Tata Cara Thaharah Untuk Menghilangkan Najis Dan Hadas (Bagian 1)
Thaharah menurut bahasa adalah suci dan bersih dari kotoran. Adapun thaharah menurut istilah para ulama ahli hukum Islam (fuqaha) adalah menghilangkan hadats dan najis atau sesuatu yang senada dengan makna dan gambaran pengertian keduanya. Yang dimaksud dengan ungkapan “yang senada dengan makna dan gambaran pengertian keduanya” , yaitu seperti: tayamum, mandi besar yang disunnahkan, cucian yang kedua, bekumur dan sejenisnya.
Menghilangkan hadats dan najis itu adalah dengan air mutlak, yakni dengan air yang belum mendapatkan imbuhan unsur lain sehingga namanya juga masih tetap sebagai air murni. Air mutlak ini adalah air laut, air yang turun dari langit, dan air yang keluar dari bumi. Air laut dikategorikan sebagai air mutlak adalah berdasarkan sabda Rasulullah saw. :
(1) “Laut itu airnya suci”
Sedang air yang turun dari langit seperti air hujan dan salju (es) adalah berdasarkan firman Allah SWT:
(2) Dan Allah menurunkan kepada kalian hujan dari langit untuk mensucikan kalian dengannya” (QS. Al Anfal,8: 11).
Adapun air yang keluar dari perut bumi, yakni mata air dan air sumur adalah berdasarkan sebuah riwayat yang mengemukakan :
(3) “Sesungguhnya Nabi saw. pernah berwudlu dengan air dari sumur Bi/udha’ah”
Yang dikategorikan selain air mutlak, yaitu benda-benda cair seperti : cuka, air bungan, minuman keras, dan sari buah-buahan atau tumbuhan. Kesemua itu tidak boleh dipergunakan, baik untuk menghilangkan hadats maupun untuk menghilangkan najis. Firman Allah SWT:
(4)”…kemudian kalian tidak mendapatkan air, maka bertayamumlah kalian” (QS. An Nisa,4: 43).
Dalam ayat ini Allah SWT memerintahkan kepada orang-orang yang tidak mendapatkan air agar bertayamum. Dan Dia memberikan petunjuk bahwa wudlu tidak dibenarkan selain dengan air. Hal ini dengan alasan, karena sesungguhnya menghilangkan najis berarti mengembalikan keadaan agar menjadi suci (bersih) kembali dan suci itu sendiri hanya bisa terjadi dengan air. Allah SWT berfirman:
“Dan Allah menurunkan kepada kalian hujan dari langit untuk mensucikan kalian dengannya” (QS. Al Anfal, 8 : 11).
Benda Suci Bercampur dengan Air
Bilamana suatu benda suci bercampur dengan air namun karena kadarnya hanya sedikit sehingga air itupun tidak berubah karenanya, maka bersuci dengan air tersebut diperbolehkan. Sebab pada dasarnya air ini masih tetap utuh sebagai air mutlak. Jika air tersebut tidak berubah karenanya dengan alasan , sebab air itu tidak berubah, baik rasa, warna, maupun baunya-seperti air bunga jatuh ke dalamnya-maka hendaknya diperhatikan:
Andai air bunga itu kadarnya banya sehingga mendominasi air mutlak, maka bersuci dengannya tidak diperbolehkan, dan seandainya tidak mendominasi, maka bersuci dengannya diperbolehkan. Bilamana suatu benda suci bercampur dengan air dan karenanya salah satu sifat air tersebut berubah, yakni rasa, atau warna, atau baunya, hendaklah diperhatikan:
Sekiranya air itu tidak mungkin teratasi untuk tidak terkena benda suci tersebut seperti ditumbuhi oleh lumut (rumput air) dan sejenisnya, yang memang benda itu hidup dan tumbuh di air, maka air tersebut boleh dipergunakan untuk bersuci.
Kasus seperti ini dimaafkan sebab hal tersebut tak mungkin diatasi. Sedang jika air ini memungkinkan terpelihara dari benda suci maka perhatikanlah :
Seandainya merupakan suatu benda yang tidak menghilangkan nama air seperti tanah dan obat, maka air itu diperbolehkan untuk bersuci karena benda tersebut tidak menghilangkan status air sebagai air mutlak. Sedang bila benda itu selain daripadanya, seperti minyak za’faran, buah kurma, tepung, dan sebagainya – merupakan benda yang dapat dihindarkan agar tidak jatuh ke dalam air – maka berwudlu dengan air ini tidak dibenarkannya, sebab dengan masuknya benda seperti itu dapat menghilangkan status air sebagai air mutlak.
Najis yang Mengotori Air
Apabila benda najis jatuh ke dalam air lalu rasa, warna atau bau air itu berubah, maka air tersebut menjadi najis, baik air ini banyak maupun sedikit, baik air itu mengalir maupun menggenang. Para ulama telah sepakat bahwa jika rasa, atau warna atau bau air berubah oleh karena ada benda najis yang jatuh ke dalamnya, maka air ini menjadi najis. Sedang bila ketiga sifat air itu tidak berubah maka hendaklah diperhatikan : Andai ternyata air itu kurang dari dua kulah maka air tersebut menjadi najis. Akan tetapi andai terbukti air ini sebanyak dua kulah atau lebih maka air tersebut tetap bersih ( suci ).
Sabda Rasulullah saw:
“Bilamana terbukti air mencapai dua kulah, maka air tersebut tidak membawa najis”.
Air dua kulah ukurannya sebanyak dua tempayan air, sama dengan dua belas jirgen air. Inipun dengan catatan, bila ternyata air tersebut tidak tampak terlhat oleh mata telanjang, seperti najis yang melekat pada serangga yang hinggap pada najis, lalu serangga itu jatuh ke air. Dengan demikian, maka air itu tidak menjadi najis karenanya sebab hal ini dimaafkan. Kasus ini sama halnya seperti baju yang terkena najis yang tidak tampak, maka najis inipun dimaafkan. SELANJUTNYA