Tata Cara Dan Adab (Sopan Santun) Buang Air Kecil Dan Besar

Ada beberapa etika dan tata krama yang harus diperhatikan oleh seorang Muslim ketika hendak qadha hajat  (buang air besar atau air kecil). Di antaranya adalah:
1.     Tidak diperkenankan membawa benda apapun yang bertuliskan lafal Allh, kecuali jika dikhawatirkan akan hilang atau karena tidak adanya tempat penitipan barang. Hal ini berdasarkan pada hadits yang bersumber dari Anas radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam memakai cincin yang bertuliskan “Muhammad Rasûlullâh.  Setiap kali hendak ke dalam toilet, beliau melepaskannya terlebih dahulu.”[1] HR Bukhari, Muslim, Abu Daud dan Tirmidzi.
Al Hafidz Ibnu Hajar memberi komentar berkaitan hadits ini dengan berkata, “Ini hadits ma’lul (cacat)”. Abu Daud juga berkata, “Ini hadits munkar.” Meskipun begitu, bagian pertama dari hadits ini adalah sahih.
2.    Menjauh dan memasang tabir sehingga tidak terlihat oleh orang lain, terutama saat buang air besar. Hal ini bertujuan agar suara yang keluar darinya tidak terdengar atau baunya tidak tercium oleh orang lain. Sebagai landasan atas hal ini adalah hadits yang bersumber dari Jabir radhiyallahu ‘anhu Ia berkata,
Kami bepergian bersama Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, beliau tidak buang air besar kecuali jika sudah berada di tempat yang sunyi dan jauh dari penglihatan orang lain.”[2] HR Ibnu Majah.
Abu Daud meriwayatkan,
Apabila Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam hendak buang air besar, beliau menjauh sehingga tidak terlihat oleh seorangpun.”[3]
Dalam riwayatnya yang lain, ia berkata, “Apabila Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam mencari tempat buang air, beliau mencari tempat yang jauh.”[4]
3.    Membaca basmalah dan isti’âdzah dengan suara keras ketika hendak masuk ke dalam jamban dan ketika hendak mengangkat pakaiannya jika berada di tanah lapang. Sebagai dasar atas hal ini adalah hadits yang berasal dari Anas radhiyallahu ‘anhu, di mana ia berkata, apabila Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam hendak memasuki jamban, beliau membaca,

