Universalitas Islam Dan Tujuan Risalah Islam
Allah subhanahu wa ta’ala mengutus Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam. dengan membawa ajaran agama yang suci, mudah, dan syariat yang lengkap. Ajaran yang dibawa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. menjamin kemuliaan hidup umat manusia. Dengannya, manusia akan memperoleh derajat tertinggi dan sempurna. Selama lebih kurang 23 tahun, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. mengaiak umat manusia menuju jalan yang telah digariskan Allah subhanahu wa ta’ala, dan beliau berhasil menyebarkan agama dan mempersatukan umat manusia dengannya.
Universalitas Risalah Islam
Risalah Islam bukanlah risalah yang bersifat lokal, terbatas hanya pada satu generasi atau suku-bangsa tertentu, sebagaimana risalah-risalah keagamaan yang diturunkan sebelum Islam. Risalah Islam merupakan ajaran yang bersifat universal; ia dituiukan bagiseluruh umat manusia hingga hari kiamat; ajaran Islam tidak dikhususkan untuk negeri tertentu atau masa tertentu. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Maha Suci Allah yang telah menurunkan Al Furqan (Al Qur’an) kEpada hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam.” (Al Furqan [25]: 1)
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui.” (Saba’: 28)
“Katakanlah, ‘Hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua, yaitu Allah Yang mempunyai kerajaan langit dan bumi; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Yang menghidupkan dan mematikan, maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, Nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya) dan ikutilah dia, supaya kamu mendapat petunjuk.” (Al A’raf: 158)
Dalam salah satu hadits shahih disebutkan,
“Setiap nabi diutus khusus kepada kaumnya, dan aku diutus untuk yang berkulit merah dan yang berkulit hitam.”[1]
Diantara bukti universalitas dan syumiliah ajaran Islam adalah:
Tidak terdapat suatu perkara di dalam ajaran Islam yang sulit untuk diyakini atau dilaksanakan oleh umat manusia. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya..” (Al Baqarah 286)
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu..”(Al Baqarah: 185)
“Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.” (Al Hajj: 78)
Imam Al Bukhari meriwayatkan dari Abu Sa’id Al Maqburi bahwasanya Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya agama ini mudah. Dan tidak ada seorang pun yang mempersulit agama ini, melainkan ia akan dikalahkan olehnya (merasa kesulitan dalam melaksanakannya, penj ).”[2]
Imam Muslim meriwayatkan bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Agama yang lebih disukai Allah adalah agama yang lurus dan penuh toleransi.”[3]
2. Permasalahan yang tidak berubah, baik waktu dan tempatnya seperti akidah dan ibadah, dijelaskan dengan sempurna dan terperinci. Di samping itu, diterangkan dengan nash-nash yanglebih lengkap sehingga seseorang tidak perlu lagi menambah ataupun menguranginya. Adapun permasalahan yang dapat berubah berdasarkan perkembangan waktu dan tempat, seperti problematika kemasyarakatan, urusan politik dan peperangan, semuanya dijelaskan secara umum agar dapat mengikuti kemaslahatan dan kebutuhan umat manusia di sepanjang masa. Di samping itu, dapat juga dijadikan sebagai pedoman bari para pemimpin dalam menegakkan kebenaran dan keadilan, karena perkara-perkaraini bersifat fleksibel.
