Surat Al-Baqarah (1-2)
Pentadabur: Nur Ariyanto, M.S.I
١. الم
Ayat pertama surat Al-Baqarah dalam Mushaf Utsmani diawali dengan fawatih shuwar (pembuka surat) dengan huruf Muqaththa’ah الم. Al-baqarah sendiri artinya ialah sapi betina, adapun kata الم para ulama berbeda pendapat. Dalam tafsir al-Ibriz karya Bisri Musthofa, setidaknya di sebutkan 3 penafsiran kata itu:
1. Maknanya diserahkan pada Allah. Kata itu tidak dikenal dalam bahasa Arab. Yang tahu maknanya hakikiknya hanya Allah. Karena itu mereka memasrahkan pada Allah makna hakiki ayat ini.
2. Maknanya ialah semacam kata-kata untuk menarik perhatian. Seperti halnya ketika seseorang sedang akan memulai rapat, kemudian memukul meja untuk memperoleh perhatian audien, karena sang pemimpin rapat ingin menyampaikan sesuatu yang penting. Demikan pula fawatih shuwar dengan huruf Muqaththa’ah dalam Al-Qur’an. Biasanya setelah ayat-ayat seperti itu, ayat berikutnya membicarakan tentang Al-Qur’an (dan Al-Qur’an adalah sesuatu yang penting dalam kehidupan manusia yang membicarakan hajat kehidupannya di dunia dan akhirat). Termasuk dalam hal ini ialah surat al-Baqarah.
3. Coba ditakwil oleh sebagian ulama untuk menyandarkan sifat-sifat dan nama-nama Allah yang Agung. Dalam kasus surat al-Baqarah ini maka الم di takwil berdasarkan susunan hurufnya: ا berasal dari ismul a’dham Allah, ل berasal dari Lathif yang berarti sifat Allah yang Maha Lembut, dan م berasal dari kata Majid yang berarti Allah yang Maha Mulia. Karena itu kalau kalau digabung maka maknanya menjadi Allah yang Maha Lembut dan Maha Mulia.
Penulis sendiri kalau harus memilih maka lebih ruju’pada pendapat yang pertama. Allah-lah yang lebih mengerti makna yang ada dalam firman-firman-Nya.
٢. ذَلِكَ الْكِتَابُ لاَ رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِّلْمُتَّقِينَ
“Kitab (Al Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa,”
Dalam ayat yang ke-2 ini dimulai dengan kata ذلك yang merupakan isim isyarah yang dalam bahasa Indonesia artinya (itu). Orang yang memegang al-Qur’an kemudian membaca ayat ini, apalagi yang bukan terjemahan akan menemukan kata ذلك sehingga seolah-olah yang dimaksud bukanlah yang ia pegang. Padahal yang ditunjuk dengan ذلك dalam ayat ini ialah al-Qur’an, karena setelah ذلك diikuti dengan الْكِتَابُ. Yang menjadi pertanyaan ialah kenapa yang digunakan ialah ذلك, dan bukan هذا? Padahal benda yang ditunjuk ialah dekat, dan umumnya menggunanakan هذا. Maka menurut penulis jawabannya ialah karena dalam bahasa arab kata هذا dan ذلك sering digunakan untuk maksud yang sama. Demikan pula kata kami dan saya yang sering digunakan untuk maksud yang sama.
Selain itu untuk memahami kenapa yang digunakan ialah ذلك, dan bukan هذا, kita harus memahami konteks kesejarahan turunnya al-Qur’an (terutama ayat ini). Walaupun letaknya di awal, ayat ini bukanlah ayat yang pertama kali turun. Nampaknya kata ذلك digunakan untuk menunjuk ayat-ayat al-Qur’an yang diturunkan sebelumnya namun didustakan para penentang nabi. Ketika Al-Qur’an diturunkan, sebagian manusia meragukan kebenarannya. Ada pula yang menyangka dan mengatakan kalau al-Qur’an datangnya dari setan. Ada juga yang mengatakan kalau al-Qur’an itu kitab karangan Muhammad sehingga mereka meragukan kalau itu datangnya dari Allah.
Karenanya, Allah membantah semua itu sehingga mengatakan ذَلِكَ الْكِتَابُ لاَ رَيْبَ فِيهِ artinya al-Qur’an yang mereka dengar dan dibawa oleh nabi Muhammad adalah benar-benar dari Allah, dan semua isinya merupakan kebenaran mutlak yang tidak mungkin salah.
Kata لاَرَيْبَ فِيهِ secara bahasa bermakna “tidak ada keraguan di dalamnya”. Mafhum mukhalafah-nya, ketika tidak ada keraguan adalam suatu hal maka sesuatu itu akan mengandung suatu ‘kebenaran’, ‘kemantaban’, ‘kepastian’, ‘keakuratan’. Dalam bahasa mudahnya apa yang ada dalam al-Qur’an pasti benar.