بِسْمِاللهِ اللهُم إِنِي أَعُوْدُبِكَ مِنَ الْخُبُثِ و الْخَبَا ءِثْ

Dengan nama Allah, Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari gangguan setan laki-laki dan setan perempuan.”[5]
4.    Hendaknya menahan dari pembicaraan, baik berupa dzikir atau yang lain. Oleh karena itu, orang yang berada dalam jamban tidak diwajibkan menjawab salam atau adzan. Kecuali jika ada sesuatu yang amat penting, seperti memberi arahan kepada orang buta yang dikhawatirkan akan terjerumus ke dalam jurang. JIka seseorang yang berada di dalam jamban bersin, cukup baginya membaca hamdalah dalam hati tanpa mengucapkannya dengan lisan. Sebagai landasan atas hal ini adalah hadits yang berasal dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya ada seorang lelaki melintasi Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam yang saat itu beliau sedang buang air kecil. Lelaki tersebut mengucapkan salam kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, tapi beliau tidak menjawab salamnya.[6]
Abu Sa’id . berkata, saya mendengar Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Jangan sampai ada dua orang laki-laki masuk ke dalam satu jamban secara bersamaan, lalu keduanya membuka aurat sambil berbicang-bincang, sebab Allah amat murka dengan perbuatan yang demikian itu’!”[7] HR Ahmad, Abu Daud dan Ibnu Majah.
Hadits ini secara zahir (tekstual) mengharamkan berbicara di dalam jamban. Namun, para ulama telah sepakat bahwa hukum berbicara dalam jamban adalah makruh.
5.    Hendaknya tetap mengagungkan kiblat dengan tidak menghadap ke arahnya ataupun membelakanginya. Abu Hurairah berkata, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,
“Jika salah seorang dari kalian duduk untuk buang hajat, hendaknya ia tidak menghadap ke arah kiblat atau membelakanginya.”[8]HR Ahmad dan Muslim.
Larangan dalam hadits ini mengandung arti makruh berdasarkan penjelasan hadits dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu. Ia berkata,
Pada sautu hari, saya memasuki rumah Hafshah. Dan saya melihat Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam sedang membuang hajat dengan menghadap ke arah Syam dan membelakangi arah Ka’bah.”[9]
Dari kedua hadits di atas dapat disimpulkan bahwa larangan menghadap ke arah kiblat jika berada di tanah lapang. Sementara kalau berada dalam ruangan tertutup, diperbolehkan menghadap arah manapun termasuk ke arah kiblat. Marwan al-Ashgar berkata, “Saya pernah melihat Ibnu Umar menghentikan untanya dengan menghadap ke arah kiblat, kemudian ia kencing menghadap ke arah untanya. Saya bertanya, ‘Wahai Abu Abdurrahman! Bukankah Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang hal yang sedemikian?’ Ibnu Umar menjawab, ‘Benar! Tapi larangan itu ketika di tempat terbuka. Dengan demikian, jika terdapat penghalang antara orang yang membuang hajat dengan kiblat, maka ia dibolehkan menghadap ke arah mana saja.”[10]  HR Abu Daud, Ibnu Khuzaimah dan al-Hakim.
Sanad hadits ini hasan sebagaimana yang telah ditegaskan dalam kitab Fath al-Bâri.
6.    Hendaknya mencari tempat yang lembab dan rendah agar yang bersangkutan tidak terkena najis. Sebagai landasan atas hal ini adalah sebuah hadits yang berasal dari Abu Musa radhiyallahu ‘anhu. Ia berkata, bahwasanya Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam pergi ke suatu tempat yang rendah yang berdekatan dengan perkebunan (kurma di Madinah). Di sana beliau membuang air kecil. Lantas beliau bersabda,
Jika salah seorang dari kalian hendak membuang air kecil, maka hendaknya ia memilih tempat yang lebih rendah untuk kencing.”[11]HR Ahmad dan Abu Daud.
Meskipun terdapat perawi yang majhul (tidak dikenal) dalam hadits ini, namun maksudnya sahih atau benar.
7.    Sebisa mungkin tidak membuang air kencing ataupun kotoran pada lubang. Hal ini bertujuan agar tidak mengganggu hewan atau makhluk halus yang mungkin ada di situ. Sebagai dasar atas hal ini adalah hadits Qatadah yang berasal dari Abdullah bin Sarjis, ia berkata, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang kecing di lubang. Orang yang hadir ketika itu bertanya kepada Qatadah, Apa yang menjadi alasan sehingga kami dilarang kencing di lubang? Dia menjawab, Karena lubang merupakan tempat tinggalnya jin.[12] HR Ahmad, Nasai, Abu Daud, Hakim dan Baihaki.
Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Sakan mengategorikannya sebagai hadits sahih.
8.    Sebisa mungkin menjauh dari (pepohonan) yang dijadikan tempat berteduh, jalan yang dilalui (orang) dan tempat persinggahan. Sebagai landasannya adalah hadits yang berasal dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Hindarilah dua perkara yang dapat mendatangkan laknat dan kutukan dari orang!’
Para sahabat bertanya, “ Apa yang dimaksud dengan dua perkara yang dapat mendatangkan laknat dan kutukan itu, wahai Rasulullah?’
Beliau menjawab,
Yaitu buang air di jalan yang dilalui manusia dan dijadikan tempat teduhan mereka..”[13] HR Ahmad, Muslim dan Abu Daud.
9.    Hendaknya tidak buang air kecil di tempat pemandian, air yang tergenang ataupun air yang mengalir. Sebagai landasannya adalah hadits yang berasal dari Abdullah bin Mughaffal radhiyallahu ‘anhu. Ia mengatakan bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,
“Janganlah sekali-kali salah seorang di antara kalian membuang air kecil di tempat pemandiannya, lalu mengambil wudhu dari tempat itu. Sebab, kebanyakan was-was selalu berasal dari sana.”[14] HR Bukhari, Muslim, Abu Daud, Nasai dan Tirmidzi.
Kalimat yang berbunyi “lalu mengambil wudhu dari tempat itu” terdapat pada riwayat Ahmad dan Abu Daud.
Jabir radhiyallahu ‘anhu mengatakan bahwasanya Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang kencing di atas air yang menggenang.”[15] HR Ahmad, Muslim, Nasai dan Ibnu Majah.
Jabir radhiyallahu ‘anhu juga mengatakan bahwasanya Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang kencing di atas air yang mengalir.”[16]
Pengarang kita Majma’ Az Zawâ’id berkata, “Hadits ini diriwayatkan oleh Thabrani dan semua perawinya tsiqah.”
