Poligami Adalah Untuk Kehormatan Perempuan Dan Laki-Laki, Jangan Skeptis..!!
Poligami hanya untuk memperturutkan hawa nafsu! Dasar, besar nafsu, tidak cukup dengan satu istri! Begitulah tanggapan sebagian kita ketika melihat seseorang berpoligami.
Terus sekarang, apakah tercela bila seseorang menikah lagi karena dia memiliki nafsu seks yang tinggi?
Sebelum kita kaji dari segi hukumnya, dari segi kemanusiaan saja, kita tidak temukan orang yang bermasalah karena nafsu seksnya besar bila dia salurkan pada jalan yang benar (kita garis bawahi kata-kata “bila dia salurkan pada jalan yang benar”), tapi kita temukan rumah tangga yang berantakan gara-gara suaminya lemah syahwat (impoten). Jadi, besar syahwat bukanlah aib bila disalurkan melalui cara yang diredhai Allah, bahkan termasuk perbuatan terpuji. Justru aib yang sangat memalukan bagi laki-laki kalau dia lemah syahwat. Hingga penderitanya rela menghabiskan uang demi mengobati kekurangannya itu. Pabrik obat kuatpun menjamur akibatnya.
Salah satu hal yang membuat kedengkian orang-orang Yahudi kepada Rasulullah adalah kelebihan yang dikaruniakan Allah kepada beliau dalam masalah ini. Rasulullah diberi Allah kekuatan 30 orang laki-laki, hingga beliau mampu menggiliri sembilan orang istrinya dalam sehari-semalam. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari, yang berasal dari Anas bin Malik. Apakah masuk akal, bila Allah membenci syahwat tinggi kemudian mengaruniakannya kepada Rasul yang paling mulia dan paling dicintai-Nya, melebihi yang Dia berikan kepada manusia biasa?
Lalu kalau ditinjau dari syari’at, apakah boleh seseorang menikah lagi karena nafsu seksnya tinggi? Bukan seperti alasan yang dibikin-bikin oleh pembenci poligami. Di antaranya, karena ingin mengayomi janda-janda tua, sehingga kalau mau menikah lagi carilah perempuan tua yang sudah reot, atau ingin mengayomi anak yatim, maka cari janda beranak banyak. Entah cerita dari mana yang mengatakan seperti itu dan apa dalilnya?
Mari kita pelajari dengan seksama ayat dan hadits berikut ini:
1. Hadits yang selalu kita dengar,
«يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ، مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ، وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ، فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ»
“Wahai, para pemuda! Barangsiapa diantara kalian berkemampuan untuk nikah, maka nikahlah, karena nikah itu lebih menundukkan pandangan, dan lebih membentengi farji (kemaluan). Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia puasa (shaum), karena shaum itu dapat membentengi dirinya”. (Mutafaq’alaih)
Dari hadits ini kita mendapatkan motivasi untuk menikah yang disebutkan oleh Rasulullah hanya dua; untuk menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan. Bukan kah keduanya itu letak syahwat yang paling tinggi.
2. Rasulullah mengatakan:
وَفِي بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ، قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ، أَيَأتِي أَحَدُنَا شَهْوَتَهُ وَيَكُونُ لَهُ فِيهَا أَجْرٌ؟ قَالَ: «أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِي حَرَامٍ أَكَانَ عَلَيْهِ فِيهَا وِزْرٌ؟ فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَهَا فِي الْحَلَالِ كَانَ لَهُ أَجْرٌ
Dan pada kemaluan salah seorang kalian ada sedekah. Para shahabat bertanya: “Ya Rasulullah, apakah salah seorang di antara kami mendatangi syahwatnya lalu dia berhak mendapatkan pahala? Rasulullah menjawab: Bagaimana pendapat kalian kalau ia meletakkannya pada jalan yang haram, apakah dia mendapatkan dosa? Maka demikian juga, bila dia meletakkannya pada jalan yang halal dia berhak mendapatkan pahala”.
Rasulullah sendiri mengatakan, sekalipun yang dilakukan seseorang itu adalah memuaskan nafsunya, namun pada jalur yang halal, dia berhak mendapatkan pahala. Lalu apa hak kita mencelanya sebagai orang yang besar nafsu, bersyahwat tinggi? Justru dengan demikian kita sudah melakukan celaan terhadap sesuatu yang harusnya dipuji.
Jadi, bila seseorang sudah melakukan kewajibannya secara syar’i dengan bertanggungjawab terhadap keluarganya, tidak ada hak kita mencelanya, apalagi mempergunjingkan. Jangan lakukan dosa demi bersimpati kepada orang yang sebenarnya tidak butuh simpati kita.
3. Allah menyebutkan kriteria orang-orang yang berhak memasuki surga Firdaus, surga yang paling tinggi. Kriteria keempatnya adalah:
وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ. إِلا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ. فَمَنِ ابْتَغَى وَرَاءَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْعَادُونَ
“dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barang siapa mencari yang di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. (Al Mu’minun: 5-7)
Coba kita tadabburi ayat ini dengan dada lapang. Allah menyebutkan bahwa orang yang selamat di akhirat nanti itu di antara ciri-cirinya adalah orang yang menjaga syahwat kemaluannya dengan menyalurkannya kepada jalan yang dihalalkan oleh Allah. Allah tidak menyebutkan bahwa ciri-ciri orang yang berhak menempati surga Firdaus itu ialah orang yang lemah syahwat atau tidak bersyahwat sama sekali. Allah menurunkan syariatnya bukan untuk membunuh syahwat dan hawa nafsu hamba-Nya, tapi mengaturnya supaya mengalir pada jalur yang diredhai-Nya.
