Sejarah Perkembangan Demokrasi
Di balik konsep dan realitas demokrasi seperti yang sering didiskusikan dan dikampanyekan dalam ruang publik sekarang ini, sejarah telah mencatat perkembangan peristilahan dan pertumbuhan demokrasi yang melibatkan proses-proses historis sangat panjang dan kompleks sejak ribuan tahun lalu. Istilah demokrasi telah mengalami perkembangan berabad-abad lampau dengan serangkaian modifikasi baik dalam teori maupun praktiknya di sejumlah negara. Demokrasi telah didiskusikan lebih kurang sejak dua ribu lima ratus tahun silam. Namun, banyak orang yang percaya bahwa demokrasi yang sebenarnya baru dimulai dua ratus tahun yang lalu di Amerika Serikat dan secara berangsur-angsur masuk ke berbagai negara hingga sekarang (Thaha, 2005:18). Dalam bagian ini akan dibahas secara singkat pengertian dan sejarah demokrasi.
Pengertian Demokrasi
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia Poerwadarminta, kata demokrasi bermakna; bentuk pemerintahan yang segenap rakyat turut serta memerintah dengan perantara wakil-wakilnya (Poerwadarminta, 2006:278). Istilah ini berasal dari bahasa Yunani demos (rakyat) dan kratos (pemerintah) (Sorensen, 2003:2). Dari uraian bahasa tersebut maka demokratisasi dapat dimaknai sebagai sebuah transisi menuju demokrasi. Pengertian tentang demokratisasi yang lebih operasional diberikan oleh Firmanzah (2012). Ia mendefinisikan demokratisasi sebagai upaya untuk memberikan hak-hak rakyat sebagai penguasa tertinggi dalam kehidupan bernegara, berbangsa, bermasyarakat dan akhirnya kehidupan dunia secara keseluruhan.
Demokrasi merupakan konsep yang dinamis, multi interpretatif dan dapat berkembang sesuai konteks dan kondisi sosio-historis dimana konsep ini lahir dan berkembang. Sifat yang dinamis dan fleksibel itulah yang menyebabkan lahirnya sejumlah tipologi demokrasi seperti; demokrasi liberal, demokrasi terpimpin, demokrasi proletar dan lain sebagainya. Bahkan suatu bentuk pemerintahan yang otoriter sekalipun terkadang mengklaim diri sebagai pemerintahan yang demokratis (Widjaya, 2003:54).
Sebenarnya ide untuk melibatkan rakyat dalam kekuasaan yang demokratis bukan suatu yang baru, ia sudah muncul sejak zaman dahulu kala. Secara konseptual dan historis, demokrasi telah ada sejak abad ke-5 sM. sebagai respon kekuasaan monarki Yunani. Esensi demokrasi yang berlaku saat itu ialah kekuasaan berada di tangan rakyat, bukan di tangan raja (Qodir, 2006:80). Tokoh-tokoh demokrasi Yunani Kuno yang dikenal dalam dunia pemikiran politik antara lain; Solon (638-558 sM.), Kleisthenes, Pericles (490-429 sM.) dan Demosthenes (385-322 sM.). Masing-masing tokoh ini berbeda-beda dalam menerapkan dan mempraktekkan demokrasi dalam pemerintahan (Thaha, 2005:19).
Di beberapa kota Yunani didapatkan bukti nyata yang menguatkan hal ini seperti Athena dan Sparta. Hal ini pernah diungkapkan Plato, bahwa sumber kepemimpinan adalah kehendak yang bersatu milik rakyat. Selain itu tokoh filsafat lain seperti Aristoteles juga telah menyebutkan hal ini ketika menjelaskan macam-macam bentuk pemerintahan. Ia menyatakan ada tiga bentuk pemerintahan, yaitu: kerajaan, aristokrasi, dan republik, atau rakyat memegang sendiri kendali urusannya (Ghany, 2000: 25).
Praktik demokrasi Yunani Kuno dimulai setelah Kleisthenes melakukan reformasi dan pembaruan dalam sistem pemerintahan di negara kota Athena pada 508 sM. Kekuasaan politik diperoleh Kleisthenes setelah penggulingan pemerintahan tiran Hipias oleh sekelompok bangsawan dengan bantuan Sparta. Bentuk pemerintahan yang dibangun oleh Kleisthenes itu kemudian disebut “demokratia” (Thaha, 2005:19).
