dapat dijadikan hukum atau patokan untuk membedakan laki-laki dengan wanita. Kesimpulannya, perbedaan-perbedaan antara laki-laki dan wanita tidak jelas pada tingkat kecerdasan umum, tetapi jelas pada kemampuan-kemampuan khusus.

Ketiga, barangkali bermanfaat bagi kita jika kita melakukan penelitian atas perbedaan-perbedaan jenis dalam kemampuan-kemampuan khusus tersebut. Dalam hal ini kita dapat menyimak beberapa informasi penting dari analisis hasil-hasil tes cabang tertentu yang darinya akan lahir sejumlah besar tes kecerdasan. Dengan mengikuti cara pertama, yaitu membandingkan kedua jenis tersebut dalam beberapa kemampuan khusus, akan terkumpul sejumlah besar fakta dalam berbagai macam penelitian yang menggunakan standard lafal, bilangan, tempat, dan kemampuan-kemampuan lain yang relatif lebih mandiri. Hal yang penting dicatat dalam konteks ini adalah bahwa perbedaan-perbedaan antara kedua jenis dalam aspek-aspek itu lebih terlambat munculnya daripada kemampuan-kemampuan yang lain.

Keempat, anak laki-laki lebih menonjol dalam tes-tes bilangan yang memerlukan dalil. Perbedaan-perbedaan ini belum kentara dengan jelas kecuali tahap pertama dari pendidikan selesai. Ketika tes Alfred Binet diterapkan terlihat bahwa anak laki-laki terlihat lebih menonjol, khususnya dalam masalah berhitung.

Kelima, banyak penelitian yang menggunakan standard penilaian pribadi terhadap watak seseorang, yang diterapkan terhadap sejumlah laki-laki dan wanita usia dewasa, menunjukkan adanya perbedaan kedua jenis dalam segi emosi. Di antara hasil penerapan suatu penelitian membuktikan bahwa emosi kaum laki-laki jauh lebih stabil daripada wanita dan mereka lebih sedikit menghadapi stres. Yang menarik perhatian adalah bahwa tes kesiapan dan kecenderungan saraf kalangan usia muda membuktikan tidak adanya perbedaan antara kedua jenis kelamin yang usianya masih di bawah empat belas tahun. Sebagai kesimpulan dapat dikatakan bahwa beberapa perbedaan antara kedua jenis kelamin baru muncul setelah usia balig, baik dalam beberapa jenis kemampuan akal seperti berhitung, ataupun dalam bentuk-bentuk karakter/watak seseorang seperti masalah emosi.

Keenam, penelitian ini menunjukkan bahwa anak perempuan mendapatkan nilai sedang yang paling tinggi dalam setiap kecenderungan sosial, kecantikan, dan agama, sementara terlihat jelas sekali perhatian anak laki-laki terhadap kecenderungan ekonomi, teori, dan politik. Wajar sekali jika kesimpulan ini ditafsirkan sesuai dengan kondisi lingkungan, perbedaan tradisi kedua jenis kelamin, dan apa yang diharapkan masyarakat dari kedua golongan tersebut.

Ketujuh, di antara penelitian yang cukup komplet mengenai problem perbedaan kedua jenis tentang ciri-ciri karakternya adalah penelitian Turman dan Mailez, dan standard yang mereka capai untuk menganalisis kecenderungan dan orientasi. Standard Turman dan Mailez ini terdiri atas sejumlah pertanyaan yang disusun untuk mengetahui sajauh mana perbedaan antara berbagai kecenderungan umum dalam jawaban laki-laki dan wanita terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut. Jawaban-jawaban tersebut merupakan standard sejauh mana kemaskulinan dan kefemininan seseorang bisa dilihat. Standard ini dibangun atas dasar kajian yang cukup lama dan mengacu pada sasaran. Pertanyaan-pertanyaannya disaring dengan ketat dan standard tersebut mencakup pertanyaan-pertanyaan yang menerangkan dengan jelas sekali tentang adanya beberapa perbedaan di antara kedua jenis yang hidup di dalam masyarakat Amerika. Data dikumpulkan dari sekian ratus individu yang diantaranya berasal dari siswa sekolah dasar, menengah dan lanjutan atas, serta tamatan perguruan tinggi. Ada pula yang berasal dari orang-orang dewasa, baik yang terpelajar ataupun tidak; bahkan juga dari kalangan berbagai jenis profesi. Sementara yang dijadikan sampel juga mencakup beberapa kelompok yang dipilih dari kalangan remaja gelandangan, orang-orang dewasa yang menyimpang dalam perilaku seksual, dan para olahragawan. Setiap kelompok memiliki pengaruh dalam membuktikan bahwa standard tersebut telah mencatat sukses luar biasa dalam membedakan jawaban laki-laki dan jawaban wanita dalam masyarakat Amerika. Pada waktu yang bersamaan juga ditemukan bahwa tempat-tempat bekerja kaum laki-laki dan wanita berkaitan erat dengan faktor pengalaman yang diperoleh dari pendidikan di rumah ataupun di tempat kerja. Dalam hal ini, ditemukan juga bahwa pengaruh faktor-faktor ini lebih kuat daripada pengaruh faktor-faktor jasmaniah. Juga terlihat jelas bahwa wanita terpelajar dan mengenyam pendidikan tinggi memiliki wawasan yang luas dan dalam standard ini memperoleh nilai lebih tinggi daripada nilai rata-rata yang diperoleh wanita lainnya. Dengan demikian, seolah-olah mereka mendekati kelaki-lakian. Arti semua itu adalah bahwa pendidikan, pelajaran, dan pengalaman yang dilalui seseorang dapat memperdekat jarak sudut pandang antara mereka dan memperkecil perbedaan sifat-sifat bawaan antara kedua jenis kelamin.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kondisi lingkungan dan faktor sosial jelas sekali pengaruhnya, dan bahkan lebih besar daripada pengaruh faktor-faktor jasmaniah.