Untuk mempermudah memahami ayat ini kita bisa menganalogikan ketika sedang membeli durian dalam kondisi utuh (belum di buka). Kita sama sekali tidak tahu isi dalam durian itu. Ketika kita bertanya pada penjualnya; “Apa durian ini ada yang busuk?”. Kemudian sang penjual menjawab; “Durian saya tidak ada yang busuk”. Maka mafhum mukhalafah-nya penjual durian itu memberikan garansi hanya menjual durian dalam kondisi yang baik. Demikian juga لاَ رَيْبَ فِيهِ dalam ayat ini. Merupakan garansi dari Allah tentang kebenaran seluruh isi al-Qur’an.
Lalu apa fungsi al-Qur’an ( الْكِتَابُ) yang tiada keraguan dalam ayat-ayatnya itu? Maka jawabannya ada pada sambungan dari ayat itu, yaitu; هُدًى لِّلْمُتَّقِينَ (petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa). Pertanyaan kedua yang muncul dari benak kita terkait ayat ini ialah;
1. Apakah Al-Qur’an itu diturunkan untuk orang yang sudah memiliki ketakwaan dalam dirinya?
2. Ataukah al-Qur’an itu turunkan sebagai jalan bagi seseorang untuk meraih derajat takwa? Atau bisa dikatakan bahwasanya al-Qur’an itu merupakan jalan menuju takwa?
Secara cita rasa bahasa kalimat هُدًى لِّلْمُتَّقِينَ memiliki kesan kalau kitab ini ditujukan untuk mereka yang telah memiliki ketakwaan. Artinya mereka yang sudah sejak awal memiliki takwa dalam sanubarinya akan lebih mudah menerima berbagai kandungan isi Al-Qur’an dan menerapkannya dalam kehidupan mereka. Contohnya ketika dalam al-Qur’an ada perintah ‘tegakkanlah Shalat’, maka orang yang telah bertakwa akan lebih ringan untuk segera melaksanakan perintah itu. Demikian pula ketika dalam al-Qur’an ada larangan “janganlah kalian dekati zina”, maka orang yang sudah punya ketakwaan akan segera meninggalkan hal-hal yang bisa mengantarkannya pada perbuatan zina.
Hal ini diperkuat penjelasan takwa yang dinisbatkan pada sahabat Umar ibnu al-Khatab, dimana ketakwaan diibaratkan ketika seseorang berjalan di jalanan yang terjal penuh onak duri dengan bertelanjang kaki. Maka dalam kondisi seperti itu seseorang akan berjalan dengan sangat hati-hati.
Bisa diibaratkan, kehidupan manusia menghadapi kondisi yang seperti itu. Dalam kehidupannya manusia dihadapkan pada perkara-perkara yang bisa dengan mudah memasukkannya ke dalam surga ataupun neraka. Oleh karena itu tidak salah kiranya kalau nabi SAW mengatakan;
“Surga itu lebih dekat kepada kalian daripada tali sandalnya sendiri, demikian pula neraka”. (HR. Bukhori: 6007)
Hadits itu mengisyaratkan kepada kita untuk berhati-hati dalam kehidupan dunia ini. Yang menjadi permasalahan ialah bagaimana kita mengetahui jalan benar? Bagaimana pula kita bisa mengetahui mana onak dan duri yang bisa mengantarkan kita ke dalam neraka? Maka Allah sudah memberikan caranya untuk menjawab semua itu, yaitu dengan memahami dan mengamalkan al-Qur’an. Maka dengan demikian ada relevansinya hal ini dengan pertanyaan pertama sebelumnya bahwa al-Qur’an merupakan petujuk jalan yang harus ditempuh oleh orang yang ‘telah’ bertakwa. Lalu bagaimana dengan orang orang yang belum bertakwa?
Selain petunjuk bagi orang yang telah bertakwa, al-Qur’an juga berfungsi mengantarkan agar manusia bisa bertakwa. Karena al-Qur’an itu fungsinya ialah Hudan li an-naas (petunjuk bagi manusia), selain itu keberadaan al-Qur’an juga terkait dengan tugas kerasulan Muhammad sebagai rahmatan lil-‘alamin.
Dalam hal ini pertanyaan kedua menemukan jawabannya. Penulis melihat ketika seseorang mengamalkan kandungan al-Qur’an maka akan mengantarkan orang itu pada ketakwaan. Artinya ketika seseorang yang tadinya tidak beragama atau mungkin berada dalam kondisi kemusyrikan seperti halnya sahabat pada jaman masa jahiliahnya dahulu semisal Umar Ibnu Al-Khatab. Ketika mendengarkan al-Qur’an maka menjadi luluhlah hatinya dan memutuskan masuk Islam. Maka ketika dia mengamalkan isi kandungan al-Qur’an itu iapun memiliki kadar ketakwaan yang tinggi, bahkan sampai memperoleh gelar al-Faruq. Gelar itu tidak lepas dari pemahamannya yang baik tentang al-Qur’an sehingga ia bisa dengan sangat jelas membedakan mana yang baik dan mana yang buruk.