Jika kencing di air yang bekas cucian, seperti saluran air kotor, maka hal yang sedemikian dibolehkan.
10.     Hendaknya tidak kencing sambil berdiri karena kencing sambil berdiri tidak bisa membuat hati tenang, berlawanan dengan tradisi setempat, dan tidak bagus dilihat dari sisi etika. Juga dikhawatirkan, yang bersangkutan terkena percikan kencingnya. Namun, jika diyakini air kencingnya tidak memercik dan tidak dikhawatirkan mengenai dirinya, maka ia boleh kencing sambil berdiri.
Aisyah radhiyallahu ‘anhu Berkata, “Barangsiapa yang menyatakan bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah kencing dalam keadaan berdiri, maka janganlah kalian memercayai ucapannya! Beliau tidak pernah kencing kecuali dalam keadaan duduk.”[17] HR Bukhari, Muslim, Nasai, Tirmidzi dan Ibnu Majah, kecuali Abu Daud.
Imam Tirmidzi berkata, “Hadits ini merupakan hadits terbaik yang berkaitan dengan masalah etika saat buang air kecil dan termasuk yhadits yang paling sahih.”
Apa yang dikatakan Aisyah ini berdasarkan atas pengetahuannya selama hidup denan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam Meskipun demikian, pernyataan yang dikemukakan Aisyah ini tidak meniadakan (mengingkari) adanya hadits yang diriwayatkan Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu. Ia mengatakan, “Suatu ketika, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam singgah di sebuah tempat pembuangan sampah. Lantas beliau membuang air kecil sambil berdiri. Melihat hal itu, aku segera menjaduh tapi beliau berkata, ‘Mendekatlah ke mari!’ Aku segera menghampiri beliau hingga berdiri berdekatan dengan tumitnya. Kemudian aku melihatnya berwudhu dan mengusap kedua alas kakinya(khuf).”[18]
Berkaitan dengan kedua hadits ini, Nawawi berkata, “Dalam pandanganku, kencing dalam keadaan duduk itu lebih baik. Tapi, jika seseorang kencing dalam keadaan berdiri, hal itu juga dibolehkan. Kedua kondisi tersebut pernah dilakukan oleh Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam.”
11.    Wajib membersihkan sisa najis yang masih ada pada tempat keluarnya najis dengan menggunakan batu ataupun benda padat lainnya yang suci dan dapat menghilangkan najis dan tidak termasuk benda yang dimuliakan. Atau hanya dengan menggunakan air. Sebagai dasar atas hal ini adalah hadits dari Aisyah radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,
Jika salah seorang di antara kalian selesai buang air (besar atau kecil), maka hendaknya ia beristinja’ dengan tiga buah batu karena yang demikian sudah mencukupi..”[19] HR Ahmad, Nasai, Abu Daud dan Daruquthni.
Anas radhiyallahu ‘anhu berkata, “Ketika Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam masuk ke dalam jamban, aku dan orang yang sebaya denganku membawa seember air dan gayng. Lantas Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersuci dengan air tersebut.”[20]
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah melintasi dua makam, Lantas beliau berkta, “Kedua penghuni makam ini dalam keadaan di siksa. Mereka tidak disiksa atas dosa besar; salah seorang dari mereka tidak bersuci setelah kencing dan yang satunya lagi, ia selalu mengadu domba saat berjalan.”
Anas radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan sebuah hadits marfû’ yang berbunyi,
Bersucilah kalian dari air kencing, sebab pada umumnya siksa kubur berasal darinya!”[21]
12.    Hendaknya tidak bersuci dengan menggunakan tangan kanan agar tangan kanan tidak sampai menyentuh barang yang kotor secara langsung. Sebagai dasar atas hal ini adalah hadits yang berasal dari Abdurrahman bin Zaid. Ia berkata, “Ada seseorang yang bertanya kepada Salman: ‘Apakah Nabimu telah mengajarkan segala sesuatu sampai masalah kotoran?’ Salman menjawab: ‘Iya. Tidak hanya itu, bahkan kami dilarang menhadap kiblat pada saat membuang air besar maupun air kecil. Kami dilarang bersuci dengan menggunakan tangan kanan. Kami dilarang bersuci kurang dari tiga biji batu. Dan kami juga dilarang dengan menggunakan barang najis atau tulang.”[22] HR Muslim, Abu Daud dan Tirmidzi.
Hafshah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam senantiasa menggunakan tangan kanannya untuk makan, minum, mengenakan pakaian, memberi dan menerima sesuatu, sementara tangan kirinya dipergunakan untuk perkara selain itu.”[23] HR Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, Hakim dan Baihaki.
13.    Setelah bersuci, hendaknya menggosokkan tangannya ke tanah atau mencucinya dengan sabun dan yang sejenisnya. Hal ini bertujuan agar bau tidak sedap yang masih menempel di tangannya hilang. Sebagai dasar atas hal ini adalah hadits yang berasal dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu. Ia berkata,
Jika Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam masuk ke dalam jamban, aku membawakan air dengan bejana yang terbuat dari tembaga atau kulit. Kemudian beliau bersuci (dengan air). Setelah itu. beliau menggosokkan tangannya ke tanah.”[24] HR Abu Daud, Nasai, Baihaki dan Ibnu Majah.
14.    Jika selesai kencing, hendaknya memercikkan air ke kemaluan dan celananya. Hal ini bertujuan untuk menghindari rasa was-was yang masih tersimpan dalam hati, sehingga pada saat ia melihat bagian yang basah, ia meyakini bahwa yang basah tersebut merupakan bekas percikan air. Sebagai dasar atas hal ini adalah hadits yang bersumber dari Hakim bin Sufyan atau Sufyan bin al-Hakam radhiyallahu ‘anhu Ia berkata, “Jika Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam selesai membuang air kecil, beliau terus berwudhu dan memercikkan air.”[25]
Dalam riwayat yang lain, Hakam berkata, “Saya melihat Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam membuang air kecil, kemudian beliau memercikkan air pada kemaluannya.”[26]
Ibnu Umar juga selalu menyiramkan air pada kemaluannya sampai celananya basah.
15.    Hendaknya mendahulukan kaki kiri ketika hendak memasuki jamban, dan mendahulukan kaki kanan ketika keluar dari jamban sambil membaca doa,