Praktik demokrasi Yunani Kuno Yang di mulai oleh Kleisthenes, disempurnakan oleh Pericles. Negarawan Athena ini, dalam bukunya Funeral Oration, menyatakan bahwa pemerintahan Athena disebut demokrasi karena administrasinya berada di tangan banyak pihak. Ia berhasil membangun sistem pemerintahan demokratis di Athena yang dinamakan “Athenian Demokratia” dan berjasa mengembangkan praktik demokrasi dalam pemerintahannya. Demokrasi dalam perspektif Pericles, memiliki beberapa kriteria; pemerintahan oleh rakyat dengan partisipasi rakyat secara penuh dan langsung; kesamaan di depan hukum; pluralisme, penghargaan atas semua bakat, minat, keinginan dan pandangan; dan penghargaan terhadap suatu pemisahan dan wilayah pribadi untuk memenuhi dan mengekspresikan kepribadian individu. Inilah yang kemudian disebut dengan demokrasi klasik (Thaha, 2005:19-20).
Sistem pemerintahan demokrasi yang terealisasi dan sangat dibanggakan di Athena berkembang pula di kawasan Helena (Yunani). Sistem ini bertahan dan mengalami pasang surut hampir sekitar 200 tahun. Ketika lembaga-lembaga demokrasi mencapai puncak perkembangannya di Athena, beraneka ragam peristiwa terjadi yang menjadi faktor masa suram bagi kelangsungan demokrasi. Karena kebijakan luar negerinya, Athena melakukan ekspansi ke beberapa negeri. Kebijakan ekspansionis ini merobohkan banyak negara kota lainnya, bahkan inilah yang mendorong perang besar antara Athena dengan Sparta yang dalam sejarah dikenal sebagai Perang Peloponnesia (Peloponnesian War). Perang ini terjadi selama kurun waktu 27 tahun (431-404 sM.) dengan kemenangan Sparta. Kekalahan Athena ini menimbulkan trauma sejarah dan psikhologis bagi kelangsungan dan masa depan demokrasi. Banyak orang termasuk Plato, meratapi kehancuran negara kota Athena (Thaha, 2005:21). Ratapan plato atas kehancuran Athena tentu saja merupakan sesuatu yang wajar karena ia merupakan putra bangsawan Athena (Ravicth ed., 2005:1). Namun pada sisi lain kehancuran Athena justru berdampak positif, yang kemudian menjadi pusat perkembangan ilmu pengetahuan dan filsafat kenegaraan.
Pengalaman sejarah dan eksperimen demokrasi Yunani Kuno menjadi salah satu faktor munculnya gagasan, ide, dan lembaga demokrasi pasca kekalahan negara-kota (polis state) Athena. Salah satunya ialah mendorong ide terbentuknya negara kesejahteraan (welfare state) atau social servive state, yang digagas oleh para pengkritik demokrasi Yunani Kuno, seperti Plato, Aristoteles (384-323 sM), M. Tullius Cicera (106-43 sM), dan lainnya. Ide besar negara kesejahteraan ialah bertanggungjawab akan kesejahteraan rakyatnya, sekalipun sistem pemerintahannya campuran demokrasi, aristokrasi dan monarki. Model semacam ini berlangsung di Romawi kuno, yang berdasarkan bahasa asli latin mereka menyebut pemerintahannya dengan nama “republik”. Selain itu model seperti ini juga dihidupkan kembali pada abad ke-11 di kota-kota kaya Itali Utara dan Tengah. Jadi model seperti ini tidak semuanya menyimpang dari sistem demokrasi Yunani (Thaha, 2005:23).
Abad Pertengahan: Demokrasi Yunani Kuno Digantikan Gereja Otoriter
Praktik demokrasi Yunani Kuno bisa dikatakan hilang dari dunia Barat, setelah Romawi – yang mengenal kebudayaan Yunani, ditaklukkan oleh suku bangsa Eropa Barat dan benua Eropa saat memasuki abad pertengahan (600-1400 M). Struktur sosial (politik) menjadi ciri masyarakat abad pertengahan. Paus dan pimpinan-pimpinan agama menguasai kehidupan sosial dan spiritual mereka. Perebutan kekuasaan politik antar para bangsawan mewarnai kehidupan politik mereka (Thaha, 2005:23)
Sebelum abad pertengahan berakhir dan di awal abad ke-16, di Eropa Barat muncul negara-negara nasional (nation state) dalam bentuk yang modern. Sejak saat itu, Eropa Barat mengalami perubahan sosial dan kultural, yang menjadi pintu masuk ke zaman yang lebih modern. Dalam suasana yang seperti itu ada dua hal penting yang terjadi dan perlu digaris bawahi.