Maka kesimpulannya ialah al-Qur’an itu bisa menjadi pengantar bagi seseorang untuk menuju takwa maupun bisa menjadi panduan hidup bagi orang yang sudah memiliki takwa. Dan kedua golongan yang termasuk orang-orang yang memperoleh هُدًى مِّن رَّبِّهِمْ (petunjuk dari Tuhannya) dan mereka termasuk orang yang beruntung أُوْلَـئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ Kenapa demikian? Karena dalam kehidupan ini, tidak semua orang yang mempelajari al-Qur’an bisa mencapai derajat takwa. Banyak orang yang mendalami al-Qur’an dan tahu isi kandungannya tetapi malah ingkar kepadanya. Ada yang acuh tak acuh terhadapnya. Ada yang membaca namun hanya sampai di kerongkongannya saja. Ada pula yang mempelajari al-Qur’an justru karena ingin mnghancurkannya. Maka kata kunci yang menjadikan orang memperoleh ketakwaan ialah هُدًى yang dalam bentuk lain disebut hidayah. Dengan kata lain ketakwaan itu muncul karena adanya hidayah dari Allah. Maka tugas manusia ialah untuk menjemput hidayah itu.
Lalu apakah yang dimaksud dengan hidayah itu?
Ada ulama yang membagi hidayah menjadi 4 macam:
1. Hidayah Wijdan.
Hidayah wijdan ialah hidayah yang Allah berikan kepada setiap makhluk hidup yang diciptakannya, baik itu manusia, binatang dan tumbuh-tumbuhan. Melalui hidayah ini makluk hidup bisa bertahan dalam kondisi yang dihadapi. Contoh bentuk hidayah ini ialah tumbuhan bisa tumbuh menjalar tinggi ke atas untuk mengejar cahaya matahari. Dalam diri manusia bentuk hidayah ini lebih kompleks sehingga darinya melahirkan berbagai betuk aktifitas dalam hidup manusia seperti: kawin, bergerak dan beraktifitas mencari makanan dan sebagaianya. Maka hidayah seperti ini sudah merupakan bawaan.
2. Hidayah hawas wal ma’asyir
Hidayah hawas merupakan bentuk kemampuan indrawi yang ada dalam diri manusia yang sering dikenal dengan panca indra
3. Hidayah ‘Aql
Hidayah ‘Aql merukan hidayah Allah pada manusia berupa kemampuan berfikir, memberi persepsi dan memahami sebuah fenomena dan juga memberi makna pada realita yang ditangkap oleh panca indra. Hidayah jenis ini memberikan kemampuan pada manusia untuk membedakan mana yang benar dan mana yang salah, mana yang baik mana yang buruk dan sebagainya.
4. Hidayah Din
Hidayah din ini fungsinya ialah membantu manusia dengan panduan ilahiyah dari keterbatasan akalnya. Dalam hal ini agama memberikan arahan-arahan yang melampau keterbatasan akal manusia. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam surat al-Lail (92):12 إِنَّ عَلَيْنَا لَلْهُدَى (Sesungguhnya kewajiban Kami-lah memberi petunjuk). Ayat tersebut menunjukkan bahwasannya agama menjadi wujud tanggungjawab Allah untuk tidak membiarkan hamba-Nya tersesat dalam kehidupannya.
Maka hidayah din ini juga masih dibagi lagi menjadi 2 macam, yaitu;
a. Hidayah Dilalah
Hidayah dilalah ini merupakan peyujuk hidup yang terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah. Maka dalam perkembangannya, hidayah agama ini menjadi ilmu yang bisa diakses siapapun baik muslim maupun non muslim.
b. Hidayah Taufik
Hidayah taufik merupakan suatu kemudahan dan kekuatan yang Allah berikan kepada manusia untuk bisa mengamalkan apa yang diketahuinya. Dengan kata lain hidayah taufik merupakan hidayah dilalah yang diamalkan. Mungkin inilah yang dimaksud mereka yang memaknai hidayah sebagai ma’rifatu al-haq wa ‘amalu bihi (mengetahui yang hak dan beramal dengannya). Maka hidayah taufik ini merupakan hidayah yang sangat mahal, dan Allah hanya memberikannya pada orang-orang yang sungguh-sungguh berjuang di jalan-Nya. Adapun jalan yang bisa ditempuh untuk memperoleh hidayah jenis ini ada beberapa macam, diantaranya:
1) Berdoa
2) Riyadhah ruhiyah/latihan spiritual
3) Bergabung degan lingkungan yang kondusif
4) Memperbanyak amal shalih.
Wallahu a’lam bi muradihi.
———————