غُفْرَانَكَ

Aku memohon ampunan-Mu (ya Allah).”
Aisyah radhiyallahu ‘anhu berkata, ketika Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam keluar dari jamban, beliau membaca, ‘Ghufrânaka’ (Aku memohon ampunan-Mu (ya Allah).)”[27] HR Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi dan Ibnu Majah, kecuali Nasai.
Abu Hatim berkata, berkaitan dengan masalah ini, hadits yang bersumber dari Aisyah inilah yang paling sahih.
Ada juga sebuah riwayat dengan sanad yang dha’if, sebagai berikut, bahwasanya Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam setelah buang hajat, beliau membaca doa,

اَلْحَمْدُلِلّٰهِ الَّذِي أَذْهَبَ عَنِّي الْأَذَي وَعَافَانِي

“Segala puji bagi Allah, Dzat yang telah menghilangkan penyakit dariku dan memberi kesehatan kepadaku.”[28]
Sesekali Rasulullah juga membaca doa berikut,

اَلْحَمْدُلِلّٰهِ الَّذِي أَذَاقَنِي لَذَتَهُ وَأَبْقَي فِي قُوَتَهُ وَأَذْهَبَ عَنِّي أَذَاهُ

Segala puji bagi Allah, Zat yang telah memberi kenikmatan kepadaku, mengekalkan kekuatan padaku dan menghilangkan penyakit dari diriku”.[29]


[1] HR Abu Daud kitab “Ath Thaharah,” bab “al-Khatam Yakun fi hi Dzikrullah Ta’ala Yadkhul bih Al Khaa’,” jilid I, hal. 5. Nasai kitab “az-Zinah,” bab “Naz’ Al Khatam ‘ind Dukhul Al  Khala’,” jilid VIII, hal. 178. Tirmidzi kitab “al-Libas,” bab “Ma Ja’a fi Lubs Al Khatam” [1747], jilid IV, hal. 230 dan beliau berkata: “Hadits hasan gharib.”. Ibnu Majah kitab “Ath Thaharah,” bab “Dzikr Allah ‘Azza wa Jalla ‘ala Al Khala’ wa Al Khatam fi Al Khala’ dengan lafal “Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam. apabila hendak masuk kakus, beliau terlebih dahulu menanggalkan cincinnya.” Penggalan pertama dari hadits ini dikategorikan sebagai hadits shahih yang diriwayatkan Al Bukhari, Muslim dan Ibnu Majah. Sedangkan penggalan kedua dikategorikan sebagai hadits dha’if, bahkan Al Albani mengklasifikasikan sebagai hadits dha’if dalam Dha’if Abu Daud [4] dan Dha’if Ibnu Majah [61]

[2] HR Ibnu Majah dalam Sunan Ibnu Majah kitab “Ath Thaharah,” bab “At Taba’ud li Al Biraz fi Al Fadha”’ [335], jilid I, hal. 121 dan diklasifikasikan sebagai hadits shahih oleh Al Albani dalam Shahih Ibnu Majah [268].

[3] HR Abu Daud dalam Sunan Abu Daud kitab “Ath Thaharah” bab “At Takhalli ‘inda Qadha’ Al Hajat” [2], jilid I, hal. 14 dan diklasifikasikan sebagai hadits shahih oleh Al Albani.

[4] HR Abu Daud dalam Sunan Abu Daud kitab “Ath Thaharah”, bab ““At Takhalli ‘inda Qadha’ Al Hajat”

[6], jilid I, hal. 14. Nasai kitab “Ath Thaharah,” bab “Al-Ib’ad ‘inda Qadha’ Al  Hajat”, jilid I, hal. 18. Tirmidzi kitab “Abwab Ath Thaharah,” bab “Ma Ja’a ann An Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam. kana idza Arad Al Hajat, Ab’ada fi Al Madzhab” [20], jilid I, hal. 31-32 dan beliau berkata: “Hadits ini hasan lagi shahih.”. Ibnu Majah kitab “Ath Thaharah,” bab “At Taba’ud li Al Biraz fi Al Fadha”’ [331], jilid I, hal. 120. Hadits ini diklasifikasikan sebagai hadits shahih oleh Al Albani dalam Ash Shahihah [1159]. Shahih An Nasai, jilid I, hal. 6. Shahih Ibnu Majah [331].