Pertama, renaisans (1350-1600) yang terutama berpengaruh di Eropa Selatan. Renaisans merupakan aliran yang berusaha menghidupkan dan kembali minat pada kesusasteraan dan kebudayaan pada Yunani Kuno yang pernah mati pada Abad Pertengahan. Aliran ini berhasil mengalihkan masyarakat dari tulisan keagamaan ke arah masalah-masalah sosial. Tokoh-tokoh dalam aliran ini mempertanyakan berbagai persoalan yang berkaitan hubungan antara raja (penguasa) dan rakyat, juga pesoalan kedudukan agama dalam masalah publik.
Kedua, aliran Reformasi (1500-1650), yang mendapat banyak pengikut di Eropa Utara seperti Jerman, Swiss dan lainnya. Reformasi ialah aliran yang melahirkan kebebasan beragama dan pemisahan tegas antara gereja dan negara. Kedua aliran inilah yang mengantarkan Dunia Barat untuk mengalami masa Aukflarung (Abad Pemikiran) dan liberalisme atau rasionalisme pada 1650-1800 M (Thaha, 2005:24).
Machiaveli, Montesque & Rousseau, Menggagas Demokrasi Trias Politica
Bisa dikatakan gagasan modern tentang demokrasi dimulai ketika Nicollo Machiavelli (1469-1527) dari Itali menggagas negara sekuler. Jean Bodin dari Perancis dan Thomas Hobbes (1588-1679) dari Inggris menggagas kontrak social. John Locke (1632-1704) menggagas adanya kekuasaan legislatif, yudikatif dan eksekutif agar ada pemisahan (Widjaya, 2003:56). Kemudian hal ini lebih dipertegas oleh Baron De Montesque (1689-1755) dengan ide tentang perlunya pemisahan kekuasaan antara yudikatif, legislatif dan eksekutif. Ditambah lagi gagasan dari J.J Rousseau (1712-1788) tentang perlunya adanya kedaulatan rakyat . Dengan gagasan-gagasan dasar semacam itu, ilmuwan politik seperti Robert Dahl, Sydney Hook, Joseph A. Schumpater, hingga William Liddle merumuskan dengan lebih terperinci apa itu demokrasi. Dari mereka didapatkan semacam guide apa itu demokrasi. Sistem kekuasaan demokrasi sekurang-kurangnya memuat kekuasaan mayoritas, suara di tangan rakyat, dan kekuasaan ditangan rakyat (Qodir, 2006:81).
Kebebasan berpikir dan liberalisme pada era ini membuka jalan untuk memperluas gagasan di bidang politik, yang menghasilkan teori kontrak sosial (social contract). Ada beberapa gagasan yang mendasari teori kontrak sosial yang dikemukakan oleh tokoh abad pertengahan. Pertama, kedaulatan bukanlah sesuatu yang taken for granted dan berasal dari Tuhan. Kedaulatan (kekuasaan) adalah produk proses perjanjian sosial antara individu dan penguasa, karena itu sepenuhnya bersifat sekular. Kedua, dunia dikuasai hukum dari alam (nature) yang mengandung prinsip-prinsip keadilan yang universal yang berlaku untuk semua waktu dan semua manusia baik raja, bangsawan maupun rakyat. Ketiga, karena kedaulatan negara berasal dari individu (rakyat), maka hak-hak mereka harus mendapatkan jaminan, yang meliputi; hak-hak sipil (civil right) dan hak-hak politik (political right). Keempat, perlunya kontrol kekuasaan, agar pengasa negara tidak menyalahgunakan kekuasaannya yang berasal dari rakyat (Thaha, 2005:26).
Yahudi Eropa (Kelas Pedagang) Merintis Demokrasi Menyaingi Rejim
Ide-ide dan pemikiran-pemikiran politik, terutama mengenai demokrasi sebagaimana dikemukakan tokoh-tokoh dalam uraian sebelumnya mendorong dan mempengaruhi percepatan lahirnya Revolusi Amerika (1774-1783) dan Revolusi Perancis (1788). Dalam menyikapi fenomena ini secara kritis Abdul Ghany Ar-Rahhal (2000:25) menyatakan sebagai sebuah sistem pemerintahan, pada awalnya demokrasi tidak begitu populer, bahkan lama kelamaan sistem ini ditinggalkan hingga kehilangan gaungnya. Sekian abad demokrasi tenggelam dunia Eropa dan tidak menampakkan diri. Namun kemudian orang-orang Yahudi memainkan peran untuk membangkitkan sistem ini dengan mempropagandakan berbagai slogan. Merekalah yang bermain-main dibelakang slogan-slogan yang menyertai revolusi perancis, yaitu; freedom, fraternity, equality (kebebasan, persaudaraan, persamaan). Lalu semua itu mengkristal dalam lingkup undang-undang, saat pendeklarasian hak-hak perancis pada tahun 1789 Masehi. Dalam klausul ketiga undang-undang itu dinyatakan bahwa: Rakyat merupakan sumber kekuasaan dan gudangnya. Setiap institusi di setiap individu menjalankan hukum hanya dengan bersandar kepada kekuasaan rakyat. Kemudian pemikiran tentang demokrasi ini menyebar ke seluruh dunia dan dipraktikkan diberbagai negara, yang semuanya bermuara dari perancis. Mayoritas negara-negara Islam juga tidak ketinggalan untuk mempraktikkannya.