Bahkan manusia itu diberi Allah pahala dan hadiah surga karena ia sudah bersusah payah mengendalikan hawa nafsunya kepada jalan yang benar. Bukan karena ia mematikan hawa nafsunya dan menghambatnya. Allah hanya menyuruh kita mengendalikan supaya tetap tersalurkan pada jalur yang benar.
4. Allah mensyari’atkan mandi wajib bagi orang yang selesai melakukan hubungan suami-istri. Artinya, bila ia mandi ia telah melakukan ibadah yang sangat besar. Tanpa sengaja, artinya bila seseorang sering melakukan hubungan suami-istri otomatis dia akan sering melakukan mandi wajib. Artinya juga, ia akan semakin sering melakukan ibadah yang sangat dicintai Allah. Pahamilah pernyataan ini dengan benar!
5. Coba kita baca hadits ini dengan perlahan:
Abu Hurairah meriwayatkan: “Ketika kami bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tiba-tiba datang seseorang dan berkata: “Ya Rasulullah, celaka aku!” Beliau berkata: “Ada apa dengan kamu?” Ia berkata: “Aku menyetubuhi istriku, sedang aku dalam keadaan berpuasa.” Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Apakah kamu memiliki budak yang bisa kamu merdekakan?” Ia menjawab: “Tidak.” Beliau bersabda: “Apakah kamu mampu berpuasa dua bulan berturut-turut?” Ia menjawab: “Tidak.” Beliau bersabda: “Apakah kamu bisa memberi makan enam puluh orang miskin?” Sekali lagi ia menjawab: “Tidak.” Lalu diamlah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Dan ketika kami masih berada dalam keadaan hening (terdiam), didatangkanlah kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sebuah keranjang yang berisi kurma. Beliau bersabda: “Mana orang yang bertanya tadi?” Ia berkata: “Saya.” Beliau bersabda: “Ambillah ini dan sedekahkanlah dengannya.” Orang tersebut berkata: “Apakah ada orang yang lebih fakir dariku ya Rasulullah? Demi Allah tidak ada di antara dua kampung ini rumah yang lebih fakir dari rumahku.” Tertawalah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sampai nampak gigi taringnya, kemudian beliau bersabda: “Berikan ini kepada keluargamu.”
Hadits di atas bukanlah dongeng, tapi hadits shahih riwayat Imam Bukhari dan Muslim. Mari kita perhatikan, bagaimana Rasulullah mencarikan solusi supaya shahabatnya yang sudah terlanjur melakukan kesalahan dengan melakukan hubungan suami-istri di siang Ramadhan, sampai akhirnya ia dimaafkan, bahkan diberi kurma.
Rasulullah tidak mencela dia, tidak mengatakan: “Dasar kamu, besar syahwat! atau Miskin-miskin besar nafsu”. Tapi malah tersenyum dan menutupi kemiskinannya. Karena Rasulullah paham bahwa hal itu dia lakukan di luar kemampuannya. Allah yang telah mengaruniakan nikmat kekuatan syahwat kepadanya, hingga dia tidak sanggup menahan diri walau untuk sehari. Namun ia salurkan pada jalur yang disahkan oleh Allah sekalipun waktunya kurang tepat.
Kalau kita telusuri siapa sebenarnya shahabat itu, ternyata ia adalah seorang yang sangat menjaga kehormatan diri dan selalu menundukkan pandangannya dari yang haram. Hingga kesehatan tubuh dan fitrah asli yang dikaruniakan Allah kepadanya tidak tercemar dan tidak rusak.
6. Rasulullah bersabda:
عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ، قَالَ: قَالَ لِي ابْنُ عَبَّاسٍ: هَلْ تَزَوَّجْتَ؟ قُلْتُ: لاَ، قَالَ: «فَتَزَوَّجْ فَإِنَّ خَيْرَ هَذِهِ الأُمَّةِ أَكْثَرُهَا نِسَاءً»
Dari Da’id bin Jubair, dia berkata: Ibnu ‘Abbas pernah bertanya kepadaku: Apakah kamu sudah menikah? Aku menjawab: Belum. Lalu beliau berkata: “Menikahlah, sesungguhnya sebaik-baik umat ini adalah yang paling banyak perempuannya”.
Syekh Mustafa al Bugha menanggapi: “Orang yang mempunyai perempuan lebih banyak dari pada orang lain, dan redaksi kalimat menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan “perempuan” di dalam hadits itu adalah istri-istri.
Dan banyak lagi dalil lain yang menunjukkan kebolehan laki-laki untuk menikah lebih dari satu karena motif menyalurkan syahwatnya di jalan yang dibenarkan, bahkan dianjurkan Allah.
Inilah hukum dan ketentuan Allah bagi hamba-Nya. Tidak ada hak bagi kita untuk menentangnya. Hanya satu kalimat yang boleh kita ucapkan:
سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا غُفْرَانَكَ رَبَّنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ
“Kami dengar dan kami taat”. (Mereka berdoa): “Ampunilah kami ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali”. (Al Baqarah:285)
إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan. “Kami mendengar dan kami patuh.” Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung. (An Nur: 51)
Terakhir, kalau mau mencela, celalah orang yang memuaskan nafsunya di tempat prostitusi atau dengan selingkuh yang diharamkan Allah. Jangan hina orang yang berbuat sesuai aturan Allah sekalipun tidak sesuai dengan selera kita.