[5] Al Khubuts, plural dari kata khabits yang berarti syaitan laki-laki, sedangkan Al Khaba’its. plural dari kata khabitsah yang berarti syaitan perempuan. HR Bukhari kitab “al-Wudhu’,” bab “Ma Yaqul ‘inda Al Khala’,” jilid I, hal. 48. Namun, riwayat Al Bukhari tanpa menyebut ‘Dengan Nama Allah’, Muslim kitab “al-Haidh,” bab “Ma Yaqul idza Arad Dukhul Al Khala’” [375]. Ibnu Majah kitab “Ath Thaharah,” bab “Ma Qaul ar-Rajul idza Dakhal Al Khala’” [296], jilid I, hal. 108. Abu Daud kitab “Ath Thaharah,” bab “Ma Yaqul ar-rajul idza Dakhal Al Khala’’’, jilid I, hal. 11-12 dan beliau berkata: “Hadits hasan lagi shahih,” Darimi kitab “Ash Shalah wa Ath Thaharah,” bab “Ma Yaqul idza Dakhal Al Makhraj,” jilid I, hal 136. Sebagian ulama hadits tidak menyebutkan basmalah, sebagaimana yang dinyatakan oleh pengarang (Sayyid As Sabiq). Bacaan basmalah diambil dari hadits marfu’ yang diriwayatkan oleh Ali radhiyallahu ‘anhu dengan lafal “Penghalang antara penglihatan jin dengan aurat umat manusia ketika hendak masuk kakus, apabila membaca: Bismillah.” HR Tirmidzi dan Ibnu Majah. Diklasifikan sebagai hadits shahih oleh Al Albani dalam Irwa’ Al ghalil [50].

[6] HR Muslim kitab “al-Haidh,” bab “At Tayammum,” jilid IV, hal. 64. Abu Daud kitab “Ath Thaharah,” bab “Ayu Raddu As  Salam wa Huwa Yabul?,” jilid I, hal. 4. Nasai kitab “Ath Thaharah,” bab “as-Salam ‘ala man Yabul,” jilid I, hal. 36. Tirmidzi dalam “Abwab Ath Thaharah,” bab “fi Karahah Radd As Salam Ghair Al Mutawaddhi” [90], jilid I, hal 150 dan beliau berkata: “Hadits hasan lagi shahih.”. Ibnu Majah kitab “Ath Thaharah,” bab “ar-Rajul Yusallim ‘alaihi wa Huwa Yabul,” jilid I, hal. 127. Hadits ini khusus berkaitan dengan dzikir yang meliputi takbir, tahlil, tasbih, dan tahmid. Adapun perkataan atau percakapan yang bersifat urusan duniawi dan sama sekali tidak mengandung bacaan dzikir, tidak ada dalil yang melarang untuk mengucapkannya ketika sedang membuang hajat. Oleh karena itu, perhatikanlah masalah ini dengan baik.

[7] HR Abu Daud kitab “Ath Thaharah,” bab “Karahiyah Al Kalam ‘inda Al Hajah” [15], jilid I, hal. 22. Ibnu Majah kitab “Ath Thaharah,” bab “an-Nahyi ‘an Al Ijtima’ ‘ala Al Khala’’ [342]. As Sunan Al Kubra oleh Baihaki kitab “Ath Thaharah,” bab “Karahiyah Al Kalam ‘inda Al Khala’,” jilid I, hal. 99-100. Musnad Ahmad, jilid III, hal. 36. Hadits ini diklasifikan sebagai hadits dha’if oleh Al Albani dalam Dha’if Abu Daud [3]. Dha’if Ibnu Majah [76]. dan Dha’if Al Jami’ [6351].

[8] HR Muslim kitab “Ath Thaharah,” bab “al-Isthtabah” [60], jilid I, hal. 224. Musnad Ahmad, jilid V, hal. 441. Lafal hadits ini berdasarkan redaksi Muslim.

[9] HR Bukhari kitab “al-Wudhu’,” bab “At Tabarruz fi Al Buyut,” jilid I, hal. 49. Muslim kitab “Ath Thaharah,” bab “Al-Isthitabah” [62], jilid I, hal. 225. Abu Daud kitab “Ath Thaharah,” bab “ar-Rukhshah fi Dzalik” [12]. Nasai kitab “Ath Thaharah,” bab “ar-Rukhsah fi Dzalik fi Al Buyut,” jilid I, hal. 23. Tirmidzi kitab “Abwab Ath Thaharah,” bab 7, jilid I, hal. 16 dan beliau berkata: “Hadits ini hasan lagi shahih.”. Ibnu Majah kitab “Ath Thaharah,” bab “ar-Rukhshah fi Dzalik fi Al Kanif [322]. Musnad Ahmad, jilid  II, hal. 12.