Sementara itu dari sisi perkembangannya, Robert A. Dahl menyebut masa tersebut sebagai periode “transformasi demokrasi kedua” yang diwujudkan dengan diperkenalkannya praktik republikanisme, perwakilan dan logika persamaan (Dahl, 1992:xi). Dalam era ini gagasan dan praktik demokrasi telah dipindahkan dari negara-kota menuju negara bangsa. Transformasi ini telah menyebabkan timbulnya lembaga politik yang benar-benar baru. Kumpulan lembaga politik baru inilah yang secara keseluruhan dinamakan “demokrasi” (Thaha, 2005:27).
Akhir Perang Dunia I: Separuh Dunia Menganut Demokrasi
Perkembangan praktik demokrasi yang lebih stabil berlangsung pada abad ke-19 dan 20. Pada abad ke-19, institusi demokrasi telah mengakar pertama kali di Amerika yang kemudian penyebarannya berkembang di mayoritas negara-negara Eropa Utara dan Barat, dan sebagian negara Amerika Latin. Pada akhir Perang Dunia I, perkembangan praktik demokrasi mencapai titik kulminasinya ketika 29 dari 64 negara di belahan dunia mengambil bentuk pemerintahan yang mirip dengan demokrasi (Thaha, 2005:28). Menurut Huntington, pada 1900-an, lembaga-lembaga demokrasi tingkat nasional mulai bermunculan di banyak negeri, padahal pada tahun 1750-an Barat belum mempunyai lembaga semacam itu. Menjelang akhir abad ke-20, lebih banyak negeri yang memiliki lembaga demokrasi. Lembaga-lembaga ini muncul dalam gelombang-gelombang demokratisasi (Huntington, 1991:13). Demokrasi yang berada dalam level negara-kebangsaan inilah yang menandai demokrasi modern.
Huntington menguraikan demokrasi modern bukanlah demokrasi desa, suku bangsa, atau negara-kota; demokrasi modern merupakan demokrasi negara-kebangsaan dan kemunculannya berkait perkembangan munculnya negara-kebangsaan. Adapun pendorongnya di dunia Barat dimulai pada paruh pertama abad ke-17 (Huntington, 1991:13). Gagasan dan praktik demokrasi semakin menemukan identitasnya di beberapa negara pada akhir abad ke-18 (Thaha, 2005:28).
Perubahan atau masa-masa transisi dari rezim-rezim nondemokratis menuju rezim-rezim demokratis yang dimulai sejak Revolusi Perancis dan Amerika itu oleh Huntington disebut sebagai gelombang demokratisasi. Sebuah gelombang biasanya juga mencakup liberalisasi atau demokratisasi sebagian pada sistem-sistem politik yang tidak sepenuhnya menjadi demokratis dan masing-masing gelombang itu telah mempengaruhi sejumlah kecil negeri. Menurut Huntington ada tiga gelombang demokrasi yang terjadi di masa modern ini. Di antaranya; gelombang panjang demokratisasi pertama (1828-1926) dan gelombang balik pertama (1922-1942); gelombang pendek demokratisasi kedua (1943-1962) dan gelombang balik kedua (1958-1975); dan gelombang demokratisasi ketiga (1974) (Huntington, 1991: 13-27).
Awal Abad 21, 119 Negara Menganut Demokrasi
Sampai saat ini setidaknya telah ada 119 negara, meliputi 62 persen dari negara diseluruh dunia yang menjalankan demokrasi. Apa yang dulunya merupakan hal yang aneh yang dilakukan negara-negara di kawasan Atlantik Utara sekarang telah menjadi bentuk standar pemerintahan bagi umat manusia. Monarki telah menjadi sesuatu yang antik, sementara fasisme dan komunisme bisa dikatakan hampir dilupakan sepenuhnya. Bahkan paham teokrasi Islam hanya menarik bagi segelintir orang yang fanatik saja. Bagi mayoritas dunia, demokrasi telah menjadi sumber legitimasi politik satu-satunya yang masih bertahan (Zakaria, 2003:13).
—————————-
Ref:
Buku: STRATEGI DAKWAH ERA DEMOKRATISASI (PEMIKIRAN MUHAMMAD ANIS MATTA), Penulis: Nur Ariyanto, M.S.I, Penerbit: YGIMK (2016)