Kedelapan, ternyata ada perbedaan besar antara wanita dan laki-laki pada sebagian besar sifat-sifat jasmaniah, diantaranya struktur tubuh yang termasuk di dalamnya kerangka tulang, susunan otot secara umum baik otot besar maupun otot kecil. Wanita dan laki-laki juga berbeda dalam soal fungsi fisiologi dan unsur kimiawi beberapa cairan yang terdapat di dalam tubuhnya. Mungkin dapat dikatakan bahwa beberapa perbedaan kondisi psikologis antara keduanya bersumber dari perbedaan-perbedaan jasmaniah tersebut.

Kesembilan, ada lagi perbedaan lain antara kedua jenis kelamin, yaitu mengenai tetapnya sebagian besar fungsi tubuh. Kaum laki-laki secara umum lebih sedikit daripada kaum wanita mengalami perubahan-perubahan yang dapat mengganggu keseimbangan anggota tubuh bagian dalam. Artinya, kaum laki-laki cenderung lebih stabil dan memiliki beberapa sifat penting yang membuat mereka berbeda, seperti derajat panas yang relatif stabil, keseimbangan antara proses penghancuran dan pembangunan kestabilan yang relatif stabil antara zat asam dan zat alkalin dalam darah, demikian pula kadar gula dalam darah. Yang jelas, tingginya frekuensi beberapa fungsi jasmani di kalangan wanita jika dibandingkan dengan laki-laki dapat mempengaruhi pertumbuhan beberapa perbedaan tersebut, selain juga mempengaruhi aspek emosi, perilaku mental, dan yang sejenis dengan itu.

Kesepuluh, tidak diragukan lagi bahwa dasar dari kebanyakan perbedaan antara laki-laki dan wanita tersebut bersumber pada faktor-faktor biologi sekaligus budaya. Dapat dipastikan bahwa faktor-faktor biologi saja sudah dapat menimbulkan berbagai perbedaan dalam sifat-sifat psikologis, bahkan sekalipun semua syarat lingkungannya sama. Pada waktu yang sama perlu pula kita perhatikan tentang kemungkinannya faktor-faktor lingkungan dapat memberikan pengaruh yang bertolak belakang sama sekali dengan pengaruh faktor-faktor biologi. Dari sini dapat kita simpulkan bahwa perbedaan-perbedaan anggota tubuh laki-laki dan wanita besar sekali dan hal itu jelas berpengaruh terhadap aspek kejiwaan selama belum dimasuki oleh faktor-faktor lingkungan yang berpengaruh besar atau menimbulkan pengaruh yang bertolak belakang.

Setelah kita mengutip beberapa penggal kata dari referensi modern mengenai ilmu jiwa, sekarang mari kita kembali pada hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

[1] Bukhari, Kitab: Haidh, Bab: Wanita haidh meninggalkan puasa, jilid 1, hlm. 421. Muslim, Kitab: Iman, Bab: Keterangan mengenai berkurangnya iman bersamaan dengan berkurangnya ketaatan, jilid 1, hlm. 61.

[2] Bukhari, Kitab: Nikah, Bab: Nasihat seorang lelaki kepada anak perempuannya, jilid 11, hlm. 190.

[3] Iqtidha’ash-Shirath al-Mustaqim Mukhalifat Ash-hab al-Jahim, hlm. 147, 164, 165.

[4] Fathul Bari, jilid 6, hlm. 164.

[5] Bidayah al-Mujtahid, jilid 2 hlm. 348.

[6] Al-Muhalla, jilid 9, hlm. 395-396.

[7] Al-Muhalla, jilid 9, hlm. 402, dan lihat hadits Bukhari Kitab: Haidh, Bab: Wanita haidh meninggalkan puasa, jilid 1 hlm. 421.

[8] Kitab Ath-Thuruq al-Hukmiyyah, hlm. 161, pengantar dan tahqiq oleh Dr. Muhammad Jamil Ghazi, cetakan Daar Al-Madani, Jedah, Saudi Arabia.

[9] ibid, hlm. 162.

[10] ibid, hlm. 171.

[11] Diantaranya Syekh Muhammad Al Ghazali dalam bukunya Miatu Sual ‘An al-Islam, jilid 2, hlm. 261-263, dan Dr. Yusuf Al Qaradhawi dalam bukunya Fatawa Mutashirah, seri kedua.

[12] Mayadin ‘Ilm an-Nafs, jilid 2, karangan Gilford, diterjemahkan oleh Yusuf Murad, Muassasah Franklin Li ath-Thiba’ah wa anNasyr, Kairo 1977, hlm. 602-610.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.