[10] HR Abu Daud dalam Sunan Abu Daud kitab “Ath Thaharah,” bab “Karahiyah Istiqbal Al Qiblah ‘inda Qadha’ Al Hajat” [11], jilid I, hal. 20. Lihat Misykat Al Mashabih [373], jilid I, hal. 119. Al Albani memberi komentar pada bagian catatan kaki “Misykah Al  Mashabih: hal 1, dengan berkata: “Sanadnya shahih, bahkan sekelompok ulama hadits juga mengkategorikannya sebagai hadits shahih sebagaimana yang saya jelaskan dalam Shahih As Sunan [8]. Tetapi hadits ini tidak dapat dipastikan sebagai marfu’. Oleh karena itu, ia tidak bertentangan dengan nash-nash lain yang bersifat umum.”

[11] HR Abu Daud kitab “Ath Thaharah,” bab “ar-Rajul Yatabawwa’ li Baulihi” hal 3. Imam Ahmad dalam Al Musnad, jilid IV, hal. 499 dengan menggunakan redaksi lafalnya: Hadits ini dikategorikan sebagai hadits dha’if. Malah Al Albani turut mengklasifikasikannya sebagai hadits dha’if dalam Dha’if Al Jami’ [418-511].

[12] HR Abu Daud dalam Sunan Abu Daud kitab “Ath Thaharah,’ bab “an-Nahyi ‘an Al Baul fi Al Juhr” [29], jilid I, hal. 30. Nasai kitab “Ath Thaharah,” bab “Karahiyah Al Baul fi Al Juhr” [34]. jilid I, hal. 33. Musnad Ahmad, jilid V, hal. 82. Mustadrak Al Hakim kitab “Ath Thaharah,” bab “an-Nahyi ‘an Al Baul fi Al Juhr…,” jilid I, hal. 16. As Sunan Al Kubra oleh Baihaki kitab “Ath Thaharah,” bab “an-Nahyi ‘an Al Baul fi At Tsaqbi,” jilid I, hal. 99. Hadits ini dikategorikan sebagai hadits dha’if oleh Al Albani dalam ‘Irwa’ Al Ghalil, jilid I, hal. 93 dan Dha’if Al Jami’ [6016].

[13] HR Muslim kitab “Ath Thaharah,” bab “Hubbuhu Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam li At Tayamum” [68]. Sunan Abu Daud kitab “Ath Thaharah,” bab “al-Mawadhi’ Al lati Naha An Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam ‘an Al Baul fi ha” [25], jilid I, hal. 28. Musnad Ahmad, jilid II, hal .372. As Sunan Al Kubra oleh Baihaki kitab “Ath Thaharah,” bab “an-Nahyi ‘an At Takhalli fi Thariq an –Nas wa Dzillihim,” jilid I, hal. 97.

[14] HR Abu Daud kitab “Ath Thaharah,” bab “ fi Al Baul fi Al Mustahamm,” [27]. Nasai kitab “Ath Thaharah,” bab “Karahiyah Al Baul fi Al Mustahamm,” jilid I, hal. 34. Tirmidzi kitab “Ath Thaharah,” bab “Ma Ja’a  fi Karahiyah Al Baul fi Al Mughtasal” [21]. Ibnu Majah kitab “Ath Thaharah,” bab “Karahiyah Al Baul fi Al Mughtasal [304] Ahmad dalam Al Musnadm jilid V, hal. 56. Penggal pertama hadits ini dikategorikan sebagai shahih oleh Al Albani dalam Shahih Ibnu Majah: 246 sedangkan sisa hadits ini dikategorikan sebagai dha’if oleh Al Albani dalam Dha’if Abu Daud [7].

[15] HR Muslim kitab “Ath Thaharah,” bab “an-Nahyi ‘an Al Baul fi Al Ma’ ar Rakid,” jilid I, hal. 235. An  Nasai kitab “Ath Thaharah,” bab “An-Nahyu an Al Baul fi Al Ma’ ar- Rakid,” jilid I, hal. 32. Ibnu Majah kitab “Ath Thaharah,” bab “an-Nahyu ‘an Al Baul fi Al Ma’ ar-Rakid” [343], jilid I, hal. 124.

[16] Dalam Kitab Majma’ az-Zawa’id, jilid I, hal. 209, Al Haitsami berkata: “Hadits ini diriwayatkan Ath Thabrani dalam Al Ausath. Sedangkan, para perawinya tergolong tsiqah.” Hadits ini dikategorikan sebagai dha’if oleh Al Albani dalam Dha’if Al Jami’ [6017] dan ad-Dha’ifah [5227].

[17] HR Nasai kitab “Ath Thaharah,” bab “Al-Baul fi Al Bait Jalisan,” jilid I, hal. 26. Tirmidzi kitab “Abwab Ath Thaharah,” bab “Ma Ja’a fi An Nahyi ‘an Al Baul Qa’iman [12], jilid I, hal. 17. Ibnu Majah kitab “Ath Thaharah,” bab “fi Al Baul Qa’idan” [307]. Musnad Ahmad, jilid VI, hal. 192-312. Dan, diklasifikasikan sebagai shahih oleh Al Albani dalam Shahih Tirmidzi [11]. Shahih Ibnu Majah [249]. dan Ash Shahihah [201].