3. Semua ajaran Islam bertujuan untuk menjaga kepentingan agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Hal ini sesuai fitrah dan akal, perkembangan zaman, serta dilaksanakan di setiap tempat dan masa.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
Katakanlah: “Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezki yang baik?” Katakanlah: “Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat.” Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang mengetahui. Katakanlah: “Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.” (Al A’raf: 32-33)
Dan tetapkanlah untuk kami kebajikan di dunia ini dan di akhirat; sesungguhnya kami kembali (bertaubat) kepada Engkau. Allah berfirman: “Siksa-Ku akan Kutimpakan kepada siapa yang Aku kehendaki dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu. Maka akan Aku tetapkan rahmat-Ku untuk orang-orang yang bertakwa, yang menunaikan zakat dan orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami.” (Yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya. memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Quran), mereka itulah orang-orang yang beruntung. (Al A’raf: 156-157)
Tujuan Risalah Islam
Tujuan yang ingin dicapai oleh risalah Islam adalah untuk membersihkan dan menyucikan jiwa, dengan caramengenal Allah dan beribadah hanya kepada-Nya. Selain itu, Islam juga ditujukan untuk mengukuhkan hubungan antara sesama manusia serta menegakkannya dengan disertai rasa saling menyayangi, persamaan dan keadilan. Dengan demikian, kebahagiaan umat manusia dapat terwujud, baik di dunia maupun di akhirat. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka Kitab dan Hikmah (As Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata,” (Jumu’ah: 2)
Dalam kesempatan yang lain, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (Al Anbiya’: 107)
Tujuan risalah Islam juga dinyatakan dalam sebuah hadits yang berbunyi,
“Aku (diutus sebagai) rahmat yang memberi petunjuk.”[4]
[1][1] HR Muslim kitab Al Masajid, Al Muqaddimah (3), jilid I, halaman 370-371
[2] HR Bukhari, kitab Al Iman bab Ad Din Yusr jilid 1 hal 116. Nasa’i kitab Al Iman, bab Ad Din Yusr (5034) jilid XII, hal 122. Sunan Al Kubra karya Al Baihaqi kitab Ash Shalah jilid III, hal 18
[3] Syarh As Sunnah, jilid VI, hal 47 dan Bukhari menganggapnya sebagai mu’allaq, kitab Al Iman, bab Ad Din Yusr, sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, “Agama yang disukai Allah adalah agama yang benar dan penuh toleransi”, jilid I halaman 116. Pengarang Fathul Bari berkata, “Hadits mu’allaq ini tidak disebutkan sanadnya oleh pengarang (Imam Al Bukhari) dalam Shahih-nya, sebab tidak memenuhi syarat yang biasa digunakan dalam meneliti keshahihan sebuah hadits. Bagaimanapun adanya, beliau menganggap hadits ini sebagai hadits yang maushul dalam kitab Al Adab Al Mufrad. Demikian juga dengan Ahmad bin Hanbaldan ulama lain. Mereka meriwayatkan dari Muhmmad Ibnu Ishaq, dari Dawud bin Al Hushain, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, dengan sanad hasan. Disebabkan hadits ini tidak memenuhi syarat Bukhari, beliau hanya mencantumkannya di bagian bab saja. Namun, beliau juga menganggap hadits ini kuat, karena kesesuaian maknanya dengan ajaran Islam yang meliputi kemudahan dan toleransi. Lihat Fathul Bari, jilid 1, hal 93
[4] Dalam Al Mustadrak oleh Hakim, jilid 1 halaman 35. Lafal hadits ini sebagai berikut, “Wahai sekalian umat manusia!Sebenarnya aku (diutus sebagai) yang memberi petunjuk. Hakim berkata, “Hadits ini shahih menurut syarat Bukhari dan Muslim. Dalam pandangan mereka, riwayat Imam Malik bin Sa’id dapat dijadikna hujjah. Perawi yang taiqah apabila meriwayatkan hadits secara sendirian, tetap bisa diterima riwayatnya. Pernyataan hakim ini didukung oleh Adz Dzahabi. Ia berkata, “Riwayat hadits ini sesuai dengan syarat Bukhari dan Muslim.Perawi yang tsiqah apabila meriwayatkan hadits secara sendirian tetap dapat diterima.” HR Baihaqi dalam Syuab Al Iman, jilid II, hal 164. Ibnu Sa’ad dalam Ath Thabaqat, jilid III, hal 192 dan dikategorikan sebagai shahih oleh Al Albani dalam Ghayatul Maram (1) dan Silsislah Ahadits Ash Shahihah hal 490