Untukmu yang Kucinta

Oleh: Anita Taz-Q

Mei ‘87

    Aku lahir Mekah. “Syifa Zahara”, satu nama indah bagiku diberikan oleh Abah dan Ummi, dengan harapan kelak aku jadi pelita yang bersinar. Semoga Allah senantiasa mengabulkan permohonan mereka.

    Hari-hari ku lalui dengan penuh kebahagiaan, curahan kasih sayang yang diberikan orang tua kepadaku tak pernah kurang. Terlebih Abah, sepertinya beliau menyimpan satu harapan besar padaku. Kata Abah aku mempunyai dua orang kakak di Indonesia. Indonesia? Di manakah itu? Ah… entahlah! Aku tak pernah tahu daerah itu.

Mei ‘89

    Akhirnya aku harus meninggalkan tanah kelahiranku karena tugas Abah telah selesai di kota suci ini. Lagipula kata Ummi, masyarakat di tempat orang tuaku tinggal telah menanti dan mengharapkan Abah dan Ummi segera kembali ke kampung halamannya.

    Bismillah…! Dengan setengah hati kutinggalkan semua. Semoga kelak aku kembali dan menetap di sini tanpa pernah pergi lagi.

Mei ’91
    Subhanllah…! tanpa henti aku bertasbih memuji kebesaran dan keindahan karunia Illahi. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan setelah 2 tahun di Indonesia, tempat kedua kakakku lahir dan tinggal. Kulihat hamparan perkebunan teh di mana-mana. Banyak kulihat bunga-bunga yang tak pernah kujumpai di tanah suci, seperti melati, mawar, kenanga, seroja, dan bunga-bunga lain. Teh Nisa yang tunjukkan semua itu padaku. Semua menyayangiku, Abah, Umi, A’ Saddam, Teh Nisa, A’ Iqbal juga Mbak Inah. Ah! masa kecil yang indah.

Mei ’94

    Aku duduk di kelas 2 sekolah dasar. Sudah pandai mengaji bahkan sudah khatam 2 kali. Alhamdulillah Allah memberiku otak yang cerdas walaupun tak secerdas kakak-kakakku.

    Abah semakin bangga kepadaku dan beliau bilang aku harus menjadi hafidzah yang unggul. Tapi tak mungkin. Aku memang suka dan pintar mengaji tapi aku tidak mempunyai kemampuan untuk menjadi hafidzah. Aku lebih suka seni, misalnya qiro’ah, pusi, syair, menyanyi, dan menari. Aku memang berbeda dengan kakak-kakakku.

Mei ’95

    Ehmmm. Hari yang indah. Hari ini Abah mengudang banyak tamu ke rumah. Ummi bilang hari ini peresmian pondok kami yang baru. Aku hanya tersenyum. Aku tak tahu apa itu pondok, tapi yang kutahu sekarang abah punya sekolahan besar dengan gedung megah. Itu saja. O iya…! Itulah kali pertama aku mengecewakan Abah, bukan karena aku tidak bisa melafadzkan 1 juz tapi grogi karena harus melafadzkannya di depan hafidz dan para kiai besar. Ah…!

Mei ’96

    Abah memaksaku untuk segera menghafal Juz Amma untuk persiapan idul fitri. Aku tahu apa yang harus aku lakukan tapi aku harus menghadapi ujian cawu duaku. Aku harus belajar. Ummi mendukungku sepenuh hati. Satu hal lagi yang kuketahui ummi hamil.

    Aku jadi takut kehilangan kasih sayangnya ketika kelak adikku lahir. Masihkah ummi menemaniku belajar setiap malam? Atau sekedar menenangkan hatiku jikalau abah memarahiku? Aku takut. Sangat takut. Teh Nisa’ semakin jarang pulang sebab di kampusnya lagi ada acara yang perlu disiapkan. A’ Sddam, A’ Iqbal sama saja. Aku. Apa yang bisa kulakukan? Apa?

April ’97

    Aku ikut lomba. Hanya Allah yang mengantarku. Ummi sibuk mengurusi kebutuhan santri di pondok. Kurasa kehadiran Abah bukan menambah semangatku justru sebaliknya. Aku tegang hingga pengumuman tiba. Sekali lagi aku gagal. Aku tak bisa lagi melukiskan wajah Abah. Tak ada yang dapat kuperbuat selain diam dan menangis.

    Abah ma’afkan Syifa. “Syifa bingung!” Hanya itu kiranya yang sanggup kuucapkan. Hingga sampai rumah Ummi memelukku erat-erat.

September ’97

    Adikku lahir kembar, laki-laki dan perempuan. Kakak-kakakku datang semua. Ummi nampak bahagia, terlebih Abah. Ada kebahagiaan terpancar dari wajah mereka tapi aku? Masih adakah yang mau menemaniku dan menyimakku berlatih puisi dan drama? Ah…! Aku memandangi orang-orang yang kusayangi satu per satu menciumi adik baruku, mereka diberi nama Sholahuddin dan Ade Qudsi. Nama yang bagus. Abah memang jago membuat nama.