[18] HR Al Bukhari kitab “al-Wudhu’,” bab “al-Baul ‘inda Shahibihi wa At Tasttur bi Al Ha’ith,” jilid I, hal. 66. Muslim kitab “Ath Thaharah,” bab “al-Mash ‘ala Al Khuffain” [73], jilid I, hal. 228 dan lafal hadits ini merupakan redaksi Muslim. Abu Daud kitab “Ath Thaharah,” bab “al-Baul Qa’iman,” jilid I, hal. 6. Nasai kitab “Ath Thaharah,” bab “ar-Rukhshah fi Tark Al Ib’ad ‘inda Al Hajah,” jilid I, hal. 19. Tirmidzi kitab “Abwab Ath Thaharah,” bab “ar-Rukhshah fi Al Baul Qa’iman,” jilid I, hal. 19. Ibnu Majah kitab “Ath Thaharah,” bab “Ma Ja’a fi Al Baul Qa’iman,” jilid I, hal. 111-112.

[19] HR Abu Daud kitab “Ath Thaharah,” bab “al-Istinja’ bi Al Hijarah” [40]. Nasai kitab “Ath Thaharah,” bab “Al-Ijtiza’ fi Al Isthitabah bi Al Hijarah duna Ghairiha,” jilid I, hal. 41. Ahmad dalam Al Musnad, jilid VI, hal. 108. Darimi kitab “Ath Thaharah,” bab “Al-Istinja’ (bab Istinja’), jilid I, hal. 55. Baihaki dalam As Sunan Al Kubra, jilid I, hal. 103. dan Daruquthni dalam Sunan-nya. Dan, diklasifikasikan sebagai shahih oleh Al Albani dalam Shahih Al Jami’ [547].
al-Isthitabah bermaksud istinja’. Disebut Al Isthitabah karena ia merupakan usaha untuk menghilangkan najis dan menyucikannya dari zatnya di tubuh seseorang.

[20] HR Bukhari kitab “al-Wudhu’,” bab “Al-Istinja’ bi Al Ma’,” jilid I, hal. 150. Muslim kitab “Ath Thaharah,” bab “Al-Istinja’ bi Al Ma’imin At Tabarruz” [70], jilid I, hal. 227.

[21] HR Daruquthni dalam Sunan ad-Daruquthni kitab “Ath Thaharah,” bab “Najasah Al Baul, wa Al Amr bi at Tanazzuh minhu, wa al Hukm fi Baul ma Yu’kal Lahmuhu” [2], jilid I, hal. 127. Daruquthni berkata: “Status hadits ini dihukumkan sebagai hadits mursal.” Setelah mengupas hadits ini, Al Albani memberi komentar, ia berkata: “Status hadits ini dihukumkan sebagai hadits maushul. Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Abu Hatim, jilid I, hal. 26.” Hadits ini diriwayatkan melalui dua jalur sanad selain sanad di atas. Pertama, jalur sanad Abu Hurairah. Kedua, jalur sanad Ibnu Abbas. Hadits ini, diklasifikasikan sebagai hadits shahih oleh Al Albani dalam Irwa’ Al Ghalil, jilid I, hal. 310 dan Shahih Al Jami’ [3002].

[22] HR Muslim kitab “Ath Thaharah,” bab “al-Isthitabah” [57], jilid I, hal. 223 dan susuna lafal hadits ini milik Muslim. Abu Daud dengan lafal yang berbeda kitab “Ath Thaharah,” bab “Ma Yunha ‘anhu an Yustanja bihi,” jilid I, hal. 9. Nasai kitab “Ath Thaharah,” bab “an-Nahyi ‘an Al Iktifa’ fi Al Isthitabah bi Aqall min Tsalatsah Ahjar,” jilid I, hal. 38. Tirmidzi kitab “Abwab Ath Thaharah,” bab Ma Ja’a fi Karahiyah ma Yustanja bihi,” jilid I, hal. 29. Ibnu Majah kitab “Ath Thaharah,” bab “Al-Istinja’ bi Al Hijarah…”[316].

[23] Diriwayatkan dalam Al Fath ar-Rabbani [141], jilid I, hal. 282. Abu Daud kitab “Ath Thaharah,” bab “Karahiyah Mass adz-Dzakar bi Al Yamin fi Al Istibra’”[32], jilid I, hal. 32 dan lafal hadits ini merupakan redaksinya. Dalam Al Manhall Al ‘Adzb Al Mawrud dinyatakan bahwa hadits ini diriwayatkan Ibnu Hibban, Al Hakim, Baihaki dan Imam Ahmad. Ibnu Mahmud selaku pensyarah Abu Daud berkata: “Hadits ini hadits hasan, bukannya hadits shahih. Sebab, di dalam sanadnya terdapat Abu Ayyub Al Ifriqi, riwayatnya ditolerir oleh Abu Zir’ah dan dikategorikan sebagai tsiqah dari Ibnu Hibban.” Ibnu Sayyid An Nas berkata: “Hadits ini dikategorikan sebagai hadits mu’allal (cacat).” An Nawawi, jilid I, hal. 125 berkata: “Semoga hadits ini dikategorikan baik.” Dan, diklasifikasikan sebagai shahih oleh Al Albani dalam Shahih Al Jami’ [4912].

[24] HR Abu Daud kitab “Ath Thaharah,” bab “ar-Rajul Yudalliku Yadahu bi Al Ardh idza Istanja” [45], jilid I, hal. 39-40. Nasai kitab “Ath Thaharah,” bab “Dalk Al Yad bi Al Ardh ba’da Al Istinja’,” jilid I, hal. 45. Syarh As Sunnah oleh Al Baghawi, jilid I, hal. 390. Ibnu Majah kitab “Ath Thaharah,” bab “Dalk Al Yad bi Al Ardh ba’da Al Istinja’ [358], jilid I, hal. 128 dengan lafal hadits yang berlainan. Al Albani berkata: “Hadits ini, diklasifikasikan sebagai hadits hasan dalam shahih An Nasai, jilid I, hal. 12. Shahih Ibnu Majah [358]. dan Al Misykah [360].”

[25] HR Abu Daud kitab “Ath Thaharah,” bab “fi Al Intidhah [166]. An Nasai kitab “Ath Thaharah,” bab “an-Nadh” [134-135]. Ibnu Majah kitab “Ath Thaharah,” bab “Ma Ja’a fi An Nadh ba’da Al Wudhu’” [461]. Dairimi kitab “ash-Shalah wa Ath Thaharah,” bab “fi Nadh Al Farj qabla Al Wudhu’,” jilid i, hal. 180. Al Baihaki, jilid I, hal.161. Mustadrak Al Hakim, jilid I, hal. 171. Syarh As Sunnah oleh Al Baghawi, jilid I, hal. 391. Hadits ini dha’if, riwayat Al Hakam Ibnu Sufyan. Sebab, di dalam sanad maupun matannya terdapat kekeliruan. Walaupun demikian, hadits ini diperkuat oleh beberapa hadits lain yang serupa, sebagaimana yang telah dijelaskan Al Albani dalam Shahih Abu Daud [159]. Oleh karena itu, hadits ini tetap diklasifikasikan sebagai hadits shahih. Lihat Shahih Al Jami’ [4697] dan Al Misykah [361].

[26] HR Ibnu Majah kitab “Ath Thaharah,” bab “Ma Ja’a An Nadh ba’da Al Wudhu’” [464] dengan lafal: “Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah berwudhu lalu beliau memercikkan air pada kemaluannya.” Namun riwayat hadits ini dari jalur sanad Jabir, diklasifikasikan sebagai hadits shahih oleh Al Albani dalam Shahih Ibnu Majah [376].

[27] HR Abu Daud kitab “Ath Thaharah,” bab “Ma Yaqul ar- Rajul idza Kharaj min Al Khala’,” jilid I, al. 7. Tirmidzi kitab “Abwab Ath Thaharah,” bab “Ma Yaqul idza Kharaj min Al Khala’” [7], jilid I, hal. 12 dan beliau berkata: “hadits ini hasan lagi gharib.” Ibnu Majah kitab “Ath Thaharah,” baba “Ma Yaqul idza Kharaj min Al Khala’” [300], jilid I, hal.110. Musnad Ahmad, jilid VI, hal. 155. Ad-Darimi kitab “ash-Shalah wa Ath Thaharah,” bab “ Ma Yaqul idza Kharaj min Al Khala’” [686], jilid I, hal. 139. Hadits ini diklasifikasikan sebagai shahih oleh Al Albani dalam Irwa’ Al Ghalil [52]. Shahih Al Jami’ [4707].

[28] HR Ibnu As Sunni dalam A’mal Al Yaum wa Al Lailah [22], hal. 18. Ibnu Majah kitab “Ath Thaharah,” bab “Ma Yaqul idza Kharaj min Al Khala’” [301], jilid I, hal. 110. Hadits ini diklasifikasikan sebagai hadits dha’if oleh Al Albani dalam Irwa’ Al  Ghalil [53]. Dha’if Ibnu Majah [301].

[29] HR Ibnu As Sunni dalam A’mal al Yaum wa Al Lailah [25], hal. 18-19. Hadits ini diklasifikasikaan sebagai hadits dha’if oleh Al Albani dalam ad-Dha’ifah [4187]. Lihat ad-Dha’ifah [5658].

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.