Juli ’99

    Aku tamat SD dengan NEM 44,51. Semua memberikan hadiah ciuman. Termasuk dua adikku, Ola dan Ade, yang sudah mulai berlari ke sana-kemari. Ummi masih seperti dulu. Tetapi Abah! Aku semakin jauh dari beliau. Abah tak banyak menasehatiku ketika aku akan lulus. Hanya satu yang terucap, “Syifa harus masuk pesantren”. Sempat aku ajukan satu syarat kepada beliau. Aku menolak pesantren salaf. Mulanya abah keberatan dengan permintaanku. Namun setelah Teh Nisa menjelaskan, akhirnya Abah menerima. Besok lusa aku berangkat. Satu pesantren di Jawa Timur jadi tujuanku. “Nurul Mawaddah”, kata teh Nisa. Aku hanya menurut walau berat kurasa.

Agustus ‘99

    Kujalani hari-hariku di pesantren dengan lapang dada. Aku mencoba mengakrabkan diri dengan lingkungan baru yang kutempati. Banyak teman baik yang mengerti diriku. Mereka semua menyayangiku. Farhah, Ola, Sitsam, Angel, Vela, Irma, dan masih banyak lagi.

    Oh iya…! Ada satu hal yang membuatku betah di sini. Aku dapat mengekspresikan jiwaku lewat kursus teater yang kuikuti sebagai kegiatan ekstra di pesantren. Aku  bangga. Walaupun tergolong anak baru aku tak pernah minder. Aku terus melangkah menjalani hari-hariku demi Abah dan masa depan.

Oktober 2004

    Aku kini sudah kelas V (II SMA). Aku tipe orang yang aktif. Semua kegiatan yang kuanggap baik kuikuti. Pramuka kini menjadi hobiku. Aku menelpon Ummi. Sekiranya Ummi bangga dengan prestasi yang kuraih sekaligus Abah. Namun apa yang terjadi justru sebaliknya. Abah menentangku dengan keras. Seharusnya aku pandai mengaji, bertartil Qur’an, berqiroatul Mujawaddah, menghafal Qur’an. Bukan bermain dan bernyanyi.

    Oh…! Bagaikan tersambar petir. Kata-kata abah terlampau membuatku putus asa. Kapan abah memahami aku?

12 Juni 2005

    Alhamdulillah. Selesai sudah kujalani hari-hariku di pesantren. Semua datang kecuali A’Iqbal yang mengantar Ola ke ma’had barunya di Sukabumi. Aku sudah cukup senang dengan kedatanggan Abah. Akan kutunjukkan apa yang kudapat selama ini tidaklah sia-sia.

    Benar. Allah SWT mengabulkan do’aku. Aku masuk tiga besar peraih Nem tertinggi. Betapa rasa haru dan bahagia bercampur dalam hatiku. Kulirik Ummi menghapus butir bening di matanya ketika aku naik panggung menerima penghargaan dari pimpinan pesantren. Abah ? masih dalam posisi semula kucoba menata hati.

    Hari ini kutinggalkan ma’had yang penuh dengan kenangan. Aku sadar banyak pelajaran berharga yang kudapat dan tak terungkap. Selamat tinggal ma’hadku, kawan-kawanku, adik-adikku. Semoga Allah selalu melindungi ma’hadku. Amin.

Juli 2005

    Teh Nisa mengajakku ke Bandung. Teteh bilang aku harus ikut SPMB karena itulah harapan terakhir Abah padaku. Teteh memberikanku pengertian agar aku tidak memberitahukan hal ini kepada Abah. Agar kalau terjadi apa-apa Abah tidak marah. Kuturuti semua perkataan Teh Nisa. Sengaja kupilih gelombang I untuk menghemat waktu dan biaya. Aku ikut Bimbel persiapan SPMB. Teteh terus mendorongku agar belajar lebih giat. Kutelepon Ummi setiap malam untuk meminta restunya, karena aku tahu do’a ibu mustajab bagi anaknya. Dengan bekal keyakinan dan kemampuan yang kupunya aku ikut SPMB. Bismillah! Kujalani semuanya.

Agustus 2005

    Aku pulang. Teh Nisa yang mengikuti perkembangan SPMB di Bandung. Tanggal 9 ini pengumuman itu keluar. Aku menunggu dengan hati berdebar. Nyaliku ciut saat suara lantang Abah memanggilku 3 kali. Sudah kusiapkan air mata yang akan kucucurkan. Dengan langkah gontai kutemui Abah.

    Abah menyuruhku duduk di samping beliau. Aku benar-benar dibuatnya mati kaku. Sejak kecil aku tidak pernah duduk dengan Abah sedekat ini. Tiba-tiba Abah memelukku dan membisikkan bahwa aku lulus SPMB. Robbi…! Engkau Maha kuasa. Semua terasa bagai mimpi. Tapi ini nyata.

    Malam ini kutengadahkan tangan menghadap-Nya. Aku memohon pada Allah untuk melindungi Abahku, Ummiku, dan keluargaku. Kumohonkan pula rahmat dan kasih sayang Allah. Semoga langkah yang kupilih hari ini akan memberi masa depan yang cerah bagiku. Amiin.

***

Picture Reference:
http://www.lovethispic.com/image/16114/swan